Suara.com - Dalam acara peluncuran dan bedah empat buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius di Gedung Lemhannas, Jakarta, Ali Imron, salah satu pelaku bom Bali I dipertemukan dengan Vivi Normasari, salah satu korban bom JW Marriot 2003 dan para korban sekaligus penyintas aksi terorisme itu, serta keluarga korban terorisme.
Vivi Normasari, salah satu korban Bom JW Marriot tampak meluapkan emosinya saat mengungkapkan kembali, peristiwa kelabu yang terjadi pada 5 Agustus 2003.
Di hadapan mantan teroris Ali Imron, adik dari ahli perakit bom dari Jamaah Islamiah (JI) Amrozi--otak dari Bom Bali I, Vivi Normasari menceritakan kisahnya tengah membahas persiapan pernikahan yang akan digelar pada November 2003 (saat kejadian itu).
Bersama calon suami dan koleganya, saat itu Vivi Normasari santap siang di Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia tak pernah menyangka bakal menjadi korban pengeboman ketika itu.
"Pada 5 Agustus 2003, saya makan siang bersama calon saya dan koleganya membahas kepanitiaan pernikahan kami, yang rencananya diadakan bulan November. Namun tepat jam 12 lewat, musibah itu menimpa saya dan teman-teman," cerita Vivi Normasari, yang diundang menghadiri peluncuran sekaligus bedah buku, empat karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius.
Vivi Normasari mengatakan, akibat dari pengeboman itu, dirinya harus menanggung penderitaan akibat luka berat di tubuhnya. Harus menjalani operasi beberapa kali di tangan. Kemudian operasi di punggung, kaki serta pinggang.
Selama tujuh bulan, Vivi Normasari menjalani pengobatan karena luka berat akibat pengeboman yang terjadi di Hotel JW Marriott.
Bahkan pernikahannya sendiri, sampai mengalami tiga kali pengunduran karena ia tidak siap menerima kondisi tubuhnya yang menjadi korban pengeboman.
"Yang paling berat dari kejadian ini, saya tidak siap untuk menghadapi pernikahan. Untuk berdiri di pelaminan pada saat itu, dan bagaimana menyalami dengan tangan yang dibungkus dan digips. Saya tak sanggup, akhirnya saya memutuskan untuk tidak jadi menikah dan itu ukuran saya terberat ketimbang dari sakit saya," kata Vivi Normasari dengan berlinang air mata.
Baca Juga: Anang Hermansyah Akhirnya Sepakat Batalkan RUU Permusikan
Laman berikutnya adalah kisah Vivi Normasari bertahan dengan luka fisik maupun batin akibat peristiwa pengeboman JW Marriott.

Bisa Survive
Vivi Normasari mengungkapkan, bahwa setelah kejadian pengeboman yang menimpanya pada 2003 itu, dirinya menjadi seseorang yang memiliki sifat pemarah. Bahkan dirinya tidak sanggup kembali bekerja dengan kondisi fisik akibat menjadi korban pengeboman JW Marriot.
Butuh waktu lama, sampai akhirnya ia bisa berada dalam kondisi survive dan lebih tenang.
"Sampai saya konseling dengan psikolog dan psikiater, akhirnya mereka menyampaikan bahwa semuanya harus dihadapi, harus ikut dengan program mereka, di mana kita harus bisa berdiri di lokasi pada saat kejadian. Makanya saya ke Marriot, survive merangkak dari (Mal) Ambassador sampai saya berada di titik di mana saya berada, dan itu memang membuat agak sedikit tenang," kata Vivi Normasari.
Setelah berada dalam kondisi yang tenang, Vivi Normasari akhirnya memutuskan memenuhi ajakan untuk menghadiri perayaan mengenang peristiwa kejadian bom di JW Marriot. Di acara itu, ia bertemu dengan para korban yang lukanya atau kondisinya lebih parah dari dirinya.
"Luka mereka lebih parah dari saya, luka bakar mereka terlihat sekali dan mereka santai. Maksud saya bukan santai, namun mereka ikhlas menerima keadaan mereka akhirnya saya berpikir mengapa saya tidak (ikhlas) seperti mereka," ucapnya.
Caci-Maki kepada Mantan Teroris dan Akhirnya Bisa Ikhlas
Vivi Normasari mengaku saat ini sudah merasa ikhlas meski kedua tangannya cacat permanen akibat peristiwa bom JW Marriot. Kemudian dirinya juga merasakan trauma psikis rasa malu selama bertahun-tahun.
Ia menceritakan dirinya sangat dendam dengan Ali Fauzi, otak Bom Bali dan adik dari teroris Amrozi saat pertama kali bertemu. Bahkan saat bertemu, Vivi Normasari berniat menyiram muka Ali Fauzi dengan garam dan cuka.
"Mungkin tidak ada di sini (Ali Fauzi), (haru) pertama kali saya bertemu dengan Bang Ali itu saya nangis. Saya ingin sekali melihat muka beliau dan saya kasih garam, saya kasih cuka supaya dia merasakan bagaimana perihnya saya dan teman-teman," ucap Vivi Normasari.
Namun pada pertemuan dengan Ali ketika itu, saat Vivi Normasari mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Ali Fauzi, Ali menangis.
Ia heran mantan teroris bisa menangis. Namun ketika itu, ia melihat ketulusan Ali Fauzi untuk hijrah dan perlahan bisa menerima kondisi dirinya.
"Tapi pada saat itu saya caci-maki, beliau diam malah menangis, terus saya bilang kenapa teroris bisa nangis? Akhirnya saya trenyuh bahwa oh ternyata apa yang disampaikan beliau, ketulusan beliau untuk hijrah, untuk tobat, saya dan teman-teman akhirnya bisa menerima," ucap Vivi Normasari terus berlinang air mata.
Vivi Normasari juga mengaku bersyukur, bisa dipertemukan dengan mantan teroris Ali Imron yang hadir di acara itu. Ia juga berpesan agar Ali Imron tetap setia dan cinta NKRI.
"Dan bersyukur sekali, hari ini saya bisa bertemu dengan Pak Ali Imron (menangis), Bapak dapat salam dari teman-teman penyintas bahwa mereka berpesan kepada Bapak: Semoga bapak semakin mencintai NKRI dan setiap hela napas bapak (sembari menangis, dan penonton bertepuk tangan), adalah untuk menjaga NKRI ini untuk tidak ada pembom lainnya di negeri kita," ungkapnya penuh perasaan.