Suara.com - Kota Semarang dikenal sebagai kota beragam etnis, ada dari Jawa, Arab, China sampai Gujarat (India). Keberagaman itu tertata apik, menjadikan Semarang sebagai kota yang aman, adem ayem.
Jauh dari isu SARA maupun perpolitikan nasional yang kerap menyeret ke daerah, di Kota Semarang justru antar etnis saling mendukung, terutama pada perayaan hari besar masing-masing etnis.
Seperti pada perayaan Tahun Batu Imlek, seolah menjadi budaya milik bersama, masyarakat lintas etnis berbaur memadati simbol-simbol etnis Tionghoa seperti klenteng atau berkunjung ke Kawasan Pecinan Semarang.
Salah satu budaya tradisi perekat hubungan itu adalah tradisi Tok Panjang. Sebuah jamuan makan antar etnis, duduk satu meja yang ditata memanjang dengan hidangan aneka jenis makanan. Makanan pun dijamin halal.
Baca Juga: Tutup Festival Imlek, Ancol Akan Lepas Ratusan Lampion
Makan bersama di meja Tok Panjang biasa digelar di Kawasan Pasar Semawis Pecinan Semarang saat Tahun Baru Imlek datang. Semua masyarakat berbaur mulai dari pejabat walikota, pemuka agama, masyarakat, sampai wisatawan luar Semarang dipersilahkan turut menikmati.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopisemawis), Harjanto Halim mengatakan Tok Panjang merupakan tradisi menjamu para tamu dari segala etnis dan komunitas.
"Imlek itu intinya mempertemukan saudara yang terpisah. Jamuan Tok Panjang adalah upaya merawat kebersamaan dan kesejahteraan," kata Harjanto, Selasa (5/2/2019).
Jaman dahulu, kata Harjanto, jamuan malam saat Imlek ada di meja bundar, karena selalu berkembang sanak keluarga maka ditempatkan pada meja dinamai meja Tok Panjang.
"Jadi mempertemukan kembali, silaturahmi bertemu di Tok Panjang, ini perekat semua anak bangsa," tutur Harjanto.
Baca Juga: Imlek 2019 Terasa Berbeda buat Marcus Gideon, Kenapa?
Sajian hidangan juga tak sembarangan, semua makanan serba memiliki makna filosofi layaknya dalam budaya Tionghoa. Makanan itu dihidangkan pada meja sepanjang 200 meter.