Cerita Usamah Hisyam Lobi Jokowi untuk Rizieq sampai Prabowo Tinju Meja

Kamis, 20 Desember 2018 | 13:53 WIB
Cerita Usamah Hisyam Lobi Jokowi untuk Rizieq sampai Prabowo Tinju Meja
Calon Presiden No urut 2 Prabowo Subianto menyampaikan pidato di hadapan umat muslim dalam acara Reuni Akbar Mujahid 212 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Minggu (2/12). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Cerita berupa tulisan Mantan Anggota Dewan Penasihat PA 212 Usamah Hisyam membuat kaget publik. Dalam tulisannya, Usamah Hisyam bercerita Prabowo Subianto meninju meja di depan para ulama jelang keputusan menjadi calon presiden di Pilpres 2019.

Tulisan Usamah Hisyam dimuat muslimobsession.com dengan judul "Prabowo Marah Meninju Meja, Para Ulama Terperangah". Tulisan ini dibuat jadi 2 bagian dengan judul yang sama, Senin (17/12/2018) kemarin.

Dalam tulisan panjang itu, Usamah Hisyam bercerita mulai dari berusaha melobi Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk bertemu dengan Rizieq Shihab di Arab Saudi. Usamah Hisyam menceritakan pertemuan dan obrolannya dengan Jokowi.

Selain itu Usamah Hisyam pun bercerita kronologi Prabowo meninju meja di depan para ulama PA 212.

Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?

Berikut tulisan lengkapnya:

Oleh: H. Usamah Hisyam (Mantan Anggota Dewan Penasihat PA 212)

Banyak pertanyaan, baik melalui telepon maupun pesan di WhatsApp, tentang artikel yang beredar di media sosial sejak 14 Desember 2018, tulisan Djadjang Nurjaman yang berjudul “La Nyalla, Usamah Hisyam, dan Joko Widodo”. Mereka meminta saya menanggapi.

Sesungguhnya, saya malas membuang-buang waktu untuk menanggapi tulisan hoax. Karena tidak produktif. Lebih bernuansa iri, dengki, bahkan fitnah. Seperti saran seorang teman, Fadly, caleg DPR RI dapil Malang asal Partai Golkar melalui WAGroup, “Gak penting klarifikasi tulisan model seperti itu, apalagi via medsos. Jalan lurus aja Tum, besarin Parmusi… Tak usah pusing dengan isu-isu sampah seperti itu…,” saran Fadly, yang juga Wakil Sekjen Parmusi.

Beberapa jam sebelumnya, rekan saya di dunia pers, mantan wartawati senior Tempo, Linda Djalil, mengabarkan beredarnya artikel itu. “Sebagai wartawan, aku sangat meragukan tulisan itu Us. Karena alur dan pendekatan analisanya subyektif banget. Kita kan berteman sudah lama, jangan karena perbedaan pandangan politik kita saling menjatuhkan. Makanya aku telpon kamu, apakah sudah tahu ada tulisan itu,” ujar Linda Djalil, yang sejak wartawan peliput di Istana Negara dikenal cukup dekat dengan keluarga Prabowo Subianto.

Baca Juga: Tim Prabowo Komentar Usul Jokowi Tanam Pete dan Jengkol: Nggak Masuk Akal

Jujur, selama 38 tahun saya bergulat dalam dunia pers, dimulai dari grup Tempo yakni wartawan di majalah Matra hingga Media Indonesia, lantas 10 tahun terakhir founder Obsession Media Group (OMG), saya belum pernah mengenal Djajang Nurdjaman. “Djadjang itu kenal betul bapak. Dia pernah wartawan SCTV, pernah koordinator Forum Pemred,” ungkap Sahrudi, News Director OMG. “Tapi sejak dulu dia gak suka, dia dengki dengan sepak terjang bapak. Karena bisa dekat dengan semua Presiden,” ujar Sahrudi.

“Gak usah ditanggapi, Us. Sudah saya cek kepada teman-teman, dia itu ingin sekali dekat dengan Pak Prabowo, ingin sekali mendapat perhatian dari Pak Prabowo. Makanya dia bikin tulisan hoax seperti itu,” ungkap sahabat lama, mantan wartawan senior Harian Angkatan Bersenjata, Syukri Alvin.

“Hampir mirip dengan modus Ratna Sarumpaet donk, Us,” celetuk Linda Djalil, ketika saya menceritakan hal itu kepadanya.

“Sudahlah, Linda. Kita gak usah bahas Djadjang. Tulisan dia itu mencerminkan strata kewartawanannya, sempitnya wawasan dan profesionalisme yang dimiliki. Antara fakta, opini, analisa, gak jelas semua. Bahkan lebih banyak fitnah. Biarkan saja, pahalanya pindah ke saya, he.. he.. he..” ujar saya tertawa.

Artikel ini saya tulis karena persoalan prinsipil, sebagai catatan bagi generasi Islam ke depan, bukan untuk kepentingan politik siapa pun, apalagi menjawab Nurdjaman.

Hanya saja saya harus berterima kasih pada Djadjang Nurdjaman, yang sudah mempopulerkan nama saya dengan viralnya artikel tersebut. Apalagi tudingan negatif dalam tulisan itu dikaitkan dengan mundurnya saya dari anggota Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni (PA) 212, arus besar yang harus saya sikapi secara konsekuen.

Memang, masih sering teman-teman bertanya, apa sih alasan sesungguhnya saya mundur dari Anggota Penasihat PA212? Maklum, saya pernah diamanatkan menjadi bendahara Reuni Agung 212 tahun 2017 yang berjalan sukses. Saya juga Koordinator Steering Committee Aksi 212 tanggal 21 Februari 2017 di depan Gedung DPR, serta Koordinator Steering Committee Aksi 313 tanggal 31 Maret 2017 di kawasan Patung Kuda Merdeka Barat Monas.

Atas rekomendasi tim kecil politbiro, saya bersama Ustadz Muhammad Al-Khaththath, menemui Habib Rizieq Syihab (HRS) di Markas Syariah Megamendung, Bogor, sekitar pukul 24.50 WIB.

