Suara.com - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat, Susianah, mengatakan anak-anak korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Donggala, dan Sigi pada Jumat (28/9/2018) masih mengalami trauma psikologis yang luar biasa. KPAI menilai perlu ada upaya jangka panjang terkait pelayanan psikososial bagi para korban.
Susianah menerangkan, berdasarkan pengamatan KPAI pada akhir bulan November 2018, kejadian bencana gempa dan tsunami masih menyisakan trauma yang mendalam khususnya bagi anak-anak yang terdampak bencana likuifaksi di wilayah Balaroa, Palu Barat dan Petobo, Palu Selatan. Akibat likuifaksi yang menghilangkan dua wilayah tersebut menurutnya sangat memberikian dampak psikologis yang luar biasa bagi anak-anak.
"Kondisi anak-anak itu kami melakukan pengawasan di November akhir, itu kondisi lukuifaksi yang kemudian membuat dua kampung di Balaroa dan Petobo hilang, ini menimbulkan permasalahan psikologi yang luar biasa bagi anak," kata Susianah di Kantor KPAI, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
Menurutnya pemerintah harus membuat layanan psikososial yang berkelanjutan untuk menghilangkan trauma bagi para korban gempa dan tsunami di Palu, Donggala dan Sigi. Tidak hanya bagi anak-anak tapi juga bagi para tenaga pengajar.
Baca Juga: Kerja Sama Pendidikan, UTG Gambia Akan Kunjungi Universitas di Indonesia
"Pelayanan psikososial ini bukan hanya bagi anak tapi guru juga perlu. Karena guru-guru ini, untuk kepanjangan tangan di antara murid-murid ini," imbuhnya.
Selaian itu, Susianah juga mengungkapkan adanya ketidakadilan terkait distribusi sarana dan prasarana sekolah darurat di Palu, Donggala dan Sigi. Menurutnya, distribusi sarana dan prasarana sekolah darurat hanya diperuntukan bagi sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Sementara, kata Susianah, bagi sekolah-sekolah yang berada di dalam naungan Kementerian Agama (Kemenag) tidak mendapatkan distribusi sarana dan prasarana sekolah darurat.
"Ketidakadilan ini pernah di protes juga oleh Bu Retno selaku Komisioner KPAI (Bidang Pendidikan), bahwa kita protes kok hanya sekolah di bawah Kementerian Pendidikan yang dapat distribusi penyelenggraan sekolah darurat. Kenapa sekolah di bawah Kementerian Agama tidak, artinya ini masih sering terjadi di lapangan karena persoalan dokumen," terangnya.
Lebih jauh Susianah meangatakan, keadaan semakin ironis saat ia menyambangi sekolah-sekolah darurat yang ada di Palu, Donggala, dan Sigi. Ia menyebut ada beberapa sekolah yang disambangi tidak ada pengajar pasca gempa dan tsunami.
Baca Juga: Istrinya Tewas, Dwi Kini Menanti Kabar Si Bungsu yang Hilang Saat Tsunami
"Muridnya semangat belajar tapi ternyata nggak ada gurunya. Artinya di satu sisi murid ini harus ditingkatkan kondisi psikisnya tapi disisi lain bagaimana dengan kondisi ini," kata dia.