Suara.com - Dewan Pakar Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Faisal Basri sangat kecewa dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi batal menaikkan cukai rokok pada 2019. Ia curiga ada intervensi industri rokok atas pembatalan cukai rokok.
Mengingat 2019 tahun politik, ekonom dari Universitas Indonesia (UI) ini menduga industri rokok menyokong dana untuk kampanye Jokowi dalam Pemilihan Presiden.
“Saya curiga ada money politik di situ. Perlu dilakukan diinvestigasi, siapa para pihak yang terlibat ketika rapat pembahasan cukai, soalnya PR (Public Relation) Philip Morris selalu hadir. Berapa Djarum group membiayai Jokowi secara langsung maupun tidak langsung,” kata Faisal Basri dalam workshop jurnalis yang diselenggarakan AJI Jakarta di Bogor pada pertengahan November lalu.
Meski, lanjut dia, kelompok raksasa industri rokok biasanya memainkan politik dua kaki dalam Pilpres. Selain menyumbang dana kampanye untuk petahana Jokowi, mereka juga mengucurkan dana ke kubu Prabowo Subianto.
Baca Juga: Polsek Ciracas Dibakar, Polisi Belum Bisa Pastikan Pelaku Pembakaran
“Biasanya politik dua kaki. Jadi uang yang menggelontor ini yang perlu dibuktikan,” ujar dia.
Dia menjelaskan, Komnas Pengendalian Tembakau tidak menuntut industri rokok dimatikan, namun dikendalikan karena rokok adalah zat adiktif. Oleh karena itu produksi, penjualan dan iklan rokok harus di kendalikan di Indonesia. Sedangkan untuk pengendalian tembakau adalah dengan menaikkan cukai rokok.
Industri rokok sensitif terhadap kebijakan. Di tahun 2015 hingga 2017 pertumbuhannya terus menurun dan mencapai titik terendah menjadi -4,64 pada triwulan pertama 2018, lalu di triwulan kedua pertumbuhannya naik menjadi 3,26, kemudian naik lagi di triwulan ketiga menjadi 4,12.
“Kini pertumbuhan industri rokok terus meningkat, hal ini tidak bisa dibiarkan karena mereka butuh sasaran perokok baru. Di samping itu prevalensi perokok anak-anak naik. Yang mereka sasar adalah yang belum merokok menjadi perokok di usia sedini mungkin, yaitu di bawah 15 tahun,” ungkapnya.
Dia membeberkan, hampir seluruh cukai berasal dari cukai rokok, tahun ini cukai ditargetkan sebesar Rp 148,3 triliun. Pada 2017, pendapatan cukai sebesar Rp 153 triliun dan 95 pensen diantaranya pendapatan dari cukai, yaitu sebesar Rp 147,7 triliun.
Baca Juga: Konser Kumandang Musik Pop Lintas Generasi Libatkan 3 Band Legendaris
Sementara itu, sebagian besar pendapatan cukai 3 kali lipat dari laba BUMN keseluruhan. Jadi kalau pemerintah ingin jalan pintas, semua BUMN dikonversi menjadi pabrik rokok saja.
Di satu sisi ada ketergantungan pemerintah pada penerimaan cukai rokok yang sudah terlajur besar. Namun, menurutnya, tidak ada alasan cukai rokok sebagai instrumen peningkatan pendapatan pemerintah. Tujuan cukai adalah mengendalikan konsumsi barang-barang yang buruk, seperti alkohol, polusi, bbm fosil, plastik dan lainnya.
“Jika pendapatan cukai rokok dibandingkan dengan pendapatan negara secara keseluruhan nilainya relatif kecil. Bahkan jika dibandingkan dengan penerimaan perpajakan juga relatif kecil yakni berkisar 10 persen,” tutur dia.
Faisal menambahkan, pengalaman hampir semua negara menunjukkan bahwa yang paling efektif untuk menurunkan jumlah angka perokok adalah dengan menaikkan harga. Oleh karena itu instrumennya adalah menaikkan tarif cukai.
Namun, ia menyadari tidak bisa serta merta harga rokok dinaikkan dari Rp 25.000 langsung menjadi Rp 50.000. Karena efeknya bisa kontraproduktif, muncul cukai bodong, muncul rokok ilegal. Jika pemerintah mampu melakukan law enforcement bagus, tetapi pemerintah sangat tidak mampu melakukan law enforcement.
“Kita sepakat bahwa yang harus dilakukan adalah secara bertahap menaikkan sampai level 57 persen sesuai UU). Repatriasi profit industri rokok mendorong rupiah semakin sulit naik, karena mereka tidak mau ekspansi, apalagi lagi ekspansi pabrik,” kata dia.