Dalam pertemuan bertiga tersebut, kami menyampaikan kepada HRS pentingnya menggelar kembali aksi 21 Februari, yang kebetulan dapat disingkat juga menjadi 212. Tujuannya, untuk menjaga semangat persaudaraan dan persatuan yang sudah terbukti dalam Aksi 212 tanggal 2 Desember 2016. Selain itu, untuk menindaklanjuti sejumlah tuntutan ke DPR RI dan pemerintah.

Kedua aksi tersebut sesungguhnya merupakan gagasan murni Ustadz Al-Khaththath yang didiskusikan dengan saya, diamini oleh politbiro, dan disampaikan kepada HRS. Kebetulan Ustadz Al-Khaththath meminta dukungan, agar saya turut mendampingi memperkuat argumentasi pentingnya Aksi Bela Islam 212 DPR dan Aksi Bela Islam 313 kepada HRS.

“Alhamdulillah, kebetulan Antum berdua datang ke mari. Cocok sekali. Ana beberapa hari ini berpikir hal yang sama. Tetapi, Ana kan sudah tak boleh terlibat dalam aksi-aksi seperti itu lagi. Jadi, sebaiknya begini. Ana setuju dengan gagasan itu. Ustadz Al-Khaththath dan Pak Usamah harus duet bersama. Ustadz Al-Khaththath Koordinator Organizing Committee, Pak Usamah Koordinator Steering Committee. Segera undang teman-teman korlap. Nanti Ana kondisikan teman-teman FPI,” pinta HRS.

Saat itu, HRS sepakat yang menjadi ruh perjuangan adalah menggalang persatuan umat, dalam semangat Aksi Bela Al-Quran, Al-Maidah ’51. Apapun partai politiknya, ormasnya, stratanya, gak ada masalah, mari kita memenuhi panggilan jihad fi sabilillah, wa jaahidu fillahi haqqa jihadih, meninggikan kalimat tauhid. Menjalin kembali semangat persaudaraan umat, semangat persatuan umat pada Aksi 212 tahun 2016 dengan memprioritaskan sejumlah agenda tuntutan keumatan.

Karena itu saya all out mendukung gerakan ini. Apapun saya pertaruhkan untuk itu. Bukan saja waktu, tenaga, pikiran, privilege, tetapi juga kucuran dana (maaf, tak bermaksud riya’) yang lumayan besar untuk ukuran seorang wartawan, pengusaha pers. Tetapi tak masalah! Karena yang saya bela adalah Al-Quran, Allah subhanahu wa ta’ala, BUKAN MANUSIA.

Sebaliknya, saya harus mengatakan secara terbuka, sesuai pengamatan, hati nurani, ilmu pengetahuan dan keyakinan spritualitas saya, sekitar tiga bulan menjelang Reuni 212 tanggal 2 Desember 2018, PA 212 mulai mengerdilkan dirinya sendiri, dalam konteks ruh perjuangan, misi, dengan sekedar menjadikan dirinya sebagai timses MANUSIA, salah satu paslon presiden. Padahal, ruh perjuangan serta baju yang kemudian digunakan PA 212 yang sejak awal sudah besar menjadi sempit.

Ironinya, logika perjuangan yang dibangun dalam menentukan pilihan capres sudah tidak senafas lagi dengan nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung dan menjadi ruh kelahiran PA 212 itu sendiri, yakni Bela Al-Maidah 51. Inilah yang sangat mengganjal di hati dan pikiran saya, karena pilihan itu harus kita pertanggung jawabkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.

Sekitar satu pekan sebelum Ijtima Ulama 1 digelar oleh GNPF Ulama, sekitar 28 anggota Dewan Penasihat PA 212 diundang berembuk di Hotel Sultan, Jakarta, dipimpin langsung oleh Prof DR H. Amien Rais selaku Ketua Dewan Penasihat. Pada pertemuan sore hari itu Amien Rais didampingi langsung oleh para tokoh Penasehat PA 212 seperti KH Maksoem (alm), KH Cholil Ridwan, KH Abah Raud Bahar, KH Misbachul Anam, Letjen TNI Syarwan Hamid, dan lain-lain.

Dalam mukadimah, Amien Rais menjelaskan, tak ada pilihan lain, arah dukungan PA 212 kepada Prabowo Subianto, yang malam harinya akan dihadirkan di forum penasehat tersebut, bersama para Sekjen partai-partai Koalisi. Alasannya, Prabowo pemilik kursi terbesar rencana parpol koalisi, Prabowo dapat mempersatukan parpol koalisi, dan Prabowo memiliki modal 60 juta suara Pilpres 2014, sehingga diyakini dapat mengalahkan incumbant.

Menjelang sesi pertama berakhir, setelah para anggota wanhat memberikan masukan, saya pun ikut menyampaikan pandangan. “Mohon maaf, saya bukan kiai, saya bukan ulama, tetapi saya tokoh aktivis pergerakan Islam. Insya Allah saya berusaha mengamalkan setiap ayat yang saya pahami,” ujar saya.

Suasana hening. Seluruh tokoh dan ulama mencermati dengan seksama, kata demi kata yang saya sampaikan.

“Karena itu, sebelum kita menyampaikan rekomendasi PA 212 ke forum ijtima ulama pekan depan, saya mohon para kiai membahas dulu tafsir terhadap ‘pemimpin muslim’ yang harus diperjuangkan di dalam tafsir Al-Maidah 51, apakah pemimpin muslim minimalis atau pemimpin muslim kaffah? Kalau pemimpin muslim kaffah, setidaknya kita harus tahu persis bahwa calon pemimpin harus bisa menjadi imam shalat, dia harus fasih membaca Al-Fatihah serta surat-surat pendek dalam Juz ’Amma, dia harus bisa mengaji. Karena negara kita mayoritas penduduknya muslim, jadi seorang Presiden harus bisa menjadi imam.”

Seluruh Dewan Penasihat PA 212 tercengang, terdiam menyimak kata demi kata yang saya sampaikan.

