"Pak Pomo dan generasinya telah mengajarkan kepada kami, bahwa PDIP didirikan dengan darah, keringat, air mata bahkan nyawa dari para pejuang partai dan rakyat saat itu,” kata Puti Guntur Soekarno.
Di mata putri Guntur Soekarno, Pak Pomo telah mewariskan prinsip dan dedikasi menjaga kehormatan partai, yakni PDIP, sehingga menjadi besar seperti saat ini. “Kesetiaan adalah hal terpenting dari beliau,” kata Puti.
Tahun 1993, ketika Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Pak Pomo merapatkan diri di barisan pendukung Megawati Soekarnoputri. Pilihan politik itu dijalankan konsisten.
Bersama Ketua DPD PDI Jawa Timur Ir Sutjipto, Pak Pomo memotori perlawanan massa rakyat di Kota Surabaya terhadap Kongres PDI di Medan yang didukung Soeharto, tahun 1996.
Baca Juga: Penting! Usai Manggung, Artis Harus Minta Bukti Potongan Pajak
Kongres itu memunculkan pimpinan tandingan Soerjadi-Bhuttu Hutapea, sekaligus melahirkan dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Perlawanan dilakukan PDI Pro-Mega terhadap Orde Baru yang banyak disebut mendalangi Kongres di Medan.
Demonstrasi pecah di banyak daerah dan kota besar. Di Kota Surabaya, perlawanan massa dipusatkan di Posko Pandegiling. Saat itu, tiada hari tanpa demo. “Tiada hari pula tanpa orasi Pak Pomo,” kata Bambang DH.
Dalam perjalanan, PDI Pro-Mega di Jawa Timur menggalang “Cap Jempol Berdarah”. Ini untuk meneguhkan dukungan arus bawah pada Megawati Soekarnoputri.
“Saat itu, aksi cap jempol berdarah benar-benar menjadi isu nasional dan menggetarkan. Salah satu inisiatornya adalah Pak Pomo,” kata Bambang DH.
Setelah PDI Pro-Mega berganti nama menjadi PDI Perjuangan, dan ikut Pemilu multipartai tahun 1999, Pak Pomo terpilih anggota DPRD Jawa Timur. Dalam Pemilu 2004, almarhum bersama Ir Sutjipto terpilih anggota DPR RI dari Surabaya.
Baca Juga: Retak, Flyover Rawa Buaya Ditutup Setiap Pukul 06.00 WIB - 20.00 WIB
“Selamat jalan Pak Pomo. Selamat menghadap Allah SWT. Terima kasih dan hormat kami atas semua perjuangan di masa lalu,” kata Whisnu Sakti Buana.