“Masya Allah, kita mau bahas ijtima’ ulama kok malah suuzhon? Bahas dulu figur yang memenuhi kriteria pemimpin muslim kaffah, baru bicara Jokowi. Bukankah lemah di mata manusia, belum tentu dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala?” jawab saya.
Beberapa pekan sebelumnya, saya berdebat dengan HRS pada suatu dini hari melalui WhatsApp. Saya mengusulkan, bila HRS memang tidak berminat menjadi capres, maka sebagai imam besar sebaiknya menyebut sejumlah nama yang patut diperjuangkan dan didoakan dipilih dalam ijtima’ ulama.
Nama-nama tersebut representasi figur pimpinan parpol Islam atau berbasis massa Islam, yang sangat jelas keislamannya, antara lain bisa dari pimpinan ormas Islam, tokoh cendekiawan/aktivis pergerakan Islam, atau gubernur/mantan gubernur. Tentu semuanya memenuhi standar pemimpin muslim kaffah. Saya minta HRS melempar nama-nama tersebut ke publik, sebagai test the water, sekaligus masukan bagi peserta ijtima’ ulama.
“Afwan, Ana tidak tertarik dengan konsep Antum,” tandas HRS setelah berdebat.
Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?
Pada Maret 2018 saat bertemu di Turki, saya menyampaikan kembali saran kepada HRS bila yang diusung sebaiknya figur pemimpin muslim kaffah, yang latar belakang perjuangan keislamannya juga jelas. Saya lebih mendesak agar gerakan umat Islam tetap teguh dengan standar pemimpin muslim kaffah yang memenuhi nilai-nilai syariat. Umat Islam yang tergabung dalam PA 212 harus konsekuen.
Mengapa? Ketika menjatuhkan Ahok dari jabatan Gubernur, kita menggunakan standar syariat Islam, pemimpin harus muslim kaffah, mendengungkan kalimat tauhid. Tetapi ketika memilih figur pemimpin negara, kita justru abaikan standar pemimpin muslim kaffah yang memenuhi syariat. Sebaliknya, kita cenderung membenturkan umat Islam terhadap pilihan yang sulit. Tentu sangat berat pertanggung jawaban kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala di Yaumil Akhir.
Tetapi, HRS secara tegas menganggap, realitas politik hanya Prabowo yang bisa mempersatukan koalisi parpol pendukung. “Prabowo memang bukan yang ideal. Tetapi realitas politiknya, dia yang punya partai, dia yang bisa mempersatukan koalisi partai. Kelemahan Prabowo nanti kita perkuat dengan wakilnya. Ana pikir bisa Anies Baswedan,” tandas HRS.
Begitulah dilema politik yang dihadapi dalam perjuangan untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar Islami. Dalam arti, benar-benar memihak kepentingan umat, bukan pura-pura memihak umat. Kita umat Islam sudah capai dari waktu ke waktu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik lima tahunan, tetapi kemiskinan dan kebodohan tetap saja tidak terentas.
Setelah ishoma berakhir, tepat pukul 19.30 seluruh Penasihat PA 212 kembali ke ruang rapat. Tak lama berselang, Prabowo Subianto masuk ke ruang rapat, menyusul sejumlah Sekjen Partai, seperti Ahmad Muzani (Gerindra), Eddy Suparno (PAN), dan Afriansyah Ferry Noor (PBB).
Baca Juga: Tim Prabowo Komentar Usul Jokowi Tanam Pete dan Jengkol: Nggak Masuk Akal
Setelah Amien Rais mencabut skorsing rapat, beliau mempersilakan Prabowo Subianto untuk berbicara, memberikan penjelasan apa yang akan diperjuangkan bila didukung PA 212.
Di luar dugaan, pada mukadimah, Prabowo bicara kencang. Dengan nada suara tinggi, ia memprotes pihak-pihak yang meragukan kualitas keislamannya, ibadahnya, kemampuannya mengaji dan menjadi imam shalat. Yang sangat mengejutkan, ia berbicara sambil meninju keras meja rapat di depannya, sampai lima kali tinju, sehingga para ulama dan tokoh-tokoh yang hadir terperangah. Suasana menjadi tegang.
Sampai presentasi Prabowo selesai, forum rembuk Dewan Penasihat 212 itu pun tak pernah lagi membahas rekomendasi pencalonan Prabowo Subianto. Pertemuan malam itu seakan-akan menjadi legitimasi bahwa PA 212 secara resmi merekomendasikan Prabowo Subianto. Tak ada lagi musyawarah, apalagi voting. Saya juga tak bisa berbuat apa pun lagi. Kecuali terpekur, bagaimana bila suasana rapat kabinet seperti itu? Wallahu a’lam.