“Mohon maaf para ulama, saya pertanyakan ini, karena pekan depan yang kita hadapi adalah ijtima’ ulama, bukan ijtima’ politisi. Ijtima’ ulama ini sangat sakral. Pendekatannya harus sungguh-sungguh mengacu pada nilai-nilai syariat. Karena ijtima’ ulama ini akan menjadi benchmark sampai 500 tahun ke depan dan seterusnya, bagi generasi muslim. Akan menjadi acuan dalam membangun kesepakatan untuk memilih figur pemimpin yang memenuhi standar Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam menentukan figur pemimpin yang islami.”

Semua terdiam. Sejumlah ulama saling menatap. Seakan memberikan isyarat agar pembicaraan saya di setop. Tetapi saya tak peduli.

“Bagi saya ini sangat prinsipil. Bagaimana mungkin setiap hari kita berteriak memperjuangkan penerapan syariat Islam di negeri ini, sementara figur pemimpin yang akan diusung dan diperjuangkan sama sekali tidak mencerminkan figur yang memenuhi standar nilai-nilai syar’i. Mohon kita bahas dulu masalah ini,” pinta saya melanjutkan.

“Karena itu, seharusnya pertimbangan utama kita bukan pada dukungan kendaraan politiknya, bukan pertimbangan kalah menangnya, bukan itu. Tetapi, tetapkan dulu figur pemimpin yang memenuhi standar syariat, umumkan, baru kita kondisikan bersama-sama. Soal kendaraan politik, dan juga soal kalah menang, itu urusan Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan urusan kita. Bila kita sudah menentukan figur yang islami, kita sudah berdoa, berjuang, lantas kalah, berarti Allah subhanahu wa ta’ala belum menakdirkan kandidat kita menang. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal salih, akan diberikan kekuasaan di muka bumi. (QS. 24:55) Jadi, ingat, yang akan diberikan kekuasaan adalah orang yang beriman.”

“Dengan demikian, kita tak boleh menggunakan standar ganda. Satu sisi berteriak syariat Islam, teriak pemimpin harus dipilih melalui ijtima’ ulama, pada sisi lain standar yang digunakan standar ijtima’ politisi, yang diperhitungkan semata-mata kalah menang, dapat gak dukungan partai koalisi. Padahal sesungguhnya PA 212 memiliki bargaining position yang lebih kuat untuk mengendalikan koalisi partai politik, bilamana lebih menyandarkan keyakinannya dengan memohon pertolongan dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala.”

Belum sempat masalah tersebut didiskusikan, masuk adzan Maghrib. Pimpinan rapat Amien Rais skorsing pertemuan untuk istirahat, sholat, makan (ishoma). Di sela-sela ishoma, terjadi perbincangan dengan sejumlah ulama. Sama dengan KH Misbachul Anam, saya tetap konsisten hendak memperjuangkan HRS sebagai rekomendasi utama 212 sebagai capres menuju ijtima’ ulama.

Dalam Rakornas PA 212 beberapa pekan sebelumnya, nama HRS telah ditempatkan pada urutan pertama rekomendasi capres PA 212, lantas Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra, Tuan Guru Bajang. Saya meyakini, bila HRS yang ditetapkan, maka insya Allah dukungan politik umat untuk pemulanggan HRS ke Indonesia semakin besar. Tak ada instansi manapun yang dapat menghambat seorang capres yang diusung oleh parpol untuk mendaftarkan diri.

Berbulan-bulan saya bergerilya ke istana untuk pemulangan HRS ke Tanah Air. Terakhir pada 22 April 2018, saya berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo untuk menerima enam ulama PA 212 di Istana Bogor, yang berdampak terhadap terbitnya dua SP3 HRS beberapa pekan berikutnya.

Tetapi sebagian teman-teman mencurigai saya akan melakukan ‘jebakan Batman’ terhadap HRS. Karena hubungan saya dengan istana yang dianggap mesra. Padahal, tak ada sedikitpun niat saya seperti itu. Saya justru memanfaatkan kedekatan saya dengan Presiden Joko Widodo untuk pemulangan HRS ke Tanah Air.

Mengapa hal itu saya lakukan? Saya tak ingin adak gejolak horisontal akibat ketegangan antara umat dan pemerintah. Karena yang akan dirugikan kita semua, bangsa Indonesia. Saya sudah beberapa kali bertemu HRS. Bicara empat mata, baik tatap muka maupun melalui WhatsApp. HRS adalah pribadi yang baik, santun, cerdas, bersahaja. Ia seorang idealis, yang memiliki cita-cita mulia. Negeri ini harus bebas dari kemungkaran (maksiat, dst). Sebaliknya, bersama-sama menebarkan kebaikan-kebaikan (ma’ruf) agar bangsa ini mendapat ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Ini sesuai perintah Al-Quran yang merupakan pedoman hidup umat Islam sesuai QS. 2:02.

Karena itu dalam Mukernas I Parmusi akhir November 2016, saya mengarahkan keputusan agar Parmusi mengusulkan kepada seluruh ormas Islam dan majelis taklim untuk menetapkan HRS sebagai Imam Besar Umat Islam. Meskipun sampai sekarang hal itu belum terwujud.

Sebagai seorang ulama, HRS konsisten dan konsekuen akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya kalimat tauhid. Karena itu beliau marah besar bila ada pihak manapun yang coba-coba mengganggu akidah islamiyah. Ini wajar sebagai seorang pemimpin pergerakan Islam, Front Pembela Islam (FPI). Siapapun akan marah bila ada yang mengganggu agamanya.

Secara personal, HRS beberapa kali mengaku kepada saya, tidak memiliki persoalan pribadi apapun dengan Presiden Joko Widodo. Saya diizinkan bahkan didorong untuk terus melobi istana. Hampir setiap bulan sepanjang 2017 saya bertemu empat mata, satu sampai dua kali dengan Presiden. Bahkan HRS meyakinkan saya, bila beliau mendapat kesempatan kembali ke Tanah Air, berniat akan lebih fokus berdakwah membesarkan pondok pesantren Markas Syariah Mega Mendung, Bogor.

