Khidmatnya Tawur Agung Kesanga, Ritual Umat Hindu Balas Jasa Alam Semesta

Kamis, 07 Maret 2019 | 17:06 WIB
Khidmatnya Tawur Agung Kesanga, Ritual Umat Hindu Balas Jasa Alam Semesta
Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selama masa Nyepi, umat Hindu lebih banyak berdiam di rumah dan melakukan introspeksi diri. Tawur Agung Kesanga, sebuah ritual untuk balas jasa alam semesta. Kontributor Suara.com di Yogyakarta, Sri Handayani melihat langsung prosesi khidmad itu.

Tiga orang pria berpakaian putih tampak menaiki tangga komplek Candi Prambanan. Mereka membawa wadah air dari bambu yang dibebat kain kuning dan putih.

Ketiga orang tersebut adalah Wasi Jelmono, Wasi Poniman, dan Wasi Akhir Murti Adi Wiyono. Mereka mengawali acara Tawur Agung Kesanga dengan mendak tirta. Dalam ritual ini, umat Hindu meminta air suci dari para dewa sebagai sarana tawur agung.

Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)
Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)

Wasi Jelmono bertugas membawa air dari salah satu sumber di Gunung Merapi. Ia diikuti lima orang lain yang membawa banten (sesajen). Air dan sesajen itu ditempatkan di bilik Candi Brahma. Di Candi Wisnu, Wasi Poniman dan kelima orang lain melakukan hal yang sama. Mereka membawa air dari sumber air di daerah Besi, Sleman. Ada pula Wasi Akhir Murti Adi Wiyono yang membawa air dari Sendang Bogem ke Candi Siwa.

Total ada 15 banten yang digunakan dalam ritual mendak tirta. Semuanya disiapkan dalam waktu sebulan di Pura Jagatnata, Banguntapan, Bantul.

Wasi merupakan istilah untuk menyebut seorang mangku atau pemuka agama dalam budaya orang Hindu di Yogyakarta. Istilah ini dicetuskan oleh Mahaguru Yoga di Keraton Surakarta Hadiningrat, tepatnya di Pura Mandira Setha, Baluwarti. Ia bernama Raden Hardjanto Prodjopangarso.

Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)
Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)

Di dalam bilik candi, para wasi dan kelima orang lainnya bersembahyang. Mereka meminta agar para dewa menurunkan air suci untuk ritual selanjutnya. Di luar candi, istri mereka berdiri, mengenakankebaya putih dan kain kuning khas Bali. Wasi Sukamto dan Wasi Nyoman Sunarsih dengan sabar menunggu para suami menyelesaikan ritual.

“Sudah 67 tahun lho saya,” kata Wasi Sukamto.

Wasi Sukamto berusaha mengatur napas. Menjalani ritual ini sejak 1985, ia mengaku kini sudah mulai tua untuk naik turun tangga. Bagi dia, mendak tirta merupakan ritual rutin yang ia jalani dua tahun sekali.

Baca Juga: Libur Nyepi, Penumpang Kereta Api di Jember Naik

Peristiwa ini cukup unik mengingat lokasi Candi Prambanan yang berada di perbatasan Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Setiap tahunnya, umat Hindu di kedua wilayah itu bergantian menjadi panitia Tawur Agung Kesanga.

Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)
Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)

Sebelum dilakukan mendak tirta, umat Hindu Yogyakarta dan Jawa Tengah juga menjalankan ritual melasih. Kegiatan ini dilakukan untuk menyeimbangkan alam semesta (biasa disebut alam jagat atau buana agung) dengan alam manusia (disebut buana alit). Di dalam prosesi ini, ada proses pembersihan dan membuang segala energi negatif dan memberikan persembahan kepada alam semesta.

Tak lama setelah Suara.com berbincang dengan kedua wasi, bunyi genta (lonceng kecil) terdengar bersahut-sahutan. Aroma dupa khas bali menyeruak dan menjadikan nuansa candi mendadak mistis. Suasana di komplek Candi Brahma, Candi Wisnu, dan Candi Siwa menjadi riuh namun tetap khidmat.

Serombongan orang tampak berbaris rapi. Ada yang membawa umbul-umbul, genta, sesajen, gunungan, ogoh-ogoh, dan berbagai ‘uba rampe’ lain. Mendengar lonceng telah berbunyi, para wasi pun turun dari bilik candi membawa air suci. Mereka bergabung dalam rombongan.

Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)
Tawur Agung Kesanga di Yogyakarta. (Suara.com/Sri Handayani)

“Om ... Brahma... Wisnu.. Siwa,” japa mantra terus terdengar bersamaan dengan bunyi genta saat barisan itu mulai berjalan memutari Candi Siwa. Prosesi Pradaksana itu dilakukan sebanyak tiga kali sebelum rombongan keluar dari komplek candi dan berjalan menuju lapangan tempat seremoni Tawur Agung Kesanga. Ritual mendak tirta pun usai.

Sesampai di lapangan, sejumlah anak-anak telah berbaris rapi. Mereka akan menarikan Tari Rejang Dewa. Menurut Ketua Umum Panitia Tawur Kesanga, Made Astra Tanaya, Rejang Dewa adalah tarian ritual. Tarian ini dianggap suci karena berfungsi menyambut turunnya para dewa dari khayangan. Para penarinya sengaja diambil dari kalangan anak-anak.

“Harus anak-anak, enggak boleh orang tua. Karena kan untuk leluhur, harus masih murni,” kata dia.

Acara seremoni Tawur Agung Kesanga tahun baru 1941 saka ini rencananya dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo. Namun, ia berhalangan hadir. Sejumlah tokoh mengikuti seremoni, di antaranya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Staf Khusus Presiden Ari Dipayana, Bupati Sleman Sri Purnomo, Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan Tri Mulyono, Ketua Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Umat PHDI Pusat I Wayan Gigin Samudra, Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat Wisnu Bawa Tanaya, dan sejumlah tokoh lain.

Wayan Gigin Samudra mengatakan Tawur Agung Kesanga tahun 1941 saka ini dihadiri sekitar 10 ribu orang. Ini merupakan rangkaian hari raya sebelum memasuki hari suci Nyepi.

Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui stafnya mengatakan, kegiatan tawur agung kesanga memiliki makna mengembalikan atau membayar. “Manusia mengambil sumber-sumber kekayaan alam semesta. Perilaku mengambil perlu diimbangi dengan memberi. Tawur Agung bermakna melepaskan sifat serakah yang ada pada diri manusia,” ujarnya seperti dibacakan Tri Mulyono.

Prosesi Tawur Agung Kesanga dilanjutkan ritual Nyepi yang dilakukan hari ini, Kamis (7/3/2019). Umat Hindu akan melakukan ritual Catur Brata Penyepian. Di dalamnya terdapat empat macam pantangan yang harus dilakukan, yaitu amati geni (tidak menyalakan api dan amarah), amati lelungan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak bersenang-senang), dan amati pekaryan (tidak bekerja).

Selama masa Nyepi, umat Hindu lebih banyak berdiam di rumah dan melakukan introspeksi diri. Cara ini diharapkan akan mensucikan diri dan membuat mereka lebih mengenal diri dan mengenal Tuhan.

“Setelah perayaan Nyepi, umat Hindu diharapkan terlahir kembali menjadi manusia baru yang diselimuti sifat-sifat mawas diri, eling, arif, dan bijaksana,” kata Menag.

Kontributor : Sri Handayani

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI