Diarmita menekankan bahwa kebutuhan jagung untuk bahan pakan sebenarnya dapat dicukupi dari hasil produksi di dalam negeri karena jika dihitung per tahun produksi kita surplus. Namun demikian, lanjut dia, ada beberapa hal yang perlu dioptimalkan dalam penyerapan jagung di dalam negeri karena terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, yakni: Pertama, fluktuasi produksi.
Jika mengacu pada data Pusdatin tahun 2018, total produksi jagung selama setahun mencapai lebih dari 70 persen, terhitung sejak Januari sampai Agustus. Disisi lain, kebutuhan industri pakan dan peternak mandiri relatif konstan sepanjang tahun.
"Fluktuasi produksi ini akan menimbulkan peluang terjadinya guncangan terhadap harga jagung domestik. Kemudian ada pergeseran sentra produksi jagung," katanya.
Seperti diketahui, dalam 22 tahun terakhir (1993-2015) telah terjadi pergeseran sentra produksi jagung, dari pulau Jawa ke Sumatera dan wilayah Timur Indonesia: Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Meskipun dominasi produksi jagung tetap di pulau Jawa, namun terjadi pergeseran dari 62,26 persen (1993), menjadi 54,1 persen (2015).
Baca Juga: Cegah Korupsi, Kementan Teken MoU dengan LKPP
Di pulau Sumatera, kenaikan produksi jagung dari 16,27 persen (1993) menjadi 21,7 persen (2015); dan Sulawesi dari 11,86 persen (1993) menjadi 14,1 persen (2015). Sementara itu dari 90 pabrik pakan saat ini masih terpusat di 2 (dua) pulau besar yaitu Jawa (65 pabrik atau 72,2 persen dan Sumatera 19 pabrik atau 21,1 persen.
"Ketiga, harga jagung bukanlah harga tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia. Harga di pasar setidaknya dipengaruhi oleh faktor mutu utamanya kadar air (KA), fluktuasi produksi yang dihadapkan pada kebutuhan jagung sebagai pakan ternak yang relatif konstan dan tidak tersedianya silo di sentra jagung), serta biaya transportasi," paparnya.
Sementara itu, mengacu pada permendag Nomor 96/2018 mengatur 5 variasi harga acuan pembelian jagung di tingkat petani berdasarkan KA yaitu : Rp. 3.150/kg (KA 15 %), Rp. 3.050/kg (KA 20%), Rp. 2.850/kg (KA 25%), Rp. 2.750/kg (KA 30%) dan Rp. 2.500/kg (KA 35%).
Diarmita menambahkan bahwa pengguna jagung seperti pabrik pakan, cenderung memilih dan membeli jagung dengan KA rendah, agar mempunyai daya simpan lebih panjang. Hal ini untuk menjamin kepastian produksi (umumnya pabrik pakan mempunyai stok produksi 2 bulan) dan kualitas yang telah ditunjang oleh penyediaan infrastruktur berupa silo dan dryer.
"Untuk membangun manajemen logistik dalam tata niaga jagung yang terintegrasi ini, peran Perum BULOG menjadi strategis. Karena itu kita berharap Perum BULOG dapat menjembatani kepentingan petani sebagai produsen, serta kepentingan peternak dan industri pakan sebagai pihak konsumen," pungkasnya.
Baca Juga: Diminati Pasar, Kementan Dorong Limbah Pertanian Masuk Pasar Ekspor