Dalam pertemuan saya dengan Presiden, 7 Desember 2017 selama 1,5 jam di Istana Bogor, saya berupaya meyakinkan Presiden agar berangkat umrah pada libur Natal akhir Desember 2017. Sesuai hasil rembukan saya dengan Ketua Umum FPI KH Sobri Lubis dan Ketua Dewan Syariah FPI KH Misbachul Anam, saya menyampaikan skenario, usai Presiden menunaikan ibadah umrah, HRS diperkenankan dapat bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di sebuah ruang lantai 28 Fairmont Hotel Makkah. Agar keduanya bisa langsung berkomunikasi, bertabayyun, berbicara empat mata, membahas persoalan umat dan bangsa ke depan, saling membangun komitmen tanpa ada yang mengetahui.

Apalagi Presiden Jokowi beberapa kali juga meyakinkan saya bahwa beliau tak memiliki persoalan pribadi apapun dengan HRS. Karena itu, saya berpikir, bagaimanapun juga sebagai warga anak bangsa, saya sangat menginginkan Indonesia yang damai, Indonesia yang aman, tenteram, dan para pemimpinnya saling menyapa, berkomunikasi, meskipun memiliki perbedaan pandangan politik yang tajam.

Presiden Joko Widodo terperangah mendengarkan skenario tersebut. Tiba-tiba Presiden bangkit mengangkat tubuhnya dari sandaran kursi. Dalam nada suara agak meninggi, Presiden seperti menegur saya.

“Ada apa kok Pak Usamah mendesak saya terus bertemu Pak Habib? Dia kan masih ada urusan hukum dengan aparat? Saya sudah tiga kali panggil tim aparat di sini, gara-gara Pak Usamah terus menerus mendesak saya. Mereka ekspose persoalan hukum Pak Habib. Sebagai Presiden, saya tidak akan intervensi hukum. Sama seperti waktu kasus Ahok, saya tidak intervensi apapun,” tandas Presiden, dengan nada suara agak meninggi.

“Mohon maaf Bapak Presiden,” sahut saya spontan untuk meredakan situasi perbincangan empat mata yang mulai memanas. “Mungkin pandangan saya kurang tepat. Tetapi, Bapak Presiden harus percaya, tidak ada maksud apapun saya menyampaikan pandangan ini. Bapak harus ingat, saya orang yang memimpin perjalanan umrah keluarga Bapak ke Tanah Suci Makkah pada 16 sampai 18 Juli 2014, yang turut mendoakan Bapak di Baitullah agar terpilih menjadi Presiden. Harapan saya cuma satu, agar situasi dan kondisi sosial politik di negeri ini kondusif. Izinkan saya menyampaikan pandangan pribadi saya apa adanya, sebagai salah seorang pemimpin pergerakan Islam di negeri ini,” ujar saya memohon.

“Silakan…silakan Pak Usamah,” kata Presiden dengan nada suara yang sudah landai.

“Mohon ampun Bapak, saya tidak bermaksud menggurui. Di mana pun dalam suatu pemerintahan negara, roda pemerintahan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh golongan mayoritas,” saya melanjutkan. Sorot mata Presiden menatap dan menyimak kata-kata saya dengan seksama.

“Mohon maaf Bapak Presiden, sekarang ini sudah tercipta stigma di sebagian golongan muslim, terutama simpatisan 212, seolah-olah pemerintahan Bapak ini Anti Islam. Saya sungguh sedih. Karena bilamana saya amati, sesungguhnya tidak demikian. Karena saya perhatikan, yang terjadi di seputar pemerintahan semacam insubordinasi kebijakan. Atau mungkin lebih tepat distorsi public opinion policy. Bapak menyatakan berkali-kali tidak pernah melakukan kriminalisasi ulama. Itu urusan hukum dengan aparat. Sementara teman-teman 212 melihat itu kriminalisasi ulama. Mereka bertanya, mengapa Presiden melakukan pembiaran? Ini kan rezim Jokowi? Karena itu harus ada solusinya Bapak,” papar saya.

“Semua tudingan itu tidak benar Pak Usamah. Mana mungkin saya anti Islam, wong saya sejak lahir Islam,” tandas Jokowi.

“Saya paham itu Pak. Nanti kan saya luruskan.”

“Apa lagi usulan Pak Usamah?” sahut Presiden datar.

Saya menarik nafas panjang. Cukup hati-hati memilih kata-kata. Karena sejak awal saya selalu menanamkan di benak pikiran harus berhati-hati dalam berbicara. Sejak menunggu di ruang tamu Istana, saya terus wirid agar dilancarkan lidah saya. Pasalnya yang menjadi lawan bicara saya adalah seorang Presiden Republik Indonesia, seorang Kepala Negara dari sekitar 260 juta penduduk, seorang yang memiliki tradisi Jawa yang menjunjung tinggi peradaban, kesantunan, dan sangat tegas dalam mengambil keputusan.

“Begini Bapak Presiden. Saya sekali lagi mohon maaf… mohon maaf. Kata kuncinya adalah Bapak Presiden dan Habib Rizieq harus bertemu. Agar ketegangan umat menjadi teduh. Saya ada skenario lain.”

“Bagaimana itu?” kejar Presiden.

“Pada tanggal 21 Februari 2018 nanti, saya bersama teman-teman mohon izin akan melaksanakan kembali peringatan Aksi 212. Bila Bapak berkenan, saat itu HRS diizinkan pulang. Kami akan jemput bersama-sama, kemudian kami sujud syukur di Istiqlal, syukur-syukur bila Bapak Presiden berkenan Shalat Zhuhur bersama, lantas dilanjutkan pertemuan empat mata dengan Bapak. Tempatnya nanti kita atur.”

“Mau bikin apa lagi Pak Habib pulang?” tanya Presiden.

“Saya sudah bicara dengan beliau, Pak. Habib hanya ingin mengurusi pondok pesantrennya di Mega Mendung, tinggal di atas gunung sana, membesarkan pondoknya.”

“Mana mungkin, Pak Usamah, seorang demonstran betah di atas gunung?” seloroh Presiden dengan seyum kecil dikulum.

“Insya Allah Pak, akan saya kawal sendiri,” tandas saya.

“Pak Habib itu seorang orator Pak Usamah, tidak mungkin bisa diam,” tandasnya.

