Suara.com - Dewan Pers bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan Penyusunan Pedoman Pemberitaan yang Ramah Anak. Tim Perumus Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang juga anggota Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengatakan penyusunan pedoman pemberitaan ramah anak dikarenakan masih adanya media massa yang masih mengungkap identitas anak dalam pemberitaan.
Adapun tujuan pedoman pemberitaan ramah anak bertujuan untuk menjamin hak-hak anak di masa depan. Menurut Hendry, wartawan Indonesia menyadari bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif. Anak-anak dapat berkembang normal secara jasmani maupun rohani tanpa konten berita negatif.
"Berangkat dari sana, lalu kita bergerak mencari rumusan kemudian mengkaitkan dengan plafrom media dan dilandasi oleh fakta. Sampai pada hari ni masih banyak pemberitaan yang tidak paham atas berbagai aturan bahkan konvensi bahkan kode etik. Karena penelitian terkahir baru 50 persen wartawan info yang memahami kode etik yang sangat penting batas usia," ujar Hendry dalam diskusi Uji Publik tentang “Pedoman Pemberitaan yang Ramah Anak" di Hall Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Pedoman tersebut juga untuk melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak. Hendry menyebut nantinya dalam pedoman pemberitaan kategori anak yakni seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Baca Juga: 9 Anggota Dewan Pers 2019-2022 Resmi Terpilih
"Adanya pasal pidana peradilan anak dimana di pasal 19 dikatakan media yang membuka identitas mengungkap itu dapat dipenjara lima tahun penjara. Jadi sebetulnya titik tolak dari pedoman ini adalah kira-kira agar pemberitaan itu tidak menubruk peraturan itu," ucap dia.
Adapun sebanyak 10 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang sedang dirumuskan oleh Dewan Pers dan KPPA. Pedoman pertama yakni Wartawan Indonesia harus merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Pedomana kedua, Wartawan Indonesia memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/Visual yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
"Ketiga, wartawan Indonesia tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik. Keempat, wartawan Indonesia dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual identitas atau asosiasi identitas anak," tuturnya.
Kemudian pedoman kelima, yaitu Wartawan Indonesia dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan. Pedoman keenam, wartawan lndonesia tidak menggali informasi dan tidak memberitakan anak yang masih dalam perlindungan LPSK.
Baca Juga: Pendaftaran Calon Anggota Dewan Pers Dibuka, Ini Syaratnya
"Pedoman ketujuh, khusus tentang berita terkait anak sebagai korban kejahatan yang kemudian diketahui pelakunya ada hubungan kekeluargaan/kekerabatan, Wartawan Indonesia segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan," kata Hendry.