"Saya tersadar saat sendirian dan berpikir hidup ini mau ke mana. Saat bergabung dengan kelompok Mas Anggar Melodi, beliau selalu bercerita tentang kebesaran Allah dan mati. Sejak itulah, saya tergiring masuk di Komunitas Sindrom ini," ujarnya sebelum mengaji Iqra jilid I.
Linggar dan Tri kini bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil di dekat rumah mereka. Kedua pemuda itu kini tak lagi menjadi anak punk kendati ciri khas tato mereka masih melekat.
Tak Perlu Hapus Tato
Tato yang dimiliki anggota jemaah Komunitas Sindrom itu justru dimanfaatkan sebagai sarana dakwah kepada anak-anak punk yang belum sadar.
Baca Juga: Gerindra Bantah, Sebut Ajat Sudrajat yang Dijatuhi Sanksi DKPP Bukan Kader
"Tato itu jadi nilai tambah ketika masuk dan berdakwah mengajak teman-teman punk yang juga bertato. Jadi tidak perlu dihapus,” kata pendiri Komunitas Sindrom Sragen, Anggar Melodi.
Kedua tangan Anggar pun masih dihiasi tato. Bahkan salah satu telinganya masih berlubang bekas tindikan. Namun, Anggar kini tampil seperti ustaz dengan jenggotnya.
Anggar keluar dari komunitas punk sejak 2016. Ia kemudian mencari teman untuk belajar mengaji. Akhirnya ia menemukan tiga orang teman yang juga jebolan punk.
Dari mengaji bareng empat orang itulah kemudian Komunitas Sindrom itu terbentuk. Anggota yang terdaftar di komunitas mencapai 82 orang dan 50% di antaranya mantan anak punk. Semuanya anak muda.
Mantan anak punk itu kini banyak yang bekerja mandiri, selain jadi buruh pabrik, ada juga yang jualan nasi goreng, buka warung kopi, ternak ayam, dan distro. "Dulu pernah yang datang itu mencapai 130 orang,” ujar Anggar yang membuka distro muslim di belakang kompleks Gedung Pemda Sragen.
Baca Juga: Kampanye Maruf Amin: Peran Kyai Sepeti Gunung, Tak Terlihat, Tapi Dahsyat
Ciri khas punk lainnya berupa musik dan akustik juga dimanfaatkan untuk sarana dakwah kepada anak-anak muda. Anggar berniat membuat komunitas-komunitas kajian di desa-desa, seperti di Taraman.