Cerita Usamah Hisyam Lobi Jokowi untuk Rizieq sampai Prabowo Tinju Meja

Kamis, 20 Desember 2018 | 13:53 WIB
Cerita Usamah Hisyam Lobi Jokowi untuk Rizieq sampai Prabowo Tinju Meja
Joko Widodo. (Suara.com/Somad)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Masalahnya, dalam konteks capres yang direkomendasikan oleh PA 212, Prabowo ditempatkan dalam paradigma keagamaan yang harus diperjuangkan melalui forum ijtima’ ulama. Bila kita bicara soal figur calon Presiden yang harus direkomendasikan dalam sebuah ijtima’ ulama, maka kriteria figur yang akan direkomendasikan haruslah memprioritaskan figur yang mendekati nilai-nilai syar’i, sesuai syariat Islam, sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Kecuali kita tidak menggunakan forum ijtima’ ulama, maka tak ada masalah.

Oleh sebab itu, pertanyaan saya sederhana. Bukankah dalam tafsir QS. Al-Maidah 51 (Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya), yang harus kita perjuangkan dalam memilih pemimpin (negara) adalah pemimpin muslim? Pertanyaan berikutnya, “pemimpin muslim” itu apakah “pemimpin muslim minimalis” ataukah “pemimpin muslim kaffah”? Sejumlah kawan, dai, ustadz, dan ulama menjawab: “pemimpin muslim kaffah”.

Bila memang “pemimpin muslim kaffah”, maka yang menjadi pertimbangan utama ijtima’ ulama adalah figur yang akan direkomendasikan haruslah mencerminkan seorang muslim kaffah.

Seorang muslim kaffah, begitu telah mengucapkan “laa ilaaha illallahu muhammaddurrasulullah” wajib untuk melaksanakan perintah Allah dan wajib melaksanakan larangan Allah. Perintah Allah dalam rukun Islam yang utama adalah taat melaksanakan shalat lima waktu, taat berpuasa, taat berzakat, (pernah) berhaji bagi yang mampu, dan teguh dalam meyakini rukun iman, yang bersumber dari kalimat tauhid.

Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?

Dengan demikian, kalau saja calon pemimpin shalatnya saja lemah, bagaimana mungkin dia akan mengajak warganya untuk menegakkan shalat? Kalau Shalat Subuh di masjid saja tak pernah, bagaimana mungkin mau bicara tentang kejayaan masa depan Islam? Karena menurut saya, ukuran keislaman seseorang dalam hal peribadatan nomor satu adalah Shalat Subuh di masjid.

Apalagi kalau berpuasa saja tidak pernah, bagaimana mungkin dapat diyakini dia akan berjihad fi sabilillah? Menyeru amar makruf dan nahi munkar? Demikian pula, kalau kita tak pernah tahu di mana dia melakukan Shalat Tarawih di bulan Ramadhan, bagaimana mungkin kita bisa meyakini bahwa dia akan taat terhdap firman-firman Allah?

Belum lagi bila kita bicara kemampuan membaca Al-Quran. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk menaati kitabullah, bilamana dia tak bisa mengaji atau membaca Al-Quran? Bagaimana mungkin dia bisa membacakan ayat-ayat Allah, memberikan hikmah contoh keteladanan?

Bahkan bilamana kita harus menggunakan sifat-sifat Rasulullah sebagai acuan pemimpin muslim, yakni shidiq, amanah, fathonah, tabligh, maka suatu keputusan ijtima’ ulama harus dibahas secara sungguh-sungguh berdasarkan standar nilai-nilai Al-Quran dan As-Sunnah, tak boleh asal mengeluarkan rekomendasi sebagaimana ijtima’ politik. Kalau saja rekomendasi itu keliru, tidak tepat, maka kita yang turut memutuskan dan melakukan sosialisasi akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.

Itulah sesungguhnya sejumlah pertanyaan dan persoalan yang tidak sempat diperdebatkan dalam forum Dewan Penasihat Alumni 212 di Hotel Sultan, Jakarta, sepekan sebelum ijtima’ ulama digelar.

Baca Juga: Tim Prabowo Komentar Usul Jokowi Tanam Pete dan Jengkol: Nggak Masuk Akal

Itu pula yang membuat saya bersikukuh agar PA 212 tetap konsisten terhadap keputusan Rakornas 212, dimana saya turut memperjuangkan Habib Rizieq Syihab (HRS) sebagai capres rekomendasi pertama. Sungguhpun Amien Rais sudah mengabarkan, bahwa HRS tidak bersedia dan tidak ada keinginan menjadi Presiden RI, tetapi mengapa Dewan Penasehat 212 tidak memperioritaskan tiga figur lainnya, untuk ditetapkan sebagai capres yang dibawa ke ijtima’ ulama? Mereka adalah Ketua MPR RI dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, dan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang. Kita semua mengetahui secara persis, insya Allah figur ketiganya mendekati paramater pemimpin muslim kaffah.

Kalaupun terhadap ketiga figur itu kurang berselera, umat Islam sesungguhnya masih punya banyak stok pemimpin yang memenuhi standar pemimpin muslim kaffah. Seperti Prof Dr Din Syamsuddin, Prof Dr Mahfudz MD, Prof DR Didin Hafidhuddin, Prof Dr Jimly Asshidiqie, Dr Hidayat Nur Wahid, Dr Salim Segaff Al-Jufri, mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur DKI Anis Baswedan, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dan mantan Ketua GNPF MUI Ustadz Bachtiar Natsir. Seandainya harus figur berlatar belakang militer, mengapa bukan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang justru diperjuangkan oleh sejumlah ulama khas, seperti KH Husni Thamrin dkk?

Saat ishoma Dewan Penasihat PA 212 berlangsung, ada ulama yang berbisik kepada saya, “Argumentasi Antum itu benar, bagus. Tetapi Antum dicurigai menolak Prabowo, biar Jokowi yang menang.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI