Suara.com - Seorang cendekiawan Amerika Serikat asal Pakistan menggambarkan ketegangan yang meningkat antara India dan Pakistan sebagai masalah "internasional" dan bukan "bilateral". Ia juga meminta PBB mesti menengahi.
Dilansir dari Kantor Berita Turki, Anadolu, dalam satu wawancara melalui telepon, Abdullah Al-Ahsan -- guru besar di Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Istanbul Sehir University-- mengatakan, "India telah salah memperhitungkan Pakistan dan telah membuat kekeliruan besar dengan menyerang Pakistan."
Pemerintah Pakistan pada Rabu (27/2) menyatakan, negara itu telah menembak-jatuh dua pesawat militer India yang memasuki wilayahnya dan menangkap seorang pilot.
Sementara itu India mengatakan telah menembak-jatuh satu jet Pakistan dan kehilangan satu pesawatnya dalam proses tersebut di sepanjang Jalur Pemantauan (LoC) --perbatasan de facto yang memisahkan Lembah Kashmi, yang menjadi sengketa.
Baca Juga: Duka Aktivis Perempuan, Dianggap Aliran Sesat sampai ATM Diblokir Suami
Satu helikopt militer India jatuh di Kashmir yang dikuasa India pada Rabu, sehingga menewaskan enam orang di dalamnya serta satu warga sipil di darat, kata lembaga penyiaran India, NDTV. Pakistan menyatakan Islamabad tidak memiliki sangkut-paut dengan pesawat yang jatuh tersebut.
Ketegangan antara kedua negara tetangga yang memiliki senjata nuklir itu telah meningkat setelah satu pemboman bunuh diri di Jammu dan Kashmir, sehingga menewaskan lebih dari 40 personel paramiliter India pada 14 Februari.
Kelompok gerilyawan Jaish-e-Mohammad (JEM) mengaku bertanggung-jawab atas serangan tersebut, yang dikatakan oleh India memiliki markas di Pakistan, tuduhan yang dibantah oleh Islamabad.
Pada Selasa (26/2), beberapa jet tempur India memasuki wilayah udara Pakistan untuk menyerang satu kamp JEM, dan New Delhi menyatakan telah menewaskan beberapa gerilyawan, tapi para pejabat Pakistan membantah pernyataan India itu. Pakistan telah melarang JEM sejak 2002.
"India mestinya menerima tawaran Pakistan untuk menyelidiki serangan tersebut di Pulma (di Negara Bagian Jammu dan Kashmir, India Utara), dengan menyediakan bukti mengenai keterlibatan Pakistan dalam peristiwa itu," kata Al-Ahsan, sebagaimana dilaporkan Anadolu.
Baca Juga: Cerita Warga Riau Panas Dingin Lihat Induk dan Anak Harimau di Kebun Karet
Ia merujuk kepada seruan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan untuk memulai penyelidikan mengenai pemboman bunuh diri tersebut. Ia mendesak PBB atau Mahkamah Pidana Internasional untuk menjadi penengah dalam kasus itu.
"Saya berharap Pakistan menahan diri dari aksi pembalasan dalam waktu dekat. Sebagaimana Perdana Menteri Imran Khan telah menawarkan kembali, saya berharap India mau menerima tawaran Pakistan bagi dialog," tambah Al-Ahsan.
Meningkatnya ketegangan dan kemungkinan perang antara kedua negara pemilik nuklir tersebut juga akan mempengaruhi negara lain yang bertetangga, kata profesor itu.
"Jika terjadi perang antara India dan Pakistan, itu bukan hanya mempengaruhi India dan Pakistan. Afghanistan, yang bersebelahan, juga akan menderita. Negara lain juga akan terpengaruh," katanya.
"Mereka adalah negara nuklir. Anda tak bisa mengabaikan dampak dari energi nuklir, bom nuklir," ujar Al-Ahsan.
Sebagian Jammu dan Kashmir, wilayah Himalaya dengan mayoritas warganya Muslim, dikuasai oleh India dan Pakistan dan diklaim oleh kedua negara itu secara keseluruhan. Sebagian kecil wilayah Kashmir juga dikuasai oleh China.
Sejak mereka terpisah pada 1947, kedua negara di Asia Selatan tersebut telah tiga kali berperang --pada 1948, 1965 dan 1971. Dua di antara perang itu adalah mengenai Kashmir.