Suara.com - Media asing mengkritik kedua pasangan Capres dan Cawapres Indonesia, dalam Debat Pilpres 2019 mengenai hukum, hak asasi manusia, korupsi, serta terorisme di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1) malam.
James Massola, Koresponden The Sydney Morning Herald untuk Asia Tenggara dan berbasis di Jakarta, bahkan menyebut Jokowi - Maruf Amin serta Prabowo Subianto - Sandiaga Uno seperti robot dalam debat tersebut.
Dalam artikel berjudul Jokowi vs Prabowo: Indonesian presidential debate robotic, risk-averse, Jumat (18/1/2019), James menulis kedua pasangan tersebut kaku seperti robot saat berdebat demi menghindari risiko politik.
“Jokowi dan Prabowo beserta cawapres mereka masing-masing sebenarnya memunyai semua kartu untuk dimainkan dalam debat, demi mendapatkan banyak pendukung pada pemilu 17 April. Tapi mereka justru tampil kaku bak robot dalam debat justru untuk menghindari risiko serangan,” tulis James.
Baca Juga: Ungkap Makna Lagu Stalking, Shakira Jasmine : Remaja Banget!
Dalam analisis James, debat Jokowi versus Prabowo kali ini sebenarnya merupakan babak ulangan pada Pilpres 2014, meski telah berstatus berbeda.
Jokowi kekinian tampil sebagai capres petahana yang memunyai “amunisi” maupun beban setelah 4 tahun memimpin pemerintahan.
“Jokowi telah banyak berinvestasi politik seperti menggenjot proyek pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan. Hal itu bisa dimanfaatkan untuk menyerang lawannya saat debat,” jelasnya.
Tapi di lain sisi, Jokowi bermain aman lantaran semua program pembangunan itu berada di tengah situasi, “Korupsi hampir menjadi endemik dan kemiskinan—meskipun kelas menengah terus tumbuh—masih marak sehingga semua proyek infrastruktur belum cukup untuk menunjukkan kemajuan pemerintahannya.”
Sementara Prabowo, kandidat gagal saat Pilpres 2014 yang juga kalah saat menjadi cawapres pada Pilpres 2009, bermain aman karena ini kali terakhir kesempatan dirinya memenangkan kursi presiden.
Baca Juga: Jubir TKN: Ma'ruf Amin Jadi Bintang di Debat Pilpres Perdana
Menurut James, persoalan kakunya peserta debat itu dimulai sejak KPU memutuskan memberikan kisi-kisi pertanyaan kepada kedua kubu sepekan sebelumnya.
Bagi KPU, tulis James, penyerahan kisi-kisi terebut agar kedua peserta debat bisa memberikan jawaban substantif dan menginformasikan segala sesuatu lebih baik kepada pendengar.
“Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Kisi-kisi pertanyaan itu justru menjadikan debat tak mengalir bebas seperti pada debat Pilpres 2014. Keempat peserta, terutama Jokowi dan Prabowo, menjawab pertanyaan moderator secara terstruktur, terlatih. Tak bebas, itu buruk sekali.”
Namun, pada sesi-sesi akhir debat, ketika para kandidat saling mengajukan pertanyaan yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya, debat menjadi sedikit hidup.
“Jokowi memojokkan Prabowo ketika ia bertanya kepada Partai Gerindra memiliki sedikit perempuan pemimpin, serta banyaknya caleg dari kalangan eks koruptor.”
Bagi James, Jokowi sebagai capres petahana memenangkan debat karena dia mampu, lebih sering, untuk memberikan respons kebijakan yang lebih rinci, “Meskipun dia terkadang tampak terlalu teknokratis.”
Alhasil, dalam artikel di The Sidney Morning Herald, James menilai debat itu berakhir tanpa adanya ide-ide besar baru.