Suara.com - Debat capres sesi pertama baru saja digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019) malam. Pada debat pertama itu membahas masalah, penegakkan hukum, HAM dan terorisme.
Sepanjang sesi debat berlangsung, dua kubu baik pasangan Joko Widodo atau Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saling lempar pertanyaan maupun pernyataan.
Tim Suara.com mencoba merangkum sejumlah pernyataan dari kedua pasangan calon di debat capres itu melalui CEK FAKTA. Karena beberapa pernyataan perlu dicek kebenarannya. Pernyataan apa saja, simak rangkumannya.
1. Jokowi Kutip ICW Bilang Caleg Eks Koruptor Banyak di Gerindra
Baca Juga: Kondisi Semakin Baik, Ustadz Arifin Ilham Dikabarkan Boleh Pulang
Jokowi mengklaim Partai Gerindra yang diketuai rivalnya—Capres Prabowo Subianto—paling banyak mengajukan calon legislator pada Pemilu 2019 dari kalangan mantan narapidana koruptor.
Saat mengajukan klaimnya dalam debat Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Kamis (17/1) malam, Jokowi menyebut mempunyai data dari Indonesia Corruption Watch atau ICW.
Faktanya:
Data ICW yang diperbarui tanggal 10 Januari 2019, menyebutkan terdapat 40 caleg eks napi koruptor yang tersebar di tingkat nasional (DPR RI), provinsi, sampai kabupaten/kota.
Dalam data yang dirilis ICW tersebut, Partai Gerindra bukan yang paling banyak menyetor eks koruptor menjadi caleg.
Baca Juga: Jokowi ke Prabowo: Saya Tak Punya Beban Masa Lalu, Jadi Enak Bekerja
Partai Gerindra berada di posisi kedua bersama Partai Hanura, setelah Partai Golkar. Gerindra dan Hanura sama-sama memunyai 6 caleg eks koruptor. Sementara Partai Golkar terdapat 8 caleg eks koruptor.
Namun, berdasarkan daftar caleg tetap KPU yang dipublikasikan September 2018, Partai Gerindra memunyai caleg eks koruptor paling banyak, yakni 6 orang.
Data KPU tersebut merujuk pada gugatan sejumlah napi koruptor yang menjadi bacaleg diloloskan Bawaslu. Belakangan, Mahkamah Agung juga membatalkan PKPU 20/2018 yang melarang eks napi koruptor menjadi caleg, karena dianggap bertentangan dengan UU Pemilu.
Akhirnya, KPU meloloskan seluruh caleg eks napi koruptor. Menurut data KPU, total ada 38 caleg eks koruptor. Jumlah tersebut terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD kabupaten/kota.
Kesimpulan:
Partai Gerindra bukan yang paling banyak memunyai caleg dari kalangan eks napi koruptor bila merujuk data ICW. Namun, berdasarkan data resmi KPU, maka Jokowi benar bahwa Partai Gerindra terbanyak memunyai caleg dari kalangan eks napi koruptor.
2. Prabowo Sebut Jawa Tengah Lebih Luas dari Malaysia
Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto menyebut luas wilayah Jawa Tengah lebih besar ketimbang Malaysia. Ironisnya kata Prabowo, gaji Gubernur Jawa Tengah lebih kecil sehingga tak berbanding lurus dengan kerja-kerjanya.
Cek Fakta :
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jateng tahun 2016, luas wilayah tersebut seluas 32.544,12 kilometer persegi.
Wilayah Jateng paling luas adalah Cilacap sebesar 2.138,51 kilometer persegi. Sementara wilayah terkecil adalah Magelang, yakni 18,12 kilometer persegi.
Sedangkan Malaysia berdasarkan data KBRI Kuala Lumpur tercatat 329.847 kilometer persegi, yang terdiri dari luas daratan 328.657 kilometer persegi dan lautan 1.190 kilometer persegi. Kesimpulannya, luas wilayah Malaysia lebih luas dibanding Jawa Tengah.
3. Prabowo Bilang Gaji Gubernur Kecil Cuma Rp 8 Juta
Prabowo Subianto, Capres nomor urut 2, mengklaim gaji pejabat negara sekelas gubernur terbilang sedikit, yakni Rp 8 juta.
Cek Fakta:
Gaji gubernur, wakil gubernur, dan kepala daerah diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu.
Dalam kepres itu, terdapat aturan gaji pokok dari kepala daerah tingkat I atau gubernur sebesar Rp 3 juta. Selain gaji, gubernur mendapatkan tunjangan jabatan yang diatur melalui Keppres No 59 Tahun 2003 sebesar Rp 5,4 juta.
Sedangkan untuk gaji pokok wakil gubernur diatur sebesar Rp 2,4 juta dan tunjangan sebesar Rp 4,32 juta.
Tapi, penghasilan gubernur per bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebab, penghasilan gubernur dan wagub yang besar ternyata datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan.
Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP No 109 Tahun 2000.
Sebagai contoh, tahun 2013, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis data pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur dalam sebulan. Ada 10 gubernur dan wagub dengan penghasilan tertinggi.
Gubernur DKI Jakarta kala itu memunyai penghasilan per bulan mencapai Rp 1.759.303.048; Gubernur Jabar Rp 710.026.578; Gubernur Jawa Timur Rp 670.843.873; Gubernur Jawa Tengah Rp 489.701.560; Gubernur Kalimantan Timur Rp 395.644.500; Gubernur Sumatera Utara Rp 376.185.564; Gubernur Banten Rp 299.222.125; Gubernur Kalimantan Selatan Rp 239.185.623; Gubernur Sulawesi Selatan Rp 228.940.362; dan, Gubernur Riau Rp 217.271.662.
Kesimpulan:
Prabowo benar bahwa gaji gubernur kurang lebih Rp 8 juta. Namun, Prabowo salah kalau mengatakan pendapatan gubernur di Indonesia terbilang sedikit, karena angka gaji pokok dan tunjangan utama itu belum digabungkan dengan tunjangan biaya operasional yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
4. Benarkah Kades di Jatim Dipenjara karena Dukung Prabowo?
Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam panggung debat pertama Pilpres 2019, Kamis (17/1) malam, mengklaim terdapat diskriminasi terhadap aparat pemerintah yang menyatakan dukungan politik.
Klaim Prabowo:
“Begini Pak jokowi, kalau ada kepala daerah menyatakan dukungan kepada paslon nomor urut 1 tidak apa-apa. Tapi ada kepala desa di Jawa Timur mendukung kami ditangkap, bagaimana itu pak, tolong bilang ke anak buahnya jangan lebai,” kata Prabowo.
Cek Fakta:
Berdasarkan penelusuran Suara.com, Kades Sampangagung, Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Jatim, bernama Suhartono dijebloskan ke Lapas Klas IIB. Suhartono memang benar pendukung Prabowo – Sandiaga.
Namun, Suhartono dijebloskan ke penjara bukan karena pernyataan dukungannya kepada Prabowo - Sandiaga.
Ia dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim PN Mojokerto, karena terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dengan terlibat aktif melakukan kampanye berupa acara penyambutan Cawapres Sandiaga Uno ke daerahnya.
Acara penyambutan Sandiaga ini diawali dengan rapat di rumah Suhartono, Jumat (19/10) yang melibatkan terdakwa, istrinya, Ketua Karang Taruna Desa Sampangagung Sunardi dan sejumlah warga lainnya.
Setlah pertemuan, esok harinya, Sunardi memesan spanduk dan banner bertuliskan ucapan selamat datang dan dukungan untuk Sandiaga. Saksi juga memesan musik patrol untuk meramaikan acara penyambutan.
Suhartono lantas mendikte istrinya untuk mengirim pesan di grup WhatsApp PKK Desa Sampangagung. Pesan tersebut berisi ajakan untuk hadir di acara penyambutan Sandiaga sekaligus janji akan memberi uang saku Rp 20 ribu bagi setiap ibu-ibu yang hadir.
Akhirnya, Minggu (21/12) sekitar pukul 16.00 WIB, sekitar 200 orang yang digalang Suhartono, menghadang rombongan Sandiaga di Jalan Raya Pacet, Desa Sampangagung. Saat itu Cawapres nomor urut 2 tersebut akan berkampanye di wisata air panas Padusan, Pacet, Mojokerto.
Suhartono juga aktif di acara penyambutan Sandiaga. Dia memakai kemeja putih bertuliskan Sapa Prabowo. Dia lantas mendekati Sandiaga untuk berfoto. Terdakwa berfoto sembari mengacungkan dua jari.
Suhartono sendiri mengakui menghabiskan Rp 20 juta untuk menggelar acara penyambutan Sandiaga. Uang itu salah satunya dibagikan ke ibu-ibu yang datang dengan nilai Rp 20 ribu, Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per orang.
Peraturan Hukum:
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, Kepala desa dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Sementara pada Pasal 1 Angka 3 huruf B UU Desa disebutkan: kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.
Kesimpulan:
Prabowo benar bahwa ada kepala desa di Jatim yang mendukungnya diproses hukum dan dipenjara. Namun, ia salah bahwa kades itu dipenjara karena mendukungnya, melainkan menyelewengkan wewenangnya sebagai aparat desa.