“Bila diizinkan, saya siap menjadi personal guarantee Pak. Kalau Habib bikin aksi-aksi demo lagi yang menyerang pemerintah, saya saja yang ditahan sebagai jaminan,” tutur saya berusaha meyakinkan.

Presiden hanya tersenyum kecil, sambil mengambil dan memencet tombol bel yang ada di mejanya. Seorang ajudan masuk.

“Yaa…Nanti saya pelajari dulu Pak Usamah. Saya bahas dulu dengan tim kecil,” tuturnya landai.

Sang ajudan langsung mengingatkan saya bahwa waktu pertemuan sudah habis. Harus segera meninggalkan ruang kerja Presiden.

Pertemuan dengan Presiden tersebut saya sampaikan kepada HRS, di penghujung Desember, saat menunaikan ibadah umrah bersama anak dan isteri.

HRS sepakat mempersiapkan kepulangannya pada 21 Februari 2018. Sementara saya menunggu sikap Presiden selanjutnya. Sepanjang Januari hingga awal Februari 2018, saya mulai sosialisasi rencana kepulangan HRS melalui medsos. Sejumlah teman tetap mencurigai saya akan melakukan ‘jebakan Batman’. Terutama Munarman, sekjen FPI. Seorang ustadz memberitahu saya. Munarman tak senang bila saya ikut campur urusan HRS, karena itu urusan internal FPI. “Untuk apa Ketum Parmusi ikut campur?” begitu suara sumbang yang saya dengar.

Tepat 20 Februari 2018 malam, beredar pro kontra, hiruk pikuk rencana kepulangan HRS di medsos. Panitia penjemputan sudah mengarahkan ribuan massa ke lokasi dekat bandara sejak dini hari 21 Februari 2018. Ba’da Subuh beredar informasi dari Makkah bahwa HRS membatalkan kepulangannya sesuai hasil Istikharah. Hingga 20 Februari itu saya belum berhasil menemui Presiden kembali. Kondisi tersebut saya infokan kepada HRS.

Pada 21 Februari pagi saya bertemu Wakapolri Komjen Syafruddin. Beliau meminta agar saya menghentikan teman-teman yang memobilisasi massa untuk penjemputan HRS. “Jam enam pagi tadi saya sudah bertemu kapala BIN. Info terakhir, Habib batal balik ke Indonesia,” tandas Syafrudin.

Sejak ramai diberitakan bahwa saya berupaya menjadi juru damai antara HRS dan Presiden pada Januari 2018 dengan rencana memulangkan HRS, saya mulai merasakan sulit mengakses jalur khusus di Istana yang biasa digunakan untuk komunikasi meminta waktu bertemu dengan Presiden. Saluran telepon selalu mati, WhatsApp tak pernah dijawab. Telepon saya selalu tertolak.

Pada akhir Maret beredar isu di lingkungan Istana hingga ke korsek sejumlah perusahaan BUMN, bahwa Usamah Hisyam di black list Istana, tak boleh lagi bertemu Presiden. Karena Usamah selalu mempengaruhi Presiden untuk memulangkan HRS.

Saya segera melakukan tabayyun, menemui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, perihal black list tersebut. Pertemuan terjadi pada suatu Subuh di awal April 2018. Saya menemui Mensesneg di kediamannya, lantas satu mobil dengan Pak Menteri menuju bandara Soeta. Padatnya jadwal Mensesneg membuat saya harus berbicara dalam perjalanan dari rumah ke bandara.

Di atas mobilnya, Mensesneg meyakinkan saya bahwa tidak ada kebijakan Presiden untuk melakukan black list terhadap Usamah Hisyam. Lantaaas???

Sebagai bukti, saya minta segera dijadwalkan audiensi dengan Presiden dalam waktu segera. Audiensi tersebut terjadi beberapa hari kemudian, tepatnya 14 April 2018, saya diterima Presiden empat mata di Istana Negara.

“Ke mana saja Pak Usamah, kok gak pernah muncul?” sapa Presiden saat menyalami saya.

“Mohon maaf Bapak Presiden, selama tiga setengah bulan ini katanya saya di black list Istana, gak bisa lagi bertemu Presiden.”

“Opo? Black list? Sopo sing black list Pak Usamah?” kata Presiden sambil mengulum senyum.

“Gak tahu Pak. Katanya lingkaran Istana. Jadi saya sudah sulit minta waktu audiensi melalui jalur khusus seperti arahan Bapak selama ini.”

“Lha, sekarang ini kok bisa dijadwalkan bertemu saya? Lewat siapa?”

“Mensesneg Pak.”

“Ooo begitu ya. Yo wis, nanti lewat Mensesneg saja. Di Istana itu yo wiku. Saya juga heran, macam-macam isunya.”

Saya lantas mengajukan gagasan baru untuk menciptakan situasi kondisi politik yang kondusif menjelang tahapan Pilpres 2019. Saya sarankan Presiden agar berkenan menerima utusan ulama PA 212 yang direstui HRS untuk berkomunikasi dengan Presiden menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.

“Apa yang mereka inginkan Pak Usamah?”

“Ya, tabayyun Pak. Pertama, beri ruang dakwah seluas-luasnya, dengan menghentikan kriminalisasi ulama. Kedua, Habib Rizieq diizinkan pulang. Ketiga, pemberdayaan ekonomi umat. Saya kira hanya itu saja, Pak.”

“Lha, saya kan sudah berkali-kali bilang sama Pak Usamah, juga di berbagai kesempatan bertemu ulama, saya ini gak pernah merasa melakukan kriminalisasi ulama. Lha wong ulama yang dituduh dikriminalisasi saja saya gak tahu, saya gak kenal, yang mana? Kok itu terus yang dipersoalkan. Kalau masalah hukum, ya harus diselesasikan secara hukum,” tandas Presiden.

“Mohon maaf Bapak Presiden, justru masalah itu yang harus disampaikan Bapak Presiden kepada mereka, agar mereka bisa berkomunikasi langsung dengan Bapak.”

Presiden tercenung sejenak.

“Soal Pak Habib. Lhaaa, saya ini gak pernah musuhi dia. Buat apa musuhi dia. Saya juga paham kok, di belakangnya Pak Usamah ini ada Pak Habib. Ada umat Islam yang tujuh juta itu. Kalau saya musuhi 212, gak mungkin saya terima Pak Usamah bicara berdua di Istana seperti ini. Saya ini kan Presiden Republik Indonesia. Saya juga tiap hari dapat laporan intelijen. Saya tahu kalau Pak Usamah juga memimpin demo ke Istana. Saya tahu, kalau Pak Usamah juga menggugat Presiden di Pengadilan PTUN. Tetapi saya pikir-pikir, Pak Usamah dan aktivis 212 itu kan juga warga Indonesia, warga saya. Untuk apa saya musuhi! Lha wong saya Presiden kok.” Suara Presiden sejenak terhenti, lantas melanjutkan.

“Saya ini banyak sekali urusannya Pak Usamah. Dalam negeri lihat saja, urusan sosial dan ekonomi, urusan politik, urusan hukum dan korupsi, urusan pembangunan infrastruktur, biar negara kita itu berkeadilan. Saya sekarang lagi fokus memikirkan kemajuan pembangunan di negeri ini, mikirkan nasib rakyat kecil yang ada di desa-desa itu lho. Belum lagi urusan hubungan luar negeri. Kurang kerjaan apa saya mikirkan demo… demo.. demo. Kok saya terus menerus yang disudutkan?”

“Karena itu Bapak Presiden, agar situasi kondusif, terima mereka. Dengarkan keinginannya. Insya Allah suasana akan lebih teduh,” saya meyakinkan.

Presiden tak menjawab. Hanya tepekur, sesaat menatap wajah saya.

“Baiklah, mau di mana pertemuannya?”

“Saran saya Shalat Subuh berjamaah Rabu di Masjid Istana Bogor Pak, kemudian dilanjutkan sarapan pagi sambil berbincang. Biar suasana santai dan akrab.”

“Bagus, nanti malam saya kabari Pak Usamah, melalui Mensesneg. Saya bahas dulu dengan tim kecil Istana,” ujar Presiden dalam pertemuan singkat selama 10 menit itu.

Hasil rembukan dengan Mensesneg, karena berbagai kesibukan Presiden, akhirnya disepakati pertemuan berlangsung Ahad siang, 22 April 2018, Shalat Zhuhur berjamaah di Masjid Istana Bogor.

Hanya enam ulama dari sembilan ulama dan tokoh yang direncanakan bertemu Presiden yang berada di Jakarta, Ahad itu. Tiga lainnya, KH Husni Thamrin, KH Misbachul Anam, dan Ustadz Sukma sedang mengadakan pertemuan ulama Jawa Timur di Malang. Enam yang hadir bersama saya adalah Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, Ketua PA 212 Ustadz Selamat Ma’arif, Ketua Umum FPI Ustadz Sobri Lubis, Penasihat Adz-Zikra KH Raud Bahar, dan Sekjen FUI Ustdaz Muhammad Al-Khaththath.

Apa yang terjadi dalam pertemuan itu, sudah dilansir berbagai media massa. Memang yang ramai dihebohkan media, utamanya medsos, persoalan yang tidak substansial, yakni beredarnya foto pertemuan yang semula dianggap tertutup tersebut. Padahal, pada saat makan siang, setelah semua ulama menyampaikan tuntutannya atas pemulangan HRS, Presiden secara tegas menyatakan akan menyampaikan kepada Kapolri.

Beberapa pekan setelah itu, terbit SP3 terhadap dua kasus HRS. Terbitnya dua SP3 tersebut masih mengundang pro kontra. Apakah benar-benar murni proses hukum ataukah dampak politis hasil dari silaturahim dengan Presiden. Atau perpaduan proses hukum dan politis? Wallahul Musta’an.

Begitulah proses panjang dan berliku-liku upaya yang saya lakukan untuk mencari titik kompromi antara HRS dan Presiden RI. Tak ada yang meminta, atau membuat skenario. Semua atas inisiatif saya, tetapi kedua belah pihak tidak mempersoalkannya. Tak ada pihak ketiga, apalagi Surya Paloh, yang menurut tulisan Djadjang Nurdjaman, memberikan keuntungan finansial kepada saya.

Sejak saya terlibat Aksi 411 dan bahkan organisasi yang saya pimpin, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) terdepan dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar di Departemen Pertanian Jakarta Selatan, hubungan komunikasi dengan Surya Paloh merenggang. Bahkan sekitar sembilan bulan terputus, tak pernah berkomunikasi apalagi bertemu.

Sebagai pemimpin organisasi pergerakan Islam, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) –yang kelahirannya merupakan reinkarnasi Partai Masyumi, dan sejak menjadi ormas pada 1973 hingga kini melalui deklarasi kembali pada 26 September 1999, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) mewarisi cita-cita perjuangan Masyumi.

Salah satu peninggalan terbesar tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, adalah Mosi Integral Natsir awal tahun 1950 di parlemen, yang mempersatukan kembali RIS (Republik Indonesia Serikat) sehingga melahirkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) hingga sekarang. Karena itu, sebagai Ketua Umum Parmusi adalah kewajiban sejarah dan juga kewajiban konstitusi bagi saya untuk tetap mempertahankan dan mempersatukan bangsa dan negara dalam naungan NKRI, terutama umat Islam. Adalah kewajiban juga bagi saya untuk mengupayakan terbangunnya komunikasi yang kondusif para elit negara, termasuk para tokoh Islam dan ulama dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden RI.

Demikian pula dalam persoalan kepemimpinan negara ke depan, saya memiliki pandangan pribadi yang sangat prinsipil. Bila mana kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma keagamaan, hendaknya kita konsisten dan konsekuen dalam koridor nilai-nilai paradigma keagamaan tersebut. Sebaliknya, kalau kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan saja, ya kita pun harus bersikap konsekuen.

Menurut hemat saya, Prabowo Subianto adalah capres yang sangat tepat bila mana diusung oleh koalisi partainya dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan. Karena karakter yang dimiliki Prabowo tak lagi diragukan. Nasionalisme Prabowo secara jujur harus diberi acungan jempol. Baik latar belakang keluarga, keagamaan, pemikiran, dan sikap perilaku kesehariannya. Apalagi sebagai prajurit TNI, Prabowo tidak akan mungkin memihak ke kanan, apalagi ke kiri. Sudah tertanam dalam jiwa korsa prajurit TNI untuk tetap berada di tengah-tengah. Ibarat jangkar kapal, ia tak akan goyah mengikuti arah ombak.

Masalahnya, dalam konteks capres yang direkomendasikan oleh PA 212, Prabowo ditempatkan dalam paradigma keagamaan yang harus diperjuangkan melalui forum ijtima’ ulama. Bila kita bicara soal figur calon Presiden yang harus direkomendasikan dalam sebuah ijtima’ ulama, maka kriteria figur yang akan direkomendasikan haruslah memprioritaskan figur yang mendekati nilai-nilai syar’i, sesuai syariat Islam, sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Kecuali kita tidak menggunakan forum ijtima’ ulama, maka tak ada masalah.

Oleh sebab itu, pertanyaan saya sederhana. Bukankah dalam tafsir QS. Al-Maidah 51 (Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya), yang harus kita perjuangkan dalam memilih pemimpin (negara) adalah pemimpin muslim? Pertanyaan berikutnya, “pemimpin muslim” itu apakah “pemimpin muslim minimalis” ataukah “pemimpin muslim kaffah”? Sejumlah kawan, dai, ustadz, dan ulama menjawab: “pemimpin muslim kaffah”.

Bila memang “pemimpin muslim kaffah”, maka yang menjadi pertimbangan utama ijtima’ ulama adalah figur yang akan direkomendasikan haruslah mencerminkan seorang muslim kaffah.

Seorang muslim kaffah, begitu telah mengucapkan “laa ilaaha illallahu muhammaddurrasulullah” wajib untuk melaksanakan perintah Allah dan wajib melaksanakan larangan Allah. Perintah Allah dalam rukun Islam yang utama adalah taat melaksanakan shalat lima waktu, taat berpuasa, taat berzakat, (pernah) berhaji bagi yang mampu, dan teguh dalam meyakini rukun iman, yang bersumber dari kalimat tauhid.

Dengan demikian, kalau saja calon pemimpin shalatnya saja lemah, bagaimana mungkin dia akan mengajak warganya untuk menegakkan shalat? Kalau Shalat Subuh di masjid saja tak pernah, bagaimana mungkin mau bicara tentang kejayaan masa depan Islam? Karena menurut saya, ukuran keislaman seseorang dalam hal peribadatan nomor satu adalah Shalat Subuh di masjid.

Apalagi kalau berpuasa saja tidak pernah, bagaimana mungkin dapat diyakini dia akan berjihad fi sabilillah? Menyeru amar makruf dan nahi munkar? Demikian pula, kalau kita tak pernah tahu di mana dia melakukan Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, bagaimana mungkin kita bisa meyakini bahwa dia akan taat terhdap firman-firman Allah?

Belum lagi bila kita bicara kemampuan membaca Al-Quran. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk menaati kitabullah, bilamana dia tak bisa mengaji atau membaca Al-Quran? Bagaimana mungkin dia bisa membacakan ayat-ayat Allah, memberikan hikmah contoh keteladanan?

Bahkan bilamana kita harus menggunakan sifat-sifat Rasulullah sebagai acuan pemimpin muslim, yakni shidiq, amanah, fathonah, tabligh, maka suatu keputusan ijtima’ ulama harus dibahas secara sungguh-sungguh berdasarkan standar nilai-nilai Al-Quran dan As-Sunnah, tak boleh asal mengeluarkan rekomendasi sebagaimana ijtima’ politik. Kalau saja rekomendasi itu keliru, tidak tepat, maka kita yang turut memutuskan dan melakukan sosialisasi akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.

Itulah sesungguhnya sejumlah pertanyaan dan persoalan yang tidak sempat diperdebatkan dalam forum Dewan Penasihat Alumni 212 di Hotel Sultan, Jakarta, sepekan sebelum ijtima’ ulama digelar.

Itu pula yang membuat saya bersikukuh agar PA 212 tetap konsisten terhadap keputusan Rakornas 212, dimana saya turut memperjuangkan Habib Rizieq Syihab (HRS) sebagai capres rekomendasi pertama. Sungguhpun Amien Rais sudah mengabarkan, bahwa HRS tidak bersedia dan tidak ada keinginan menjadi Presiden RI, tetapi mengapa Dewan Penasehat 212 tidak memperioritaskan tiga figur lainnya, untuk ditetapkan sebagai capres yang dibawa ke ijtima’ ulama? Mereka adalah Ketua MPR RI dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, dan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang. Kita semua mengetahui secara persis, insya Allah figur ketiganya mendekati paramater pemimpin muslim kaffah.

Kalaupun terhadap ketiga figur itu kurang berselera, umat Islam sesungguhnya masih punya banyak stok pemimpin yang memenuhi standar pemimpin muslim kaffah. Seperti Prof Dr Din Syamsuddin, Prof Dr Mahfudz MD, Prof DR Didin Hafidhuddin, Prof Dr Jimly Asshidiqie, Dr Hidayat Nur Wahid, Dr Salim Segaff Al-Jufri, mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur DKI Anis Baswedan, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan mantan Ketua GNPF MUI Ustadz Bachtiar Natsir. Seandainya harus figur berlatar belakang militer, mengapa bukan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang justru diperjuangkan oleh sejumlah ulama khas, seperti KH Husni Thamrin dkk?

Saat ishoma Dewan Penasihat PA 212 berlangsung, ada ulama yang berbisik kepada saya, “Argumentasi Antum itu benar, bagus. Tetapi Antum dicurigai menolak Prabowo, biar Jokowi yang menang.”

“Masya Allah, kita mau bahas ijtima’ ulama kok malah suuzhon? Bahas dulu figur yang memenuhi kriteria pemimpin muslim kaffah, baru bicara Jokowi. Bukankah lemah di mata manusia, belum tentu dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala?” jawab saya.

Beberapa pekan sebelumnya, saya berdebat dengan HRS pada suatu dini hari melalui WhatsApp. Saya mengusulkan, bila HRS memang tidak berminat menjadi capres, maka sebagai imam besar sebaiknya menyebut sejumlah nama yang patut diperjuangkan dan didoakan dipilih dalam ijtima’ ulama.

Nama-nama tersebut representasi figur pimpinan parpol Islam atau berbasis massa Islam, yang sangat jelas keislamannya, antara lain bisa dari pimpinan ormas Islam, tokoh cendekiawan/aktivis pergerakan Islam, atau gubernur/mantan gubernur. Tentu semuanya memenuhi standar pemimpin muslim kaffah. Saya minta HRS melempar nama-nama tersebut ke publik, sebagai test the water, sekaligus masukan bagi peserta ijtima’ ulama.

“Afwan, Ana tidak tertarik dengan konsep Antum,” tandas HRS setelah berdebat.

Pada Maret 2018 saat bertemu di Turki, saya menyampaikan kembali saran kepada HRS bila yang diusung sebaiknya figur pemimpin muslim kaffah, yang latar belakang perjuangan keislamannya juga jelas. Saya lebih mendesak agar gerakan umat Islam tetap teguh dengan standar pemimpin muslim kaffah yang memenuhi nilai-nilai syariat. Umat Islam yang tergabung dalam PA 212 harus konsekuen.

Mengapa? Ketika menjatuhkan Ahok dari jabatan Gubernur, kita menggunakan standar syariat Islam, pemimpin harus muslim kaffah, mendengungkan kalimat tauhid. Tetapi ketika memilih figur pemimpin negara, kita justru abaikan standar pemimpin muslim kaffah yang memenuhi syariat. Sebaliknya, kita cenderung membenturkan umat Islam terhadap pilihan yang sulit. Tentu sangat berat pertanggung jawaban kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.

Tetapi, HRS secara tegas menganggap, realitas politik hanya Prabowo yang bisa mempersatukan koalisi parpol pendukung. “Prabowo memang bukan yang ideal. Tetapi realitas politiknya, dia yang punya partai, dia yang bisa mempersatukan koalisi partai. Kelemahan Prabowo nanti kita perkuat dengan wakilnya. Ana pikir bisa Anies Baswedan,” tandas HRS.

Begitulah dilema politik yang dihadapi dalam perjuangan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar Islami. Dalam arti, benar-benar memihak kepentingan umat, bukan pura-pura memihak umat. Kita umat Islam sudah capai dari waktu ke waktu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik lima tahunan, tetapi kemiskinan dan kebodohan tetap saja tidak terentas.

Setelah ishoma berakhir, tepat pukul 19.30 seluruh Penasihat PA 212 kembali ke ruang rapat. Tak lama berselang, Prabowo Subianto masuk ke ruang rapat, menyusul sejumlah Sekjen Partai, seperti Ahmad Muzani (Gerindra), Eddy Suparno (PAN), dan Afriansyah Ferry Noor (PBB).

Setelah Amien Rais mencabut skorsing rapat, beliau mempersilakan Prabowo Subianto untuk berbicara, memberikan penjelasan apa yang akan diperjuangkan bila didukung PA 212.

Di luar dugaan, pada mukadimah, Prabowo bicara kencang. Dengan nada suara tinggi, ia memprotes pihak-pihak yang meragukan kualitas keislamannya, ibadahnya, kemampuannya mengaji dan menjadi imam shalat. Yang sangat mengejutkan, ia berbicara sambil meninju keras meja rapat di depannya, sampai lima kali tinju, sehingga para ulama dan tokoh-tokoh yang hadir terperangah. Suasana menjadi tegang.

Sampai presentasi Prabowo selesai, forum rembuk Dewan Penasihat 212 itu pun tak pernah lagi membahas rekomendasi pencalonan Prabowo Subianto. Pertemuan malam itu seakan-akan menjadi legitimasi bahwa PA 212 secara resmi merekomendasikan Prabowo Subianto. Tak ada lagi musyawarah, apalagi voting. Saya juga tak bisa berbuat apa pun lagi. Kecuali terpekur, bagaimana bila suasana rapat kabinet seperti itu? Wallahu a’lam.

Akhirnya, Ijtima’ Ulama 1 berlangsung secara mulus mengajukan nama tunggal Prabowo sebagai capres. Sejumlah ustadz dan tokoh pergerakan Islam yang dianggap akan memperjuangkan HRS dan akan menolak pencalonan Prabowo, tak memperoleh undangan sebagai peserta ijtima’ ulama. Mereka dianggap barisan yang hendak menggagalkan pencalonan Prabowo. Mereka tak diundang dalam ijtima ulama, termasuk saya. Itulah permainan politik tingkat tinggi panitia dengan menggunakan baju ijtima’ ulama.

Berdasarkan pengalaman dan argumentasi prinsipil itulah, saya tak ingin ikut bertanggung jawab di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala atas pencalonan Prabowo Subianto sebagai capres dengan baju ijtima’ ulama. Apalagi bisa dihitung dengan jari ulama khas yang tergabung dalam ijtima tersebut. Terlalu berat beban yang bakal saya pikul di Yaumil Akhir. Apalagi semua yang diperdebatkan ini adalah urusan dunia. Karena itu saya pribadi juga tak ingin menjadi tim sukses Prabowo. Ini pilihan politik pribadi.

Seperti tahun 2014, saya memang tak mendukung pencalonan Prabowo Subianto. Demikian pula menghadapi Pilpres 2019, secara pribadi saya juga tak mendukung Pasangan Nomor 02. Apalagi keputusan Mukernas ke-4 Parmusi telah merekomendasikan kepada kader dan dai agar dalam Pileg/Pilpres memilih figur yang taat beribadah.

Karena itu saya sangat menyesalkan sikap kawan-kawan PA 212 yang menjadikan PA 212 sebagai Timses Prabowo Subianto. Itulah sebabnya saya mengundurkan diri. Mungkin juga para tokoh dan ulama besar yang tak lagi muncur di panggung Reuni 212 tahun 2018.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI