Suara.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah Undang-Undang Narkotika, agar mengatur legalisasi pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan.
alam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (27/12/2018), Direktur Eksekutif ICJR Anggara menyebut hal ini merupakan langkah yang mungkin dilakukan, apalagi sejumlah negara di Asia Tenggara sudah lebih dulu melakukan hal serupa.
Anggara mencontohkan parlemen Thailand menyetujui pengaturan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan pada hari Selasa (24/12).
Kesepakatan untuk melakukan amendemen terhadap UU Narkotika Thailand pada tahun 1979, diperoleh pada saat "extra parliamentary session" sebelum memasuki liburan tahun baru.
Baca Juga: Reklame Tsamara Amany Disegel Pemprov DKI, PSI: Dipasang Secara Legal
"Setelah pertemuan tersebut, Ketua Drafting Committee Parlemen Thailand menyatakan bahwa hal ini merupakan kado tahun baru untuk masyarakat Thailand," kata Anggara.
Langkah yang diambil Thailand merupakan salah satu langkah maju, sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang terkenal dengan kebijakan narkotika yang cukup keras.
"Kepemilikan ganja dalam jumlah tertentu di Singapura, Malaysia, dan Indonesia bahkan dapat diganjar dengan pidana mati," katanya.
Hal yang sama juga saat ini tengah dijajaki di Malaysia. Pada bulan September 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad misalnya membuka ruang kepada pemerintah Malaysia untuk mendiskusikan kemungkinan pengaturan "medical cannabis" atau ganja untuk kepentingan kesehatan.
Pembahasan itu dilakukan, setelah adanya kasus penuntutan pidana mati terhadap seorang penyedia jasa pengobatan dengan "cannabis oil" di Malaysia.
Baca Juga: PUPR: Negara Hadir dalam Menyediakan Rumah Layak Huni bagi Warga
Fokus pertama yang dilakukan pemerintah Malaysia saat itu adalah, untuk menghapuskan pidana mati bagi kepemilikan, pemprosesan, dan distribusi ganja.
Lewat penghapusan pidana mati ini, Malaysia membuka ruang untuk meninjau ulang kebijakan narkotikanya, termasuk untuk mengubah pandangan bahwa ganja merupakan bagian dari obat yang seharusnya diregulasi, bukan dilarang sepenuhnya.
Selain Thailand dan Malaysia, Filipina, saat ini juga sedang mempersiapkan pengaturan untuk melegalkan penggunaan ganja untuk kesehatan.
Dalam perkembangan terakhirnya, draf Compassionate Medical Cannabis Act (House Bill No, 180) telah diterima parlemen sejak 2016 dan sekarang sedang dalam tahap pembahasan untuk dapat disetujui oleh Kongres.
"Dukungan politik juga sangat kuat, termasuk dari Presiden Duterte yang mendukung penggunaan ganja untuk pengobatan," katanya.
Melihat pengalaman dari beberapa negara di Asia Tenggara, Indonesia sebenarnya memiliki momentum untuk melakukan perubahan terhadap larangan ganja untuk kepentingan kesehatan pada tahun 2017.
Kasus Fidelis
Momentum ini mengacu pada kasus yang menimpa Fidelis, pegawai negeri dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang pada tanggal 2 Agustus 2017 divonis 8 bulan penjara karena memberikan istrinya pengobatan dengan ekstrak ganja atas penyakit langka yang dideritanya.
Fidelis berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 116 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain.
"Lewat kasus ini, Indonesia jelas membutuhkan pengaturan ganja untuk kepentingan kesehatan. Kasus ini terjadi karena Pemerintah gagal memenuhi kepetingan masyarakat atas akses pemanfaatan narkotika untuk bidang kesehatan," katanya.
Dalam konteks hukum Indonesia, Pasal 8 Ayat (1) UU No. 35/2009 tentang Narkotika, kata dia, melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Pasal 8 ayat (2) UU No 35 tahun 2009 saat ini sebenarnya memberi ruang untuk pemerintah mempertimbangkan adanya penelitian tentang ganja untuk kepentingan kesehatan.
Namun, terdapat batasan terhadap proses penelitian tersebut yang membuat peneltian tentang pemanfaatan ganja untuk ilmu pengetahuan sangat bergantung dengan peran pemerintah.
Rencana melakukan revisi UU Narkotika juga telah tertuang dalam Program Legislasi Nasional 2019. Lewat kesempatan ini, Pemerintah dan DPR harus memastikan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia, termasuk melakukan pembahasan pengaturan mengenai pemanfaatan ganja untuk kepetingan kesehatan.
"Proses revisi UU Narkotika juga harus memastikan bahwa akses penelitian tentang pemanfaatan ganja dapat dilakukan secara terbuka dan tidak hanya bergantung pada program pemerintah," katanya.
Anggara pun menyebut jika negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, bahkan Malaysia dengan karakteristik negara yang hampir sama saja bisa memastikan pemerintahnya menghargai ilmu pengetahuan lewat diaturnya pemanfaatan ganja untuk kesehatan. Maka, Indonesia sebagai negara demokratis perlu juga memikirkan hal serupa.
"Kebijakan yang didasarkan pada untuk mengatur pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan," katanya.
Secara global, pengaturan ganja untuk kepentingan kesehatan, menurut dia, sudah masif dilakukan di berbagai belahan dunia, sedikitnya terdapat 30 negara yang sudah melegalkan ganja untuk kepentingan kesehatan, terdiri dari Argentina, Australia, Canada, Chile, Colombia, Croatia, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Jamaika, Lestho, Luxembourg, Macedonia, Malta, Meksiko, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, San Marino, Swiss, Turki, Uruguay, dan Zimbabwe.