Suara.com - Sebanyak 25 mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) selamat dari bencana tsunami Selat Sunda yang menerjang Pulau Legundi, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Sabtu (22/12/2018).
Saat itu mereka tengah melakukan observasi terumbu karang di perairan Legundi yang dipusatkan di Desa Selesung, dari tanggal 20-30 Desember 2018. Kekinian, para mahasiswa itu sudah dievakuasi kembali ke Semarang pada Rabu (26/12/2018).
Salah satu mahasiswa FPIK Undip, Dinda Oktaviana menuturkan, saat kejadian para mahasiswa tengah melakukan briefing di salah satu rumah warga. Air laut pasang tiba-tiba menghantam rumah dan meluluhlantakkan perkampungan.
"Semua berhamburan dan berlari mencari tempat tinggi. Saya kebetulan yang terakhir menyelamatkan diri, jadi melihat semua kejadian itu," kata Dinda, di ruang FPIK Undip, Rabu (26/12/2018).
Baca Juga: Kaleidoskop 2018: 4 Insiden 'Horor' di Olahraga, Salah Satunya di Indonesia
Dinda melihat jelas saat ombak setinggi atap rumah menyapu perkampungan. Sekuat tenaga dia lari, namun terjatuh berkali-kali.
"Pada panik. Saya jatuh berkali-kali karena ada yang menarik rambut saya," ucapnya.
Dinda mengaku sempat hanyut saat air laut menyeretnya berkali-kali. Dia berjuang sekuat tenaga berenang untuk mencapai bangunan musala yang lebih tinggi di kampung itu.
"Saya terus berenang. Jika sempat lari, maka lari sekuatnya. Itu ada tembok juga saya naikin, dan melompat untuk sampai musala yang lebih tinggi," ceritanya.
"Sempat mikir enggak tahu lagi hidup atau enggak. Saya pasrah sambil berdoa. Untungnya ada teman yang melihat saya, kemudian menarik ke atas musala," lanjut mahasiswi semester V tersebut.
Baca Juga: Saat Tsunami, Edi: Terdengar Gemuruh Ombak, Kami Lari, Tapi Akhirnya...
Dari musala itu, dia bertemu beberapa warga dan kawannya. Karena air mulai naik sepinggang, mereka kembali berenang dan menuju perbukitan kebun cokelat di belakang perkampungan.
"Baru sadar badan penuh luka dan lebam karena menerobos kaca jendela musala yang pecah dan kena kayu-kayu yang hanyut," katanya.
Di sana ia mendapati semua rekannya selamat. Bahkan ada yang berusaha menolong warga yang kepayahan naik bukit.
"Ketemu beberapa ibu-ibu yang ditolong sama teman-teman, ada juga yang menggendong anak kecil," ucapnya.
Dari perbukitan itu, beberapa mahasiswa Undip justru kembali ke perkampungan untuk menyelamatkan beberapa warga yang masih terombang-ambing ombak laut.
"Karena kami punya keahlian menyelam, jadi kembali melakukan pertolongan pertama kepada masyarakat untuk naik ke daratan lebih tinggi," terang Dinda.
Mahasiswa lainnya, Muhammad Ramadan, mengaku harus bermalam bersama warga desa semalam suntuk di perbukitan kebun cokelat. Mereka bermalam hanya memakai tenda dan terpal yang diambil dari sisa-sisa puing rumah warga yang hancur.
"Kondisi Pulau Legundi sudah porak poranda. Hampir semua rumah warga hancur. Semuanya di bukit. Saya ambil tenda dan terpalnya dari pemukiman. Pas paginya, saya turun lagi ambil makanan untuk kebutuhan konsumsi. Siangnya baru dievakuasi naik kapal Marinir dan Polair menuju Dermaga Panjang dan Lampung," sambungnya.
Munasik, dosen Ilmu Kelautan sekaligus Sekretaris Dewan Kelautan FPIK Undip memperkirakan Pulau Legundi belum bisa pulih sepenuhnya pasca tsunami. Pihaknya mengkhawatirkan ekosistem terumbu karang yang terkoyak akibat gelombang tsunami.
"Semoga terumbu karang di sana tak rusak parah. Kami akan cek kembali. Kita akan bantu rehabilitasi pulaunya. Banyak pula rumah nelayan di pesisir pantai rusak," tuturnya.
Tsunami melanda kawasan sekitar Selat Sunda pada, Sabtu (22/12/2018) malam. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan tsunami kemungkinan terjadi karena longsor bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang akibat gerhana bulan purnama.
Kontributor : Adam Iyasa