Semasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada 2000 lalu udara segar mulai dirasakan etnis Tionghoa.
Gus Dur kala itu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dengan berakhirnya Instruksi Presiden itu, warga etnis Tionghoa kembali bebas mengekspresikan diri dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Mereka bebas menggelar pertunjukan barongsai di muka umum hingga menjual berbagai pernak-pernik bernuansa merah di tiap sudut kota. Gus Dur memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa merayakan kepercayaan mereka.
Kemudian pada 2001, Menteri Agama saat itu mengelurkan Surat Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Baca Juga: Sebelum Ditemukan Mati, Lumba-lumba Mondar-mandir di Pantai Kuta Bali
Sesuai peraturan itu, hanya warga beretnis Tionghoa saja yang diperbolehkan merayakan Imlek dan merasakan hari libur. Sementara, warga etnis lainnya tetap menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa.
Kembalinya Semangat Soekarno
Hingga kemudian berganti ke masa Presiden Megawati, atau memasuki tahun 2002, ia mengembalikan sejumlah aturan yang sebelumnya pernah dilakukan di masa kepemimpinan sang ayah, Soekarno.
Salah satunya adalah menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Di mana sebelumnya hanya warga Tionghoa saya yang boleh libur, kali ini, seluruh warga Indonesia bisa ikut merasakan libur di hari raya Imlek seperti hari libur nasional pada umumnya.
Hingga kini, Perayaan Imlek semakin semarak digelar. Nuansa merah menyelimuti seluruh penjuru kota. Hari Imlek pun masih ditetapkan sebagai hari libur nasional yang dirasakan oleh seluruh umat beragama di Indonesia.
Baca Juga: Tak Dibelikan Ponsel untuk Main PUBG, Remaja Bunuh Diri