Suara.com - Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai, langkah Kementerian Pertanian (Kementan) yang fokus mencetak sawah dari lahan rawa adalah keputusan bijak. Hal ini berkaitan dengan siklus musim panas ke depan yang akan lebih panjang dan lahan rawa akan lebih tahan banting.
Ketua KTNA, Winarno Tohir, menyatakan, lokasi rawa menjadi pilihan yang bagus, karena selain luas, rawa juga mampu beradaptasi lebih baik saat menghadapi kemarau panjang yang kabarnya akan menerpa dalam waktu yang lebih lama.
Dalam laporan BMKG internasional dan dalam negeri yang diterima Winarno, tahun ini sudah masuk musim El-Nino atau siklus kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Kondisi ini akan terjadi hingga periode 5-10 tahun ke depan, sehingga lahan rawa yang memiliki nilai tingkat serap tinggi bakal lebih bisa diandalkan, karena memiliki cadangan air yang dalam.
"Akan makin pas kalau di lahan rawa, karena rawa memiliki kelebihan air. Sebaliknya, lahan biasa akan membutuhkan infrastruktur air sekunder tersier maupun saluran kecil lainnya," jelas Winarno.
Namun demikian, ia mengakui, produktivitas sawah dari rawa belum bisa menyaingi sawah konvensional. Satu petak sawah dari rawa menghasilkan 3 ton per ha, sedangkan dari sawah lahan biasa di 6 ton per ha.
"Maka harus ada varietas khusus yang bisa tumbuh di area rawa. Saat ini sudah ada varietas lokal, walau belum ada yang khusus untuk rawa," tambahnya.
Kementan, tahun ini menargetkan akan melakukan konversi lahan rawa menjadi sawah sebanyak 500 ribu ha. Selain itu, ada juga perluasan lahan sawah eksisting 6 ribu ha.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Sarwo Edhy mengungkapkan, agenda kerja ini akan dilakukan dengan total anggaran Rp4,9 triliun.
"Ini sekaligus untuk pengadaan alsintan, pengembangan embung dan irigasi-irigasi lainnya," ujarnya.
Baca Juga: Kementan : Anggaran DIPA 2019 Rp 4,927 Triliun
Optimalisasi lahan rawa menjadi sawah ini, lanjut Sarwo Edhy, akan difokuskan di Kalimantan Selatan seluas 300 ribu ha, Sumatera Selatan 200 ribu ha, dan sebagian kecil di Jambi. Sedangkan perluasan areal sawah akan dilakukan di Riau, Sumatera dan Sulawesi.
"Area rawa menjadi lokasi pengembangan lahan sawah terkini, karena memiliki potensi yang besar," tambahnya.
Dalam catatan Kementan, luas rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta ha, yang terdiri dari lahan pasang surut seluas 23,05 juta ha dan rawa lebak seluas 10,35 juta ha.
Kementan juga telah menyiapkan teknologi khusus untuk mengatasi sejumlah tantangan menangani lahan rawa, seperti manajemen pengairan, teknologi olah lahan hingga, penyiapan varietas padi unggul untuk rawa.
Lahan rawa sebenarnya punya kesuburan yang cukup baik, namun ada beberapa permasalahan perlu diatasi. Beberapa diantaranya, kondisi biofisik lahan, seperti kemasaman tanah tinggi, dan kandungan besi yang umumnya tinggi, dan cekaman air seperti kekeringan dan genangan.
"Kondisi inilah yang harus ditangani agar produktivitas tanaman di lahan rawa lebih optimal dan produktif," kata Sarwo Edhy.
Kementan pun menyiapkan varietas Inpara (Inbrida padi rawa), yang merupakan varietas padi adaptif lahan rawa. Ada sembilan varietas yang sudah dilepas, yaitu Inpara 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
Varietas Inpara dirakit dengan memiliki keunggulan toleran terhadap keracunan besi (Inpara 1, 2, 3, 6, 7, 8 dan 9) dan toleran rendaman (varietas Inpara 4 dan Inpara 5), sementara Varietas toleran rendaman yang dikembangkan dari gen Sub-1 memiliki kemampuan recovery dengan cepat setelah mendapat cekaman genangan. Potensi hasil 5,0-7,6 ton /ha dengan potensi hasil rata-rata di atas 5 ton/ha.
"Beberapa padi juga punya hasil yang khusus, seperti Inpara 2 dan 7, yang punya bentuk tekstur nasi pulen, sementara Inpara 1, 3, 4, 8, dan 9, teksturnya pera, serta tekstur sedang untuk Inpara 5, dan 6 dengan umur panen 114-135 hari," terangnya.
Varietas Inpara 2 memiliki adaptasi yang baik di LRPS maupun LRL. Varietas ini cukup berkembang dan diminati petani di Kalimantan Selatan, Tengah, dan Bengkulu, dengan hasil 3-5,0 ton/ha. Varietas Inpara 3 memiliki adaptasi luas dapat ditanam pada beberapa agroekosistem, baik di lahan LRPS, lebak, irigasi semi teknis dan tadah hujan di Kalimantan Selatan, Tengah, dan Barat. Daya hasil Inpara 3 relatif stabil antara 3,0-4,0 ton/ha.
"Adaptasi kedua varietas tersebut cukup baik di lahan rawa, sehingga pada daerah dimana varietas Ciherang kurang adaptif. Kedua varietas tersebut masih dapat berproduksi dengan baik," pungkasnya.