Menurut dia, kebijakan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok tahun 2019 bertolak belakang dengan program Presiden Jokowi untuk membangun dan mengembangkan sumber daya manusia. Padahal Jokowi juga punya program menurunkan tingkat perokok dan mengutamakan kesehatan masyarakat.
“Kan rencana dia juga untuk menurunkan jumlah perokok, kebijakan ini (tidak menaikkan cukai rokok) bertentangan dengan rencana dia sendiri,” ujar dia.
Dia menambahkan, Indonesia adalah salah satu penggagas kerangka kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di era Presiden Megawati Soekarnoputri. FCTC ini telah diratifikasi oleh banyak negara, namun Indonesia sendiri hingga saat ini belum melakukannya. Sekarang tahapannya bukan ratifikasi lagi, tetapi aksesi atau ditandatangani.
“Aksesi FCTC itu tidak perlu izin DPR, cukup Presiden saja. Jadi tinggal aksesi saja, diimplementasikan. FCTC sebagai payung hukum internasional, konvensi internasional. Aksesi FCTC ini pekerjaan yang mudah dilakukan oleh siapapun yang menjadi Presiden,” kata dia.
Baca Juga: Polsek Ciracas Dibakar, Polisi Belum Bisa Pastikan Pelaku Pembakaran
Wakil Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Mahesa Paranadipa mengatakan, Pemerintahan Jokowi memiliki program rencana jangka menengah penurunan angka perokok anak usia 15 tahun. Namun komitmen itu baru di atas kertas, belum ada realisasinya.
Kementerian Kesehatan telah memiliki kebijakan untuk menurunkan peningkatan jumlah perokok usia anak dan perempuan. Namun, kebijakan itu tidak bersinergi dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang mematok peningkatan target produksi batang rokok di Indonesia. Seharusnya Presiden Jokowi mengontrol kebijakan-kebijakan tersebut.
“Itu kan menjadi konta produktif dengan kebijakan Presiden sendiri. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Jokowi harus mengontrol kebijakan-kebijakan kabinetnya selaku pembantu Presiden. Kalau kebijakannya bertentangan dengan Presiden harusnya itu bisa dikoreksi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut dia, kontrol mengenai penjualan rokok terhadap remaja dan anak-anak juga belum terlihat. Remaja dan nak-anak sampai sekarang sangat mudah mengakses rokok di warung-warung, kios, termasuk mini market-mini market.
Sementara itu, Peraturan Daerah atau Perda-Perda tentang kawasan tanpa rokok pun belum efektif. Misalnya tentang Perda kawasan tanpa rokok pun, meski ada sanksi hanya sebatas administratif yang tidak sampai menimbulkan efek jera.
Baca Juga: Konser Kumandang Musik Pop Lintas Generasi Libatkan 3 Band Legendaris
“Walaupun ada sanksi kurungan dan sebagainya, tetapi bagaimana aplikasinya. Selama ini kan belum terlihat, apakah ada orang yang dipenjara karena merokok di sembarangan tempat, atau apakah ada pemilik mini market yang di beri sanksi pidana karena menjual rokok kepada anak di bawah umur, kan belum terlihat,” tutur dia.
Menurut dia, besar kemungkinan Jokowi membatalkan kenaikkan cukai rokok karena dapat suntikan dana untuk kampanye dari industri rokok.
“Dugaan ke arah situ kami belum tahu persis. Tapi tak menutup kemungkinan itu terjadi, soalnya industri rokok sangat besar,” tandas Dr Mahesa yang kini juga duduk sebagai Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI).