Suara.com - Tak ada mengira aksi teroristik bakal merambah sampai ke negeri yang disebut paling tentram, Selandia Baru. Tragis, aksi itu pertama terjadi justru di dalam masjid. Puluhan orang mati saat bertamu ke rumah Tuhannya.
EMPAT puluh tahun yang lalu, Haji Daoud Nabi melarikan diri dari perang di negara asalnya, Afghanistan dan memukimkan kembali keluarganya di Selandia Baru.
Di rumah barunya, ia tak melepakan akar kehidupannya. Nabi merintis pembangunan Afghan Association—Asosiasi Afghanistan—komite untuk mengurus pengungsi lainnya.
Nabi bersama organisasinya juga membangun Masjid Al Noor di daerah tempat tinggalnya, Christchurch, pesisir selatan Selandia Baru.
Baca Juga: Kota Surabaya akan Tambah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Pada masjid itu, Nabi terbiasa duduk di saf depan saat salat. Ia juga kerap mengaji Alquran di dekat mimbar.
Namun, Jumat (14/3/2019), lelaki berusia 71 tahun itu datang terlambat untuk salat Jumat di Masjid Al Noor. Seperti tradisi, orang yang telat datang harus duduk di saf belakang, tak boleh menyela barisan.
Posisi Nabi yang tak biasa dalam masjid itu ternyata berakhir petaka. Ia menjadi salah satu korban penembakan massal paling mematikan dalam sejarah modern Selandia Baru.
Nabi dan jemaah lain tengah bersiap Jumatan, ketika seorang lelaki bersenjata laras panjang menyeruak masuk masjid.
Di tengah hujanan peluru, Nabi sempat berupaya melindungi teman keluarganya dari tembakan.
Baca Juga: Banderol Nyawa Jaksa Rp 10 Juta, Ini Kisah Pembunuh Bayaran Suruhan Napi
“Orang yang dilindunginya selamat, tapi ayah tidak,” tutur Omar Nabi, putranya seperti diberitakan Washington Post, Sabtu (16/3/2019).
Brenton Harrison Tarrant—lelaki Neo-Nazi—yang menjadi tersangka penembakan itu memuntahkan begitu banyak peluru tanpa sempat berkata-kata.
“Orang-orang sedang salat, orang-orang salat di masjid mereka. Mereka tertembak dari belakang. Ini bukan . . . ini bukan yang dilakukan manusia. ”
Sedikitnya 50 orang tewas pada penembakan massal di dua masjid Christchurch. Brenton Harrison Tarrant, sang pelaku, masih berusia 28 tahun.
Secara bergelora sembari meneteng senapan serbu yang dipenuhi tulisan slogan Neo-Nazi miliknya, Brenton membunuh 31 jemaah Masjid Al Noor dan 7 lainnya di Masjid Linwood. Sisa korban lainnya tewas di rumah sakit.
Para pejabat belum merilis 50 nama korban, tetapi teman-teman dan anggota keluarga perlahan-lahan mulai mengidentifikasi orang-orang yang dicintai dan tewas di masjid.
Dalam daftar korban tewas Brenton, termasuk pengungsi dan imigran dari sejumlah negara, siswa sekolah menengah, balita, akademisi, dan pemimpin organisasi muslim setempat.
Pejabat pemerintah telah mengonfirmasi bahwa setidaknya enam warga Pakistan, empat Yordania dan empat Mesir termasuk di antara yang tewas.
Kedutaan Besar Saudi mengonfirmasi dua warganya terluka. Sementara orang Indonesia, satu tewas dan satu masih dalam perawatan.
Kematian Prajurit Kecil
“Prajurit kecilku mati sahid, oh ya Allah, terimalah dia, prajurit kecilku yang pemberani,” ratap John Milne kepada New Zealand Herald.
John menangisi kematian putranya yang baru berusia 14 tahun, Sayyad Milne. Ia menjadi salah satu korban tewas dalam pembantaian di Masjid Al Noor.
Sayyad Milne, seperti siswa Muslim lainnya, dibebaskan dari belajar di kelas setiap Jumat untuk salat. Ia terbiasa Jumatan di Masjid Al Noor.
Sang ayah menuturkan, belum mendapat informasi resmi tentang kematian anaknya dari pejabat setempat.
“Tapi aku tahu dia terbunuh. Aku melihat dalam rekaman live si pembunuh keji itu. Saat dia membantai putraku. Aku melihat putraku berdarah di lantai masjid,” tuturnya.
John juga mendapat informasi dari jemaah yang selamat bahwa putranya meninggal dalam masjid itu.
“Jemaah itu mengatakan kesaksiannya, betapa beraninya putraku. Aku sedih, sulit melihat anakku dibantai. Tapi aku bangga terhadap prajurit kecilku. Aku tahu di mana di berada kini. Aku tahua dia dalam damai.”
Setelah Maut Tak Menjemput di Suriah
Khaled Mustafa terpaksa mengubur dalam-dalam impian indah agar keluarganya bisa hidup bahagia di Selandia Baru, setelah susah payah keluar dari Suriah yang dilanda peperangan melawan teroris ISIS.
Khaled, bersama dua putranya yang kecil-kecil, yani Hamza (14) dan Zaid (13), menjadi korban penembakan di Masjid Al Noor.
Khaled dan Hamza meninggal dunia. Sementara Zaid harus menjalani operasi selama enam jam dan belum tahu sang ayah dan saudara lelaki tercintahnya telah tiada.
Mustafa datang ke Selandia Baru dengan istrinya, dua putra dan putri pada 2018. Ia ingin memulai hidup baru di negeri yang dikenal damai tersebut.
"Sangat menyedihkan bahwa para pengungsi ini datang jauh-jauh dari Suriah ke Selandia Baru, berpikir bahwa itu adalah tempat yang aman," kata Ali Akil, aktivis Solidaritas Suriah di Selandia Baru.
"Mereka lolos dari kematian dan penyiksaan ISIS di Suriah, untuk datang ke Selandia Baru, dan dibunuh di sini."
Abdulrahman Hashi (60), seorang pengkhotbah di Masjid Dar Al Hijrah Minneapolis Amerika Serikat, mengatakan kepada The Washington Post bahwa keponakannya yang berusia 4 tahun termasuk di antara mereka yang terbunuh.
Dia menerima panggilan telepon Jumat pagi dari saudara iparnya Adan Ibrahin Dirie, yang berada di rumah sakit dengan luka tembak.
Adan bersama kelima anaknya Jumatan di masjid tersebut ketika lelaki bersenjata melepaskan tembakan. Empat dari anak-anaknya melarikan diri tanpa cedera, tetapi yang termuda, Abdullahi, terbunuh.
Keluarga itu telah meninggalkan Somalia pada pertengahan 1990-an sebagai pengungsi dan bermukim kembali di Selandia Baru.
"Kamu tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku," katanya. "Dia adalah yang termuda di keluarga," tutur Hashi.
Hashi menuturkan, setiap kesempatan berkhotbah, ia selalu membicarakan mengenai bahaya ekstremisme dan terorisme yang menjangkiti warga Muslim.
“Aku tahu, banyak orang yang menilai semua orang Muslim seperti itu. Tapi, aku yakin, semua yang ada dalam masjid itu tidak bersalah,” katanya.
Demi Si Kembar
Perjalanan Adeeb Sami ke Selandia Baru dari Dubai seharusnya menyenangkan. Ia sudah tak sabar untuk mengejutkan anak kembarnya persis pada waktu ulang tahun mereka.
Namun, rencana itu sirna setelah lelaki berusia 52 tahun tersebut menjadi korban penembakan dalam Masjid Al Noor.
Ia tewas sebagai tameng, melindungi kedua putra kembarnya dari pembantaian.
"Ayah saya adalah pahlawan sejati," kata Heba, putri Sami, kepada Gulf News.
"Dia tertembak di punggung dekat tulang punggungnya dalam upaya melindungi saudara-saudaraku. Ayah tak pernah membiarkan kami tersakiti oleh siapa pun.”
Heba yang berada di Dubai mengatakan, kehilangan lima teman keluarga, termasuk seorang bocah lelaki berusia 12 tahun dalam serangan mematikan tersebut.
Hello Brother!
Brenton menyiarkan secara langsung aksi kejinya di Masjid Al Noor melalui Facebook. Dalam rekaman video mengerikan, ia mendekati pintu masuk masjid dan mengangkat senjatanya.
Seorang lelaki jemaah masjid mencoba untuk menyambutnya, memanggil "Halo, saudara."
Namun, Brenton membalas sapaan itu dengan tembakan membabi buta.
Shafiqur Rahman Bhuiyan, konsul kehormatan untuk Bangladesh di Auckland, Selandia Baru, mengatakan kepada Associated Press bahwa setidaknya tiga warga negaranya tewas dan lainnya luka.
"Satu kaki (orang) yang terluka perlu diamputasi sementara yang lain menderita luka tembak di dada," katanya.
Di Facebook, seorang pengguna bernama Alta Marie mengatakan suaminya, Zulfirman Syah, dan putra keduanya ditembak di Masjid Linwood Islamic Centre.
"Mereka trauma, tapi beruntung, alhamdulillah semuanya hidup,” katanya.
Asim Mukhtar, Sekretaris Senderal Asosiasi Pakistan Selandia Baru, mengatakan kepada The Post melalui telepon bahwa Masjid Al Noor adalah yang terbesar di Christchurch.
Penembakan itu sendiri dimulai 15 menit sebelum salat Jumat, ketika banyak orang masih di tempat parkir atau berjalan menuju masjid.
Ia mengatakan, kalau penembakan itu terjadi ketika salat, korban mungkin lebih banyak yang berjatuhan.
"Ini adalah masa yang menyakitkan. Kami tak tahu kenapa ini terjadi. Di Selandia baru, serangan seperti itu hampir mustahil terjadi. Kini, kami benar-benar tak merasa aman.”