Suara.com - Rumah kami hanya berbahan papan yang sudah lusuh termakan usia, tanpa cat. Rumah kami sangat sederhana, cuma berpintu dua dan satu jendela. Di dalamnya cuma ada kami bertiga, aku dan kedua adikku yang masih balita.
Adikku yang pertama Purwanti namanya. Dia baru berusia 1 tahun 8 bulan. Adik bungsuku bernama Siaratul Jannah, juga masih bayi, baru 4 bulan.
Dulu, di rumah ini, aku sempat merengguk kebahagiaan dari bapak dan ibu. Tapi kemudian, bapak pergi entah ke mana. Kata ibu, bapak sudah menikah lagi dengan perempuan lain.
Setelahnya, hanya ada kami berempat. Aku, kedua adikku, dan ibuku Ijaz. Ibu sebenarnya masih muda, 40 tahun. Tapi ia tak berhenti batuk, sampai-sampai darah keluar kalau batuk.
Baca Juga: Sosok Artis 19 Tahun yang Dijual Mucikari di Bawah Harga Vanessa Angel
Ibu mengidap tubercolosis akut. Sepekan lalu, ibu akhirnya pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kami.
Sejak 7 hari lalu, tinggallah kami bertiga di dalam papan ini. Aku, dan kedua adikku yang masih kecil-kecil.
Aku Andini, masih berusia 14 tahun. Sejak ibu tak ada dan bapak pergi, aku menjadi ibu sekaligus ayah bagi Purwanti dan Siaratul Jannah.
Ada banyak orang maupun saudara yang mengajak kami pindah, hidup bersama mereka dengan jaminan lebih baik.
Tapi, aku masih berat untuk mengiyakan ajakan itu. Aku enggan berjauhan, apalagi pergi dari rumah yang mengimpan suka dukaku.
Baca Juga: Persijap Jepara Tuntut PSSI Cairkan Match Fee
Terlalu banyak kenanganku di rumah ini.
***
Kamis, 10 Januari 2019, Andini duduk di depan pintu rumahnya, sembari sang adik yang baru berusia 4 bulan, Siaratul Jannah. Ia menyusui adiknya memakai susu formula.
Sementara di sisi kiri Andini, Purwanti yang baru berumur 1 tahun 8 bulan duduk sembari merengek meminta susu pula.
Andini sabar melayani kedua adiknya yang masih balita, meski dirinya sendiri masih kecil pula. Andini, baru berusia 14 tahun.
Cuaca yang panas membuat suara bayi Jannah semakin keras, seakan-akan mengundang tetangga untuk datang menghampirinya.
Secara sabar dan telaten, Andini menjaga kedua bayi tersebut, dua adik kandungnya. Gadis 14 tahun tersebut tak tergoda ajakan teman seusianya bermain-main. Ia lebih memilih menjaga kedua adiknya dengan penuh kasih sayang.
Saat ini, gadis kecil berhijab itu menanggung beban berat, lebih berat dari usianya saat ini. Andini harus menjadi ibu, sekaligus bapak bagi kedua adiknya tercinta.
Status itu ia sandang seusai tujuh hari lalu, ia dan kedua adiknya ditinggal pergi sang ibunya menghadap sang khalik.
Ibunda tercinta, Ijaz tutup usia dalam usia 40 tahun, setelah mencoba melawan sakitnya tubercolosis (TBC) akut.
Sementara bapak anak-anak malang itu, pergi, entah ke mana. Tanpa kabar dan meninggalkan bocah malang itu sendirian mengarungi ganasnya kehidupan dunia.
Mereka tinggal di Dusun Telayap, Desa Pangkalan Tampoi, Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Pada rumah papan sederhana tanpa cat itu, ketiga bocah malang tersebut dengan tabah menjalani hidup sehari-hari.
Tanpa bimbingan orangtua, tanpa pengawasan dan kasih sayang, Andini lah yang kini harus menjadi pembimbing dan pemberi kasih sayang untuk adik-adiknya nan malang.
Faktor ekonomi semakin terhimpit, ditambah waktu luang semakin sempit, Andini terpasa melepas seragam sekolah.
Ketika itu, tepat ia duduk di kelas VII SMP setempat, Andini memilih berhenti dan meluangkan waktu, cinta dan masa mudanya guna mengurusi kedua adik-adiknya yang manis.
Sepekan terakhir, mereka hanya tinggal bertiga. Siang malam, selalu bersama. Rumah seharusnya tempat bernaung dan canda, kini terasa begitu hampa. Sedih, pilu, duka, itulah pertama dirasakan ketika melihat rumah papan itu.
Andini tetap berusaha tersenyum, namun di balik matanya ada duka mendalam. Pancaran wajahnya tak lagi gembira, dan lebih banyak diam daripada bicara.
Pada usianya masih sangat belia, seharusnya bergembira, bersekolah dan melumat pelajaran demi pelajaran bersama teman-temannya.
Namun, Andini harus rela, kuat, tabah dan ceria, demi kedua adiknya tercinta. Hanya kedua adiknya kini menjadi pelipur lara, setelah tidak ada lagi orangtua.
Dedi Azwandi, pegiat sosial setempat tak kuasa menahan lara ketika menceritakan kondisi Andini. Dengan suara terbata-bata, ia menceritakan kesedihan melihat kondisi ketiga bocah lucu harus menghadapi kenyataan pahit dan ujian serba berat tersebut.
"Andini bilang terlalu banyak kenangan di rumah itu untuk ditinggalkan," kata Dedi kepada Riau Online—jaringan Suara.com.
Dedi, juga Wakil Ketua Yayasan Mualaf Center Riau mengatakan, telah berusaha mengajak ketiga anak perempuan itu ke Kota Pangkalan Kerinci, ibu kota Pelalawan. Jarak rumah Andini dan Pangkalan Kerinci ditempuh selama 4 jam perjalanan.
Namun, tutur Dedi, bagi Andini sangat berat meninggalkan rumah penuh dengan sejuta kenangan itu. Ia mengatakan, di Pangkalan Kerinci, nantinya Andini akan diasuh oleh keluarga siap menjaga mereka.
Andini juga akan melanjutkan pendidikannya karena semangat belajarnya luar biasa, sebelum akhirnya memilih meninggalkan bangku sekolah.
Saat ini, tutur Dedi, sejumlah pihak telah menyalurkan bantuan kepada keluarga itu. Andini juga dijamin sekolah oleh Badan Amil Zakat Sedekah Nasional (Baznas) hingga mencicipi pendidikan tinggi.
Namun, Andini yang lebih banyak diam itu, masih belum bersedia meninggalkan rumah peninggalan ibunya.
"Dia semangat sekolahnya bagus, tapi lebih memilih menjaga adiknya. Kita sedang berusaha mencari solusi terbaik dan membujuk Andini agar bersedia pindah," lanjutnya.
Selain itu, Dedi juga berharap ada bantuan dari para tangan dermawan untuk membantu Andini dan adik-adiknya. Hanya bantuan itu yang dapat meringankan duka mereka bertiga.
Berita ini kali pertama diterbitkan Riauonline.co.id dengan judul “Andini, Gadis 14 Tahun Hidupi Kedua Adiknya Masih Balita Seorang Diri”