Suara.com - Sebuah bangunan gubuk beratapkan rumbia berdiri tegak di tengah-tengah rimba beton di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di sana ada Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA).
Seperti namanya, SAAJA menjadi alternatif ruang bermain dan belajar bagi anak-anak dari keluarga penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
Suara.com datang ke SAAJA, Kamis (7/2/2019) pagi. Sekilas dari luar bangunan ini memang tidak tampak seperti ruang untuk belajar. Bangunan semipermanen dengan luas 9x12 meter hanya beratapkan rumbia, dan di dalamnya hanya tersedia satu buah papan tulis dengan lantai beralaskan karpet. Selain itu, SAAJA juga dilengkapi dengan taman bermain berukuran 4x12 meter yang dilengkapi dengan wahana permaianan seperti ayunan dan perosotan.
Agus Supriyanto (49) bercerita SAAJA sudah berdiri sejak tahun 2001 di atas lahan milik Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DKI Jakarta. Agus adalah Pembina SAAJA. Lokasi tersebut awalnya menjadi posko banjir ketika banjir musiman yang terjadi di tahun 2001.
Baca Juga: Efek Jera, Belasan Anak Jalanan Digunduli Satpol PP
Ayah, panggilan akrab Agus di SAAJA. Agus menceritakan SAAJA didirikan oleh almarhum Ahmad Farid Faqih. Ahmad Farid Faqih tidak lain ialah sahabat sekaligus teman diskusi dan berdebat Agus yang menaruh perhatian besar terhadap anak-anak jalanan.
Suatu ketika, Agus bercerita pada tahun 1999 almarhum Ahmad Farid Faqih mengajak dirinya dan rekannya berjalan ke sejumlah lokasi di Jakarta. Ketika itu, mereka manyaksikan sendiri bagaiamna banyak anak-anak yang menghabisakan waktunya di jalanan dengan mengamen, mengimis atau menjadi joki 3 in 1.
“Saya ingat betul itu, almarhum Ahmad Farid Faqih bilang ke saya, ‘apa lu tega lihat adik-adik kita kaya begitu?’” tuturnya.
Agus yang terus kepikiran atas perkataan Ahmad Farid Faqih, akhirnya tergerak untuk memikirkan bagaimana caranya untuk menyediakan ruang agar anak-anak tidak lantas turun ke jalanan. Sampai pada akhirnya, berdirilah SAAJA pada tahun 2001 yang ketika itu berada di bawah binaan almarhum Ahmad Farid Faqih.
Baca Juga: Razia Anak Jalanan, Satpol PP Dikeroyok 3 Bocah, Kepala Sobek
Laki-laki kelahiran Seragen, 4 Agustus 1969 itu mengungkapkan lokasi beridirnya SAAJA di tengah-tengah bangunan megah pusat perkantoran dan bisnis bukan tanpa alasan. Selain dulunya Jalan RH Rasuna Said menjadi titik kumpul anak jalanan, menurutnya hal itu secara tidak langsung sebagai kritik terhadap pemerintah bahwasannya di tengah-tengah pusat perkotaan ini masih ada ketimpangan terkait pemerataan pendidikan.
“Gubuk - gubuk ini juga sebagai simbol bahwa masih ada di kota metropolitan itu akses pemerataan pendidikan belum menyeluruh, itu filosofi awalnya. Artinya, ada suasana kontras yang memang pemerintah seharusnya melihat itu,” ungkapnya.
Anak-anak berbaris
Agus mengajak Suara.com menemui langsung anak-anak di kelas pendidikan anak usia dini (PAUD) SAAJA. Kami disambut meriah para siswa yang rata-rata berusia 4-6 tahun.
“Ayo baris dan salim sama kakak,” ucap Agus.
Agus menyebutkan setidaknya ada sekitar 83 siswa PAUD SAAJA. Mereka terbagi kedalam tiga kelas, yakni kelas pagi, siang dan sore.
Laki-laki lulusan Akademi Sekretari Manajeman Indonesia (ASMI) itu menjelaskan, anak-anak di kelas PAUD mengikuti waktu pembelajaran selama 2 jam. Mereka mendapatkan pendampingan bagaimana mengekspresikan diri, mengenal lingkungan hingga belajar baca, tulis, dan hitung (calistung).
“Kita lebih membangun karakter mereka untuk berani tampil dalam mengekspresikan diri. Tidak lebih dari dua jam, mereka bermain sambil belajar. Karena bermainnya anak itu juga bagian dari belajar,” imbuhnya.
Berkenaan dengan itu, Agus mengatakan bagi anak-anak yang telah lulus dari PAUD SAAJA nantinya akan diberikan sertifikat. Awalnya, Agus mengatakan banyak sekolah-sekolah tingkat sekolah dasar (SD) yang meragukan bahkan menolak anak-anak lulusan dari PAUD SAAJA. Namun, kekinian justru sekolah-sekolah tersebut mengakui kalau anak PAUD lulusan SAAJA justru dinilai cenderung lebih siap secara mental dan akademis daripada PAUD lainnya.
“Awalnya banyak yang menolak dan ragu. Tapi sekarang mereka malah mengakui kalau anak-anak dari SAAJA justru dinilai lebih berprestasi. Itu yang menurut saya jadi kebahagiaan yang tak ternilai harganya,” ucap Agus.
Cerita Cindy
Sementara itu, Agus mengatakan untuk tenaga pengajar sendiri, PAUD SAAJA memilik empat tenaga pengajar tetap. Di samping itu, juga ada tenaga pengajar dari relawan-relawan, salah satunya Cindy (21).
Cindy mengaku sudah satu tahun belakangan ini menjadi relawan pengajar di PAUD SAAJA. Awalnya, mahasiswi Psikologi Atma Jaya itu menuturkan hendak melakukan tugas kuliahnya untuk mengobservasi PAUD SAAJA. Namun setelah terjun langusung dan menyaksikan bagaimana kondisi di PAUD SAAJA dirinya tertarik untuk menjadi relawan tenaga pengajar.
Warga Grogol, Jakarta Barat itu mengatakan sempat terkejut tatkala kali pertama mengetahui adanya PAUD SAAJA dengan bangunan gubuk di tengah-tengah pusat kota. Pasalnya, sejauh ini dirinya mengenal kota Jakarta Selatan identik dengan pusat perkantoran, bisnis dan wilayah yang dihunin oleh kalangan menengah ke atas.
Cindy mengatakan menjadi pengajar di PAUD tidak lah mudah. Banyak tantangan yang dihadapinya untuk bisa lebih memahmai karakter anak-anak tersebut. Terlebih, Cindy mengatakan hal itu menjadi pengalaman pertamanya mengajar anak di usia 4-6 tahun.
Kecintaan Cindy pada anak-anak menjadi alasannya dirinya selama setahun ini menjadi relawan tenaga pengajar di PAUD SAAJA. Selain itu, melihat semangat dan antusiame para siswa PAUD SAAJA turut menjadi bekal bagi dirinya untuk terus membantu sebagai tenaga pengajar. Cindy menilai semua anak-anak berhak mendapatkan pendidikan dengan latar belakang ekonomi apapun.
“Mereka memang harus mendapatkan pendidikan usia dini, mau latar belakang keluarga atau ekonomi apapun, mereka harus dapat pendidikan,” tutur Cindy.