Suara.com - Kepala Staf Kepresiden Moeldoko memastikan, pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengejawantahkan prinsip demokrasi, terutama kebebasan berekspresi.
Moeldoko juga menuturkan, kebebasan berekspresi yang dimaksud termasuk pula melontarkan kritik terhadap pemerintah.
Pernyataan Moeldoko tersebut sebagai respons terhadap penangkapan Dosen Universitas Negeri Jakarta yang juga aktivis Robertus Robet karena diduga menghina institusi TNI.
"Kalau sifatnya kritik membangun, Presiden Jokowi sangat terbuka, KSP membuka seluas-luasnya terhadap kritik. Silakan ngomong apa saja kami dengarkan. Kami tak alergi kritik dan membatasi kebebasan berekspresi,” kata Moeldoko, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Baca Juga: Prabowo: Kalau Jadi Presiden, Saya Kejar Koruptor Sampai ke Padang Pasir
Namun, kata Moeldoko, kalau cara pengejawantahan kebebasan berekspresi itu justru melanggar undang-undang, maka pemerintah tak bisa ikut campur.
"Tetapi terhadap apa yang pada akhirnya mengarah pada tindakan-tindakan yang melawan hukum, itu di luar domain kami. Itu sepenuhnya domain kepolisian, kami tidak bisa ikut campur," ucap dia.
Karenanya, Moeldoko menuturkan pentingnya membedakan antara kritik mebangun dan kritik yang melanggar UU.
Untuk diketahui, Robertus Robet ditangkap polisi di rumahnya, Depok Jawa Barat, Kamis (7/3) dini hari. Ia ditangkap karena disangkakan melanggar Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2009 tentang ITE dan atau pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Kekinian Robertus Robet telah dipulangkan, tidak ditahan polisi, tapi berstatus tersangka.