Suara.com - Warga di kawasan rawan bencana Merapi di Kampung Kali Tengah Lor, Glagahsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta mengeluhkan status kawasan rawan bencana di sana. Status kawasan rawan bencana di Kali Tengah Lor membuat warga hidup serba kesulitan.
Kampung Kali Tengah Lor hanya terletak empat kilometer dari Puncak Merapi. Dari rumah-rumah warga, rekahan Gunung Merapi terlihat jelas. Kampung itu masuk dalam area Kawasan Rawan Bencana (KRB) 1.
Meski sudah wajib dikosongkan, sebagian warga memilih untuk bertahan. Ketua RW 20 Kampung Kali Tengah Lor, Glagahsari, Cangkringan, Sleman, mengatakan masih ada sekitar 170 kepala keluarga di wilayahnya.
"Ada empat RT dan dua RW," ujar Sukami kepada Suara.com, Selasa (26/2).
Baca Juga: Andalkan WhatsApp, Warga Cangkringan Siap Mengungsi Jika Merapi Bergolak
Menurut Sukami, keinginan untuk bertahan murni muncul dari para warga. Alasan ekonomi menjadi yang utama. Para warga umumnya mengolah lahan pertanian di sekitar rumah mereka. Jarak hunian tetap yang cukup jauh sangat menyulitkan, terutama bagi warga yang tidak memiliki kendaraan.
"Warga nggak semua punya kendaraan. Dari atas mau ke bawah atau dari bawah ke atas juga, jadi kendala. Ongkos juga butuh biaya," ujar Sukami.
Kondisi ini dilematis bagi warga. Mereka berharap agar status Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang telah ditetapkan bertahun-tahun dicabut. Dengan adanya status tersebut mereka tak bisa mengajukan beberapa bantuan seperti halnya kampung lain, terutama pembangunan dan perbaikan jalan.
"Kalau KRB kan seolah-olah bencana itu munthel di sini. Sudah hampir sembilan tahun, KRB belum dicabut. Itu mengganggu. Kami minta disamakan dengan warga-warga lain. Kalau belum dicabut, fasilitas yang lain masih berhenti," kata dia.
Pengakuan serupa juga disampaikan warga Srunen, Yuni. Kampungnya masuk dalam KRB III atau radius lima kilometer. Menurut Yuni, tetap ingin tinggal di Srunen karena rumahnya masih berdiri tegak. Selain itu, mereka umumnya memiliki lahan pertanian yang cukup luas di sekitar tempat tinggalnya.
Baca Juga: Merapi Luncurkan Awan Panas Hingga Sejauh 1 Km Lebih
"Kalau tinggal di huntap itu kan beda toh, Mbak. Ukurannya cuma berapa. Tetap lebih nyaman di sini," kata dia.
Yuni bersyukur meski harta bendanya rusak saat letusan Gunung Merapi pada 2010, rumahnya masih berdiri kokoh. Tujuh ekor sapinya yang tewas juga diganti oleh pemerintah. Ketika itu, ia harus mengungsi ke Kelurahan Maguwoharjo yang letaknya sekitar 25 kilometer dari puncak.
"Saya dulu nggak takut sama gunung. Takutnya gempa. Kalau gempa kan lagi tidur tahu-tahu bisa roboh (rumahnya). Ternyata gunung meletus bisa seperti itu. Itu yang paling besar," kata dia.
Sejak itu, para warga mulai dibekali berbagai penyuluhan tanggap bencana. Ia pun mulai menyiapkan dokumen-dokumen penting agar dapat diselamatkan sewaktu-waktu bencana terjadi.
"Kalau hewan ya udah. Ditinggal aja enggak papa," kata dia.
Kontributor : Sri Handayani