Sengketa Lahan Untag, Pembayaran Terdakwa Melebihi Perjanjian

Senin, 11 Maret 2019 | 17:08 WIB
Sengketa Lahan Untag, Pembayaran Terdakwa Melebihi Perjanjian
Sidang lanjutan sengketa tanah Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag) masih berlanjut. Kali ini terdakwa, Tedja Wijaya menghadirkan dua saksi. (Suara.com/Fakhri)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sidang lanjutan sengketa lahan Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dengan terdakwa Tedja Widjaja di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu (6/3/2019) lalu menghadirkan saksi dari terdakwa, yakni mantan direksi PT Graha Mahardika (PT GM), Dwito Hindarto. Dwito Hindarto menyatakan terdakwa telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait perjanjian dengan Yayasan Untag.

Bahkan pembayaran yang dilakukan terdakwa jauh melebihi yang tertulis dalam perjanjian. Dwito, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT GM selama 2012 – 2016 mengatakan, sesuai akta perjanjian nomor 58 antara Rudyono Darsono mewakili Yayasan Untag dan Tedja Wijaya mewakili PT GM, disepakatai jual beli lahan milik Yayasan seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65 miliar atau Rp 2.050.000 meter persegi.

Adapun untuk pembayarannya dilakukan dalam beberapa mekanisme. Pertama, pembangunan gedung kampus senilai Rp 24 miliar. Kedua, pembayaran sebesar Rp 15 miliar untuk penggantian lahan yang akan diurus oleh Yayasan. Ketiga, pembayaran sebesar Rp 16 miliar yang dibayarkan secara bertahap.

“Sepengetahuan saya, semua kewajiban-kewajiban tersebut sudah diselesaikan oleh terdakwa. Itu kan ada bukti-bukti pembayarannya. Pembangunan gedung kampus juga sudah selesai tahun 2012 dan sudah digunakan untuk belajar mengajar. Saya juga tahu sudah tandatangan AJB dan balik nama,” ujar Dwito.

Baca Juga: Jokowi: Kalau Sudah Sengketa Lahan, Ada yang Bawa Golok, Serem

Selain itu, lanjut Dwito, ada juga pembayaran uang muka sebesar Rp 6 miliar yang sudah dilakukan oleh ayahnya, Hindarto Budiman, sebelum akhirnya perjanjian dilanjutkan dengan PT GM.

“Jadi sebelumnya, Yayasan Untag melakukan perjanjian dengan ayah saya, namun karena tidak berjalan, akhirnya dilanjutkan dengan PT GM. Tapi waktu itu ayah saya sudah melakukan pembayaran sekitar Rp 6 miliar, yang kemudian dikonversi jadi kepemilikan saham di PT GM,” kata Dwito yang memiliki sekitar 42% saham PT GM.

Menurut Dwito, pada kenyataannya, jumlah yang dikeluarkan terdakwa terkait dengan transaksi pembelian lahan Yayasan Untag jauh lebih besar dari perjanjian.

”Semua pembayaran telah dilakukan, bahkan uang yang dikeluarakan oleh PT GM pada akhirnya mencapai sekitar Rp 90 miliar karena ada pembengkakan biaya. Misalnya, untuk pembangunan gedung kampus menjadi Rp 30 miliar dari yang disepakati Rp 24 miliar,” tuturnya.

Pada persidangan sebelumnya, notaris Lili Aryati yang menjadi saksi menyatakan bahwa pembuatan Akta Nomor 58 m dilakukan pada 28 Oktober 2009 yang dihadiri baik oleh Tedja Widjaya mewakili PT Graha Mahardhika (GM) dan Rudyono Darsono selaku perwakilan Yayasan Untag.

Baca Juga: Jokowi: Telinga Saya Banyak Teriak Sengketa Lahan Di mana-mana

Menurut Lili, semua isi Akta 58 dibuat atas sepengetahuan Rudyono dan ditandatangani tanpa paksaan siapa pun, termasuk soal pembayaran berupa pembangunan gedung senilai Rp 24 miliar, pembelian lahan ganti senilai Rp 15 miliar dan pembayaran Rp 16 miliar yang akan dicicil selama 36 bulan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI