Beberapa pekan setelah itu, terbit SP3 terhadap dua kasus HRS. Terbitnya dua SP3 tersebut masih mengundang pro kontra. Apakah benar-benar murni proses hukum ataukah dampak politis hasil dari silaturahim dengan Presiden. Atau perpaduan proses hukum dan politis? Wallahul Musta’an.
Begitulah proses panjang dan berliku-liku upaya yang saya lakukan untuk mencari titik kompromi antara HRS dan Presiden RI. Tak ada yang meminta, atau membuat skenario. Semua atas inisiatif saya, tetapi kedua belah pihak tidak mempersoalkannya. Tak ada pihak ketiga, apalagi Surya Paloh, yang menurut tulisan Djadjang Nurdjaman, memberikan keuntungan finansial kepada saya.
Sejak saya terlibat Aksi 411 dan bahkan organisasi yang saya pimpin, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) terdepan dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar di Departemen Pertanian Jakarta Selatan, hubungan komunikasi dengan Surya Paloh merenggang. Bahkan sekitar sembilan bulan terputus, tak pernah berkomunikasi apalagi bertemu.
Sebagai pemimpin organisasi pergerakan Islam, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) –yang kelahirannya merupakan reinkarnasi Partai Masyumi, dan sejak menjadi ormas pada 1973 hingga kini melalui deklarasi kembali pada 26 September 1999, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) mewarisi cita-cita perjuangan Masyumi.
Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?
Salah satu peninggalan terbesar tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, adalah Mosi Integral Natsir awal tahun 1950 di parlemen, yang mempersatukan kembali RIS (Republik Indonesia Serikat) sehingga melahirkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) hingga sekarang. Karena itu, sebagai Ketua Umum Parmusi adalah kewajiban sejarah dan juga kewajiban konstitusi bagi saya untuk tetap mempertahankan dan mempersatukan bangsa dan negara dalam naungan NKRI, terutama umat Islam. Adalah kewajiban juga bagi saya untuk mengupayakan terbangunnya komunikasi yang kondusif para elit negara, termasuk para tokoh Islam dan ulama dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden RI.
Demikian pula dalam persoalan kepemimpinan negara ke depan, saya memiliki pandangan pribadi yang sangat prinsipil. Bila mana kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma keagamaan, hendaknya kita konsisten dan konsekuen dalam koridor nilai-nilai paradigma keagamaan tersebut. Sebaliknya, kalau kita menempatkan suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan saja, ya kita pun harus bersikap konsekuen.
Menurut hemat saya, Prabowo Subianto adalah capres yang sangat tepat bila mana diusung oleh koalisi partainya dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan. Karena karakter yang dimiliki Prabowo tak lagi diragukan. Nasionalisme Prabowo secara jujur harus diberi acungan jempol. Baik latar belakang keluarga, keagamaan, pemikiran, dan sikap perilaku kesehariannya. Apalagi sebagai prajurit TNI, Prabowo tidak akan mungkin memihak ke kanan, apalagi ke kiri. Sudah tertanam dalam jiwa korsa prajurit TNI untuk tetap berada di tengah-tengah. Ibarat jangkar kapal, ia tak akan goyah mengikuti arah ombak.