Gerindra Kritisi Kedaulatan Pangan di Era Jokowi

Rabu, 16 Januari 2019 | 23:05 WIB
Gerindra Kritisi Kedaulatan Pangan di Era Jokowi
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo (kedua kiri). (Suara.com/Ria Rizki)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo melayangkan kritik terhadap konsep kedaulatan pangan yang sempat dijanjikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat Pilpres 2014. Klaim pemerintah yang menyebut janji tersebut sudah diwujudkan dengan kerja keras pun dianggap tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Edhy mengatakan selama pemerintahan Jokowi terdapat beberapa kebijakan yang bertolak belakang, bahkan ada kebijakan yang tidak sejalan dengan Undang-Undang yang berkonsentrasi pada sektor pertanian.

Salah satu contohnya, kata Edhy, soal impor pangan, terutama beras. Penjelasan yang pernah disampaikan Kementerian Pertanian soal adanya peningkatan data beras menurutnya sangat bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Ia menyebut impor beras masih terus dilakukan pemerintah.

Dari data Kementerian Pertanian, disebutkan potensi produksi beras dilihat akan terus meningkat. Pada Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.

Baca Juga: Hercules Konsultasi ke Kuasa Hukum Sebelum Geruduk PT Nila Alam

Namun fakta yang berada di lapangan ternyata data potensi produksi beras yang dimiliki Kementerian Pertanian tidak diindahkan oleh kementerian lain yang kekeuh melakukan impor beras. Bukan hanya beras, impor itu juga berlaku terhadap komoditas jagung.

"Impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait," kata Edhy dalam diskusi bertajuk 'Petani, Nelayan & Ekonomi Rakyat' di Prabowo-Sandiaga Media Center, Jalan Sriwijaya 35, Jakarta, Selatan, Rabu (16/1/2019).

Namun faktanya, data potensi produksi beras yang dimiliki Kementerian Pertanian diabaikan oleh kementerian lain yang tetap ngotot melakukan impor beras. Bahkan tidak hanya beras, impor juga dilakukan terhadap komoditas jagung. Padahal di saat yang sama Kementerian Pertanian juga melakukan ekspor jagung.

"Artinya, impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait," tegas Direktur Pemberdayaan Potensi Caleg BPN Prabowo-Sandi ini.

Selain itu Edhy menganggap pemerintah kurang serius mengelola berbagai persoalan terkait pangan. Hal itu dibuktikan dengan belum adanya Kelembagaan Pangan. Padahal hal itu tertuang dalam pasal 126 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Baca Juga: Anies Siapkan Aturan Larangan PNS Bawa Kendaraan Pribadi ke Kantor

Dalam pasal itu disebutkan adanya amanat untuk membentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Di mana, peraturan pelaksanaannya harus ditetapkan paling lambat tiga tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu November 2015.

"Presiden dan perangkatnya di pemerintahan terkesan lambat dalam membentuk lembaga pangan. Padahal tugas, pokok dan fungsi lembaga ini sangat diperlukan demi kelangsungan pangan di Tanah Air," ujarnya.

Menurutnya faktor lambatnya kedaulatan pangan terwujud karena adanya keberpihakan anggaran. Menurutnya, anggaran sektor pangan terus mengalami penurunan bahkan dipangkas dari tahun ke tahun.

Hal itu dibuktikan dengan anggaran Kementerian Pertanian pada 2015 sebesar Rp 32 triliun. Kemudian dipangkas menjadi Rp 27 triliun hingga pada 2019 ini anggaran itu menjadi hanya Rp 21 triliun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI