Suara.com - Inem Jogja, coretan di raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Nampak tak ada yang sendu dari apa yang ia hadapi. Setiap langkah Inem Jogja yang dilakukanya mendapat respon ceria. Bahkan setiap orang yang Inem Jogja dekati selalu diawali dengan senyum lebar.
Sosok Inem Jogja yang diekspresikan sebagai pelayan seksi tiba-tiba berubah menjadi aura pelayan masyarakat. Sampah yang jatuh berserakan di jalan Malioboro ia pungut, lalu ia buang ke tempat sampah. Orang yang melihat aktivitas Inem Jogja pun ikut menirunya.
Sesekali Inem Jogja geram dengan tingkah masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempat. Teguran keras Inem Jogja membuahkan hasil. Publik mengerti Inem tak ingin sampah menyelimuti keindahan Jogjakarta.
Namun siapa sangka, Inem Jogja awalnya hanyalah seorang anak tukang balon. Orangtuanya bekerja di alun-alun utara menjajakan balon kepada para pengunjung. Bahkan hidupnya begitu susah, makan saja hanya menggunakan minyak dan garam diaduk menjadi satu kemudian dimakan secara bersama-sama.
Baca Juga: 2 Ton Kue Keranjang Dipesan dari Yogyakarta, Harganya Rp 40.000 Per Kg
"Saya dulu latar belakang keluarga tidak mampu, orangtua saya pedagang balon mencari makan nasi susah sekali,” tutur Made Dyah Agustina sosok di balik nama Inem Jogja saat ditemui Suara.com di Rumah Tembi Budaya, Jum’at (11/1).
Ia menceritakan, dulu untuk bersekolah sangat susah. Bahkan Inem Jogja tidak mempunyai sepeser uang untuk bisa membeli seragam serta membayar SPP sekolah. Di tengah keterpurukannya, Inem Jogja mencoba untuk bangkit.
Inem Jogja mencoba untuk melakukan apa yang bisa, guna membantu kedua orangtuanya agar tidak bersusah payah membiayai sekolah.
Bakat nari yang lahir dari ayahnya, ia maksimalkan untuk mencari penghidupan. Memang sejak lahir, seni tari sudah melekat pada Made Dyah, nama lengkap Inem Jogja. Inem Jogja menceritakan bakat itu muncul di Balikarena diajarkan langsung oleh sang ayah, selain itu ada sebuah kewajiban bagi dirinya untuk bisa menari dalam keperluan upacara agama.
"Bapak saya dari tahun 70 di kota Yogya, nggak beruntung mengembara ke Kota Jogja, tahun 1977 sampai sekarang ngontrak terus. Saya jualan bantu keluarga bayar sekolah. Saya hanya bisa nari saya lakukan job tari. Saya masuk di rumah budaya ini, apa-apa saya dari nari. Bakat saya nari sendiri dimulai dari kecil diajari bapak, orang Bali kan kalau upacara harus nari, 2011 berhenti menari,’’ ujar Made Dyah mencoba mengulas masa hidupnya.
Baca Juga: Aksi Polisi di Yogyakarta Bikin Jera Pemotor Yang Pakai Knalpot Blombongan
Dari hasil menari itulah, pada akhirnya Inem Jogja menempuh kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2005 dengan mengambil jurusan pendidikan tari dan berhasil menyelesaikan masa kuliah pada tahun 2010. Setelahnya ia melanjutkan kuliah S1 di Institute Seni Indonesia Yogyakarta dengan jurusan manajemen pertunjukan ia selesaikan pada tahun 2013.
"Saya kuliah di UNY lalu S2 saya di ISI jurusan Manajemen Pertunjukan, itu biaya saya sendiri," ujar perempuan kelahiran Yogyakarta ini.
Setelah itu, Inem Jogja kemudian mencoba peruntukan untuk mendaftar sebagai dosen, dari pengalamanya belajar ia diterima sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi sesuai dengan kemapuannya di bidang tari.
"Setelah lulus saya jadi dosen Seni Tari di Universita Terbuka dan Universitas Sanata Dharma dari 2014-2016," jelas Made Dyah.
Merasa kurang mendapatkan selera untuk mengajar, Made Dyah memutuskan untuk berhenti menjadi dosen dan terus menjajaki karir di dunia seni tari melalui sanggar yang ia kelola di Rumah Budaya Tembi hingga kini mencoba menjadi Inem Jogja.
