Suara.com - Selama bertahun-tahun, Hasbullah Thabrany berjuang dalam pengendalian tembakau di Indonesia. Selama ini bersama sejumlah elemen masyarakat, ia mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang pro kesehatan publik di parlemen melalui rapat dengar pendapat (RDP) dan melobi anggota dan fraksi di DPR. Khususnya advokasi Rancangan Undang-undang Pertembakauan (RUU-P) yang mayoritas pasal-pasalnya berpihak pada kepentingan industri rokok.
Sebagai seorang akademisi, ia merasa upaya untuk berjuang melakukan pengendalian tembakau belum kuat. Oleh sebab itu, ia ingin melakukan perubahan dengan menjadi anggota DPR di Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan.
Kini, Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia (InaHea) dan Senior Policy Advisor ThinkWell ini maju sebagai calon legislatif dari PDI Perjuangan di Pemilu 2019.
“Tujuan saya ikut dalam pencalonan diri di parlemen melalui Pemilu ke depan supaya lebih banyak memperjuangkan agar RUU-P tidak disahkan. Saya tidak takut dilawan korporasi rokok, karena dalam demokrasi itu hal yang wajar,” kata Hasbullah kepada Suara.com beberapa waktu lalu di Bogor, Jawa barat.
Baca Juga: Polsek Ciracas Dibakar, Polisi Belum Bisa Pastikan Pelaku Pembakaran
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini, maju dari daerah pemilihan atau Dapil VI Jawa Barat, yakni Kota Depok dan Bekasi. Ia memilih maju jadi caleg dari PDI Perjuangan karena partai pemerintah yang punya kursi terbanyak di parlemen.
“Kenapa saya memilih PDIP? Karena kalau saya mau merubah sesuatu itu harus dari partai besar, partai pemerintah. Saya incar komisi IX,” ujar dia.
Hasbullah mengaku sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok pada 2019. Menurutnya kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok itu bertolak belakang dengan program Nawa Cita Presiden Joko Widodo, yakni menurunkan jumlah perokok di kalangan anak di bawah umur.
Mengingat dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019, pemerintah menargetkan menurunkan jumlah perokok pemula dari angka 7 lebih menjadi 5,2 persen. Namun 2016 saja angkanya justru naik menjadi 8,8 persen.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukan prevalensi perokok di Indonesia pada usia 15 tahun meningkat sebesar 36,3 persen dibandingkan dengan Tahun 1995 yaitu 27 persen. Tidak heran jika Indonesia menjadi negara nomor tiga terbanyak jumlah perokoknya di dunia setelah Cina dan India.
Baca Juga: Soal Posisi Wagub DKI, PKS ke Gerindra: Tolong Hormati Kami
“Perkiraan saya dengan tidak dinaikkannya cukai rokok pada 2019 mendatang akan menyebabkan jumlah konsumsi rokok di Indonesia akan meningkatkan. Apalagi pemerintah memberikan dana Bansos (Bantuan Sosial) ke masyarakat, sehingga konsumsi rokok akan meningkatkan. Harga rokok tidak naik, sementara uang masyarakat nambah dari Bansos,” tutur dia.
Pakar di bidang asuransi kesehatan dan jaminan sosial ini menuturkan, di banyak negara Undang-Undang Pertembakauan berisi tentang regulasi pembatasan konsumsi rokok. Tetapi anehnya di Indonesia Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUU-P) justru mempromosikan rokok dan memelihara pertanian tembakau. Rokok memang tak berefek langsung pada kesehatan manusia, berbeda dengan narkoba. Makanya seluruh negara-negara dunia sepakat tidak melarang rokok, namun perlu dikendalikan seperti alkohol.
Hasbullah mengungkapkan, di Indonesia rokok menjerat kaum miskin. Sebab penelitiannya menunjukkan, rokok menjadi kebutuhan pokok setelah beras bagi mayoritas warga kelas menengah bawah.
Berdasarkan data BPS, penduduk miskin di Indonesia sebanyak 9,8 persen atau setara 25 juta orang. Sedangkan anggaran dana Bansos untuk penduduk miskin tahun depan sebesar Rp 50 triliun.
“Dengan demikian rokok adalah salah satu faktor penyebab kemiskinan. Penduduk besar Indonesia menjadi beban, bukan sumber daya. Kalau sumber daya, dia (warga) akan menggerakan bukan menerima, ini yang menjadi beban negara,” ungkapnya.
Dia menduga kuat ada intervensi dari perusahaan rokok dalam penyusunan dan pembahasan RUU-P di DPR. Intervensi itu terlihat dari setiap butir pasal-pasal dalam draf rancangan undang-undang tersebut yang lebih mengedepankan kepentingan industri rokok.
“Makanya draf RUU-P itu berubah-ubah terus, berbagai versi tergantung intervensi. Yang jelas kalau RUU itu tak kunjung disahkan dan banyak kontroversi, itu artinya ada masalah,” ucapnya.
Begitu pula dengan kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok pada 2019. Diduga kuat mendapatkan intervensi dari pengusaha rokok, baik itu lokal maupun global. Mengingat 2019 adalah tahun politik, yakni Pemilihan Presiden.
