Suara.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan Hakim Ad Hoc Pengadilan Negeri Medan Merry Purba yang kini menjadi terdakwa kasus penjualan lahan aset negara. Alasannya, eksepsi Hakim Merry ditolak majelis hakim menilai dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sah.
"Surat dakwaan tersebut telah menyantumkan data formil dan membuat data identitas terdakwa secara lengkap sejak saat terdakwa diadakan di persidangan yang dicantumkan di dakwaan telah cocok. Sehingga penuntut umum tidak salah," kata Ketua Majelis Hakim, Saipudin Zuhri dalam pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).
Menurut Saipudin, penolakan eksepsi terdakwa Merry sudah dilakukan pertimbangan dan melalui analisa mendalam. Dari pemeriksaan itu, Hakim Saipudin menolak eksepsi Merry yang disampaikan tim pengacara.
Dalam sidang, hakim kemudian meminta JPU untuk melanjutkan persidangan dengan agenda pemanggilan terhadap sejumlah saksi dalam perkara tersebut.
"Menyatakan keberatan tim Penasihat Hukum (PH) terdakwa Merry Purba tidak dapat diterima. Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan terdakwa atas nama Merry Purba," tutup Saipuddin
Baca Juga: Terdakwa Korupsi Sebut Partai Nanggroe Aceh Dukung Jokowi - Ma'ruf Amin
Merry didakwa oleh Jaksa KPK menerima suap sebesar 150 dolar Singapura dari terdakwa Tamin Sukardi dalam perkara suap putusan perkara penjualan lahan aset negara.
Pada sidang sebelumnya, pengacara Merry, Effendi Lod Simanjuntak menganggap bukti permulaan yang dimiliki KPK tak memenuhi syarat untuk menjerat kliennya yang kini berstatus terdakwa. Hal itu, kata dia, karena Jaksa KPK hanya memiliki keterangan satu saksi.
"Ini seharusnya jadi objek praperadilan. Tapi masalah kecukupan alat bukti kami sampaikan dalam sidang pokok perkara ini karena didorong semangat mencari kebenaran materil suatu peristiwa pidana," ujar Effendi
Atas perbuatannya, Merry Purba didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12b huruf c Jo Pasal 18 Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke - 1 KUHPidana.
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara ditambah uang pengganti Rp 132 miliar. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 10 tahun penjara.
Baca Juga: Kencan Pertama Sukses, Tapi Kenapa Si Dia Menghilang?