Jangan Ragu Mengendalikan Rokok
Sementara itu yang menyedihkan lagi, kata dia, di kalangan penduduk miskin pengeluaran untuk rokok merupakan yang terbesar kedua setelah beras. Tidak diragukan lagi, mudarat merokok lebih besar dari manfaatnya. Oleh karena itu tidak semestinya pemerintah ragu untuk mengendalikan peredaran rokok. Tak perlu gentar kehilangan pendapatan dari cukai rokok yang sudah mencapai hampir Rp 150 triliun.
“Mulailah dengan melarang total iklan rokok di televisi dan di ruang terbuka. Batasi tempat penjualan rokok. Kemudian, naikkan cukai rokok sehingga harga rokok setidaknya naik dua kali lipat dan naikkan terus secara bertahap,” terangnya.
Ketua Umum Komanas Pengendalian Tembakau Prijo Sudipratomo menilai, Presiden Jokowi sempat berupaya menolak RUU Pertembakauan yang diusul oleh partai politik di DPR. Terlihat ketika beberapa waktu lalu Jokowi menurunkan tim untuk membahas DIM atau daftar inventarisasi masalah rancangan undang-undang tersebut.
Namun situasi itu berubah ketika memasuki tahun politik, Jokowi membatalkan kenaikkan cukai rokok tahun 2019. Padahal menaikkan cukai rokok untuk mengendalikan kondumsi rokok di masyarakat. Ia menduga keputusan Jokowi tidak menaikkan cukai rokok tahun 2019 untuk kepentingan pilpres, yaitu agar dapat sumbangan dana kampanye.
“Ini ada indikasi kepentingan sesaat, untuk kepentingan Pilpres jangan-jangan,” kata Prijo kepada Suara.com.
Menurut dia, kebijakan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok tahun 2019 bertolak belakang dengan program Presiden Jokowi untuk membangun dan mengembangkan sumber daya manusia. Padahal Jokowi juga punya program menurunkan tingkat perokok dan mengutamakan kesehatan masyarakat.
“Kan rencana dia juga untuk menurunkan jumlah perokok, kebijakan ini (tidak menaikkan cukai rokok) bertentangan dengan rencana dia sendiri,” ujar dia.
Dia menambahkan, Indonesia adalah salah satu penggagas kerangka kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di era Presiden Megawati Soekarnoputri. FCTC ini telah diratifikasi oleh banyak negara, namun Indonesia sendiri hingga saat ini belum melakukannya. Sekarang tahapannya bukan ratifikasi lagi, tetapi aksesi atau ditandatangani.
“Aksesi FCTC itu tidak perlu izin DPR, cukup Presiden saja. Jadi tinggal aksesi saja, diimplementasikan. FCTC sebagai payung hukum internasional, konvensi internasional. Aksesi FCTC ini pekerjaan yang mudah dilakukan oleh siapapun yang menjadi Presiden,” kata dia.
Wakil Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Mahesa Paranadipa mengatakan, Pemerintahan Jokowi memiliki program rencana jangka menengah penurunan angka perokok anak usia 15 tahun. Namun komitmen itu baru di atas kertas, belum ada realisasinya.
Kementerian Kesehatan telah memiliki kebijakan untuk menurunkan peningkatan jumlah perokok usia anak dan perempuan. Namun, kebijakan itu tidak bersinergi dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang mematok peningkatan target produksi batang rokok di Indonesia. Seharusnya Presiden Jokowi mengontrol kebijakan-kebijakan tersebut.
“Itu kan menjadi konta produktif dengan kebijakan Presiden sendiri. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Jokowi harus mengontrol kebijakan-kebijakan kabinetnya selaku pembantu Presiden. Kalau kebijakannya bertentangan dengan Presiden harusnya itu bisa dikoreksi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut dia, kontrol mengenai penjualan rokok terhadap remaja dan anak-anak juga belum terlihat. Remaja dan nak-anak sampai sekarang sangat mudah mengakses rokok di warung-warung, kios, termasuk mini market-mini market.
Sementara itu, Peraturan Daerah atau Perda-Perda tentang kawasan tanpa rokok pun belum efektif. Misalnya tentang Perda kawasan tanpa rokok pun, meski ada sanksi hanya sebatas administratif yang tidak sampai menimbulkan efek jera.
“Walaupun ada sanksi kurungan dan sebagainya, tetapi bagaimana aplikasinya. Selama ini kan belum terlihat, apakah ada orang yang dipenjara karena merokok di sembarangan tempat, atau apakah ada pemilik mini market yang di beri sanksi pidana karena menjual rokok kepada anak di bawah umur, kan belum terlihat,” tutur dia.
Menurut dia, besar kemungkinan Jokowi membatalkan kenaikkan cukai rokok karena dapat suntikan dana untuk kampanye dari industri rokok.
“Dugaan ke arah situ kami belum tahu persis. Tapi tak menutup kemungkinan itu terjadi, soalnya industri rokok sangat besar,” tandas Dr Mahesa yang kini juga duduk sebagai Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI).