Suara.com - Rektor Universitas Paramadina Profesor Firmasyah mengatakan, Pemilu 2019, masih diprediksi menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Iklim politik tersebut dirasakan masih terbawa pada Pilpres 2014 dan pilkada DKI 2017.
Menurut Firmansyah iklim politik tersebut harus segera dihentikan. Hal itu ditakutkan dapat menciptakan masyarakat yang sensitif dan tumbuh saling ketidakpercayaan.
"Masyarakat yang hyper sensitive growing distrust. Karena residu Pemilu 2014 dan Pilkada 2017," kata Firmansyah dalam diskusi 'Menuju Pemilu Bermutu', di bilangan, Sarinah, Jakarta Pusat, Sabtu (5/1/2019).
Firmansyah menganggap masyarakat masih tidak bisa lepas dari fase pemilu. Di mana pemilu hanya sebuah satu fase dalam kehidupan di tengah masyarakat. Di mana, pola pikir baik di kepala daerah hingga presiden dianggap masih berjalan pada aspek elektoral dan terbawa dalam birokrasi kepemimpinan.
Baca Juga: Janji Kemenhub Tingkatkan Kapasitas KRL Jadi 2 Juta Penumpang per Hari
"Itu, siapapun yang terpilih singkirkan mind set yang masih elektoral. Mana pendukung saya, mana bukan. Ketika ini dijalankan tidak akan bisa lepas dari perspektif pemilu," ujar Firmansyah.
Maka itu, Firmansyah berharap dalam pemilu 2019, siapapun pemimpin yang terpilih nantinya dapat meninggalkan perspektif pemilu saat terpilih nanti. Polarisasi di tengah masyarakat diyakini bisa dihentikan.
"Siapapun terpilih ketika memimpin berdasarkan perspektif pemilu harus berhenti, akan mereduksi high sensitive society," imbuh Firmansyah.