Suara.com - Dampak dari pembanguan sebuah kawasan elite secara otomatis akan memengaruhi suatu nilai ekonomi lainya. Biaya makan di suatu kawasan elite pun sudah pasti akan ikut meningkat.
Hal itu kerap jadi masalah bagi para pekerja kasar yang berada di kawasan elite. Mengingat, penghasilan para pekerja kasar di sebuah kawasan perkantoran elite tidak melulu disesuaikan dengan biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh mereka di kawasan tersebut.
Hal itu sebagaimana yang dialami Syarief dan Andre. Sebagai pekerja kasar di sebuah kawasan elite SCBD dan Kemang membuat Syarief dan Andre harus memutar otak demi bertahan hidup dari hari ke harinya.
Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium (UPC), Gugun Muhammad menilai apa yang dialami Syarif dan Andre sebagai salah satu contoh adanya kesenjangan pengasilan. Gugun mengungkapkan pada umumnya kesenjangan penghasilan antara kelas pekerja atas dan kasar yang berada di kawasan elite perkantoran cenderung memiliki celah yang jauh.
Menurut Gugun, para pekerja kasar seperti Syarief dan Andre sangat tidak memungkinkan untuk menyesuikan hidup dengan standarisasi yang ada di kawasan elite lokasi tempatnya berkerja.
Baca Juga: FACE of JAKARTA: Warteg Drive Thru, Siasat Buruh Kencangkan Ikat Pinggang
Misalnya, dalam segi makan. Banyak kawasan perkantoran elite yang justru terintegrasi dengan rumah makan mewah yang secara tidak langsung hanya diperuntukan bagi para pekerja kelas atas. Sementara, bagi para pekerja kasar sangat tidak memungkinkan makan di tempat tersebut jika menghitung penghasilan yang diperolehnya.
Sehingga, keberadaan Warteg Drive Thru Zakiah di Lippo Mall Kemang dan Warteg Drive Thru Damiah di Grand Lucky SCBD akan menjadi pilihan bagi para pekerja kasar seperti Syrief dan Andre guna menyesuikan dengan isi kantongnya.
“Ya pada akhirnya para pekerja kelas kasar akan menyesuikan, mereka akan mencari kemana pun yang harganya sesuai dengan incomenya,” kata Gugun kepada Suara.com.
Gugun menilai fenomena Warteg Drive Thru Zakiah dan Warteg Drive Thru Damiah yang keberadaanya menyempil di antara celah bangunan megah gedung perkantoran di sebuah kawasan elite sebagai bentuk kekayaan yang ada di ibu kota Jakarta.
Sekaligus, kata Gugun, sebagai bukti bagaimana sebuah kota bahkan ibu kota seklaipun membutuhkan para pedagang kecil yang mampu menjual barang dagangannya dengan harga yang relatif murah. Mengingat, tidak semua pekerja di Jakarta terutama yang berada di kawasan mewah sekali pun memiliki penghasilan yang tinggi.
Baca Juga: FACE of JAKARTA: Warteg Drive Thru, Agar Kantong Tak Cepat Kempes
“Itu keberagaman kota yang harus di hargai. Karena, bayangkan kalau pedagang kaki lima diberishkan, seluruh kawasan tertutup sekali, orang makan hanya di rumah makan mewah, kita bayangkan mungkin krisi bisa terjadi,” tuturnya.