Kontributor : Abdus Somad
Awal Mula Inem Lahirnya Jogja
Made Dyah Agustina tentu tidak membayangkan Inem Jogja diterima banyak orang di Yogyakarta. Dia mengungkapkan sejak Inem Jogja muncul banyak orang berbondong-bondong mengangkatnya menjadi sebuah aura yang positif.
Dyah menututkan ada cerita menarik dari awal mulanya Inem Jogja, peristiwa itu bermula ketika Made Dyah menghiasi wajahnya serba putih ibarat sedang berpantomim. Kemudian ia menggunakan kebaya dan kain menyelimuti tubuhnya.
Ia lalu memutuskan untuk jalan-jalan di area Maliboro. Dari tingkah laku Inem Jogja sindiran negatif mulai bermunculan. Bahkan ia pernah diusir oleh keamanan Malioboro, bahkan ia pernah dianggap orang gila oleh para pedagang kaki lima Malioboro.
"Inem mulai awal januari 2018, saya viral pertama kali diusir waktu di Malioboro sama pengamannya, saya nggak ngamen, nggak perform, padahal saya sudah nunjukin KTP dengan gelar saya tetap saja diusir ntah kenapa, terus saya dikatakan gila lalu disuri, tapi saya senang orang gak tahu apa yang saya lalakukan mending dilihat negatif dulu," cerita Made Dyah mengenang kemunculan Inem.
Dari kejadian itu ia coba posting di akun sosial Facebook Info Cegatan Jogjakarta (ICJ) apa yang ia keluhkan ia sampaikan semuanya. Inem Jogja kaget melihat komentarnya yang banyak mendukung dirinya melakukan aktivitas kesenian tersebut.
"Saya upload pengusiran itu di grop ICJ tiba-tiba viral ternyata ada mahasiswa saya semua, tersebarlah masak dosen edan dan jalan-jalan, hal itu kemudian viral," kata Made Dyah sembari tersenyum tipis mengenang pengusiran itu.
Ia mengungkapkan keiinginanya menjadi Inem Jogja bukan semata untuk keperluan profit diriya sendiri, melainkan untuk menjadi orang yang berguna bagi semua masyarakat. Inem Jogja ada untuk orang lain, membantu masyarakat membersihkan sampah berbicara dengan banyak orang dari hari ke hati untuk mengibur para pedangan di kala rasa capek mulai menghampiri.
“Saya ingin membuat sesauatu hal kesenian itu gak hanya profit, ekspresi jiwa kita sebagai seniman, seni bisa bermanfaatn bagi masyarakat sekitar, di situ saya buat edukasi karena maraknya konten negatif saya membuat sesautu hiburan yang mengedukasi pengikut saya, saya ingin jadi pelayan masyakarat saya angkat saya angkat jadi inem,’’ kata Made Dyah yang sehari-harinya kini mengelola sanggar Tari.
Made Dyah mengaku setiap kegiatan yang dilakukannya di jalanan dengan pakaian Inem Jogja, ia selalu diangap gila, banyak diantara masyarakat melakukan cibiran terhadap dirinya, meskipun demikian semua itu dianggap sebagai sebuah nilai kehidupan, prinsip hidup untuk saling mengingatkan dan membantu sesama merupakan nilai hidup yang dipelajari Made sejak kecil.
“Nilai kehidupan, saya bersukur dari kehidupan saya sekarang, di situ banyak hal yang bisa dilakukan dengan Inem, banyak yang katakan inem itu gila sering panggil saya orang edan, saya katakan mending saya gila tapi bermanfaatn bagi banyak orang ketimbang waras tapi gak berbuat apa," ungkap Made Dyah.
Aktivitas jalan-jalan Inem bukan sebuah aktivitas rutinitas, melainkan hanya sebuah tindakan untuk melihat tatanan sosial masyarakat dari sudut pandang Inem, ia menceritakan kadang saat jalan-jalan banyak bawa kantong plastik untuk bersihkan sampah jalanan, kadang juga membawa uang lebih membeli nasi bungkus yang kemudian diberikan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Menurut Dyah keberadan Inem Jogja untuk mencerminkan nilai kehidupan antar sesama manusia dan alam bukan semata-mata untuk berkesenian.
"Saya ngapain saja di jalan, sederhana saja saya ingin memanfaatkan bakat saya, saya melakukan hal positif, apa saja yang ditemui, saya bawa kresek ambil sampah, memberikan pelajaran unggah-ungguh ada anak kecil, ada pedagang sudah tua saya bantu buruh gendong saya bantu, semua itu nilai kehidupan yang orang lain saja tidak banyak yang melakukannya. Berbagai canda tawa dengan orang pedagang yang capek terhibur, nah Inem ada untuk hal itu," tutur Made Dyah.
Saat disinggung perihal apa makna dari coretan di wajah dan pakaian kebaya yang digunakan oleh Inem, Made Dyah menjawab semua itu bagian dari tarian yang ia buat sendiri, menurutnya wajah mengambarkan sebuah konsep tolak bala untuk Jogjakarta baik kepada pedangann maupun kepada warga Yogyakarta asli. Ia tidak ingin Yogyakarta menjadi kotor karena tindakan yang tidak suka dengan bumi Yogyakarta.
“Wajahku menggabarkan Inem jogja itu tolak bala untuk Jogja dari pengaruh negatif baik pendatang maupun asli yang sudah meninggalkan budaya tradisonal menuju modern, kota ini istimewa tapi banyak masyarakat gak istimewama, banyak yang luntur perilakunya,’’ kata Made Dyah.
Atas apa yang sudah dilakukannya, perlahan Inem Jogja mulai dikenal sosok yang bukan manusia biasa, bahkan menurut Dyah atas tindakannya di jalanan ia menjadi tempat aduan masyarakat ketika memposting keseharian Inem Jogja di akun Facebook dan Instagramnya @InemJogja. Dari akun itulah Inem Jogja juga menyampaikan nilai edukasi kepada para nitizen akan pentingnya menjaga lingkungan dan membantu antar sesama.
"Di Sosial media Inem menjadi aduan masyarakat, saya gak tahu kenapa setiap saya uplod dikometari masyarakat selalu ditindak, manfaatnya besar, ada beberapa yang hubungi orang tua, semenjak jadi Inem anak-anak gak buka sosial media," pungkas Made Dyah.
Meskipun demikian, Inem Jogja tetaplah Inem Jogja, menurut Made Dyah Inem Jogja merupakan bentuk rasa syukurnya kepada Tuhan yang Maha Esa atas apa yang sudah diberikan.
“Viral Inem itu bukan hitungan detik, akan terus kalau tidak viral gak masalah, karena bagi saya cara saya inem Jogja saya buat ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa saya ekspresikan pada Inem Jogja,’’ tutur Made Dyah.
Kontributor : Abdus Somad
Tahun Politik Inem Jogja Mulai Dipolitisir Oknum
Siapa yang menyangka sosok Inem Jogja yang begitu dekat dengan masyarakat mulai dipolitisir oleh kelompok politik tertentu. Padahal Inem Jogja tidak pernah menyampaikan bahwa dirinya berpolitik praktis dalam urusan Pilres 2019.
“Inem Jogja jelas tidak berpolitik di akun sosial sudah jelas juga," kata Made Dyah menjelaskan sosok Inem dalam urusan politik sembari tertawa lebar.
Made Dyah menjelaskan pada saat aksi Damai Jogja Anti Klitih yang berlangsung di Alun-Alun Utara pada 9 Januari 2019 lalu ia tidak menyangka akan dipolitisir, padahal menurut Made Dyah tidak ada niat Inem Jogja berpolitik sebab visi misi Inem untuk membahagian dan membantu orang serta menjadi bermanfaat bagi rang lain.
“Aku demo klitih kemaren ada pak polisi ngasi aku tulisan pemilu damai ternyata di politisir karena pakai kebaya merah, nanti pakai biru dikira Demokat pakai baju kuning dikira Golkar kalau pakai hitam ada, masak pakai hitem semua,’’ kata Made Dyah.
Inem Jogja bingung ketika semua pakian yang digunakan selalu dikatakan dengan politik. Menurut Made Dyah seharusnya kalau seni lihatlah sebagai kesenian jangan dikaitkan dengan perpolitikan. Inem Jogja akan selalu ada untuk masyarakat Jogja namun urusan perpolitikan Inem Jogja akan tertawa melihat keadaan, seperti angin Inem akan berhembus ke-manapun ia begerak tentu saja Inem tidak ingin diambil oleh sebelah pihak, bagi Made Dyah hati Inem Jogja tetap untuk Jogja dan masyarakat Indonesia.
“Kemaren aku bawa pakai baju merah dianggap pro Jokowi pakai baju biru dianggap pro demoktrat, susah sekarang Inem pakai baju apa. Padahal itu kesenian bukan perpolitikan, tugas Inem bagaimana mengemas kesenian bisa diterima semua elemen, Inem diterima semua elemen.’’ ketus Made Dyah sembari tertawa melihat kekonyolan itu.
Kontributor : Abdus Somad