“Sejujurnya kelompok pro industri rokok itu lebih kuat, karena berjabat-pejabat yang berkuasa banyak yang menggunakan kekuasaan untuk keuntungan,” kata dia.
Pansus RUU-P Diduga Berpihak ke Industri Rokok
Ditemui beberapa waktu lalu di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Ketua Pansus RUU Pertembakauan Firman Soebagyo bersikukuh kebijakan tentang pertembakauan tersebut disahkan jadi undang-undang di DPR pada periode ini. Hingga saat ini, RUU-P yang jadi inisiatif DPR masih dalam pembahasan.
Politikus senior partai Golkar itu mengklaim, RUU-P ini untuk melindungi petani tembakau dan para buruh perusahaan rokok. Sebab mayoritas industri rokok mengimpor tembakau dari negara-negara luar, seperti Cina. Maka dari itu impor tembakau harus dibatasi.
Dia kecewa terhadap kelompok pengendalian tembakau yang tidak bisa diajak kompromi mengenai RUU-P. Ia pun menolak masukan-masukan dari kelompok pengendalian tembakau yang lebih mengutamakan kesehatan publik.
“DPR kan tidak hanya mendengarkan kelompok pengendalian tembakau saja, kami dengarkan semuanya. Mengenai masalah kesehatan, biarkan diatur di UU kesehatan,” kata dia.
Mengenai masalah meningkatnya angka anak di bawah umur yang mengkonsumsi rokok menjadi tanggung jawab orang tuanya di rumah. Begitu pula dengan maraknya siswa merokok di sekolah, menjadi tanggung jawab guru. Ia tidak setuju jika masalah itu di limpahkan ke industri rokok sebagai penyebabnya.
“Nanti kalau ada orang ditabrak mobil, masa pabrik mobilnya yang dimatikan. Kalau orang kena sakit gula (diabetes), pabrik gulanya ditutup? Logika berpikir nya dibangun seperti itu dong,” ucapnya.
Menurutnya, penelitian bidang kesehatan yang menyebut rokok dapat menyebabkan kematian hanya kampanye untuk menakuti masyarakat saja. Bahkan, kata dia, Wakil Presiden Amerika Serikat saja pernah mengatakan, belum ada bukti empirik rokok bisa sebabkan kematian.
“Kalau tim kesehatan menganggap rokok penyebab kematian, silakan mensosialisasikan kepada masyarakat agar jangan merokok, karena merokok begini-begini. Silakan saja,” tuturnya.
Firman mengaku belum pernah rapat dengan kelompok industri rokok nasional maupun global seperti PT Djarum, Sampeorna, Wismilak dan lainnya. Ia berdalih RUU-P tersebut salah satunya mengatur para perusahaan raksasa rokok itu supaya membatasi impor tembakau mereka dan mengembangkan pertanian tembakau lokal. Dia menyanggah ada intervensi dari industri rokok dalam penyusunan dan pembahasan RUU tersebut.
Selain itu, ia juga meminta industri rokok lebih memberdayakan warga setempat bekerja di pabrik daripada teknologi mesin. Sehingga mengurangi tingkat pengangguran dan membuka lapangan pekerjaan lebih luas.
Firman kembali maju jadi calon legislatif dari partai Golkar dari daerah pemilihan atau Dapil III (Kudus, Jepara, Demak) yang notabene wilayah pertanian tembakau dan pabrik rokok terbesar di Indonesia. Bila terpilih kembali sebagai anggota dewan, ia tetap ingin duduk di komisi IV untuk fokus mengawal kebijakan tentang pertembakauan.
Namun dia membantah mendapat sokongan dana untuk biaya kampanye dalam Pemilu kali ini. Ia menantang tudingan itu untuk dibuktikan.
“Nah saya tantang sekarang, buktinya apa? Kalau dia punya bukti, silakan. Kalau tidak punya alat bukti, namanya fitnah,” ujarnya.
Firman memastikan, Pansus tetap melanjutkan pembahasan RUU-P tahun depan di sisa masa jabatan. Sebab, ia tak ingin industri rokok tetap berkembang di republik ini.
“Kami masih bahas terus (RUU-P), pokoknya kami tidak mau industri rokok itu mati. Karena industri rokok jadi penopang penerimaan negara dari pajak, tenaga kerja,” pungkasnya.
Dukung Keputusan Pemerintah Batal Naikkan Cukai Rokok
Senanda dengan Firman Soebagyo, anggota Pansus RUU-P Mukhamad Misbakhun mengaku Pansus tidak pernah bertemu dengan pihak industri rokok. Pansus hanya menerima audiensi dengan petani tembakau dan kelompok pengendalian tembakau.
“Kami sudah dengar semua masukan dari kelompok-kelompok itu, dan kami pertimbangkan semuanya. Misalnya mengenai tidak adanya join harga, tidak ada bibit yang memadai untuk petani tembakau, industri tembakau yang tidak dilindungi. Semuanya kami dengar dan kami pertimbangkan di draf RUU tersebut,” kata Misbakhun.
Politikus partai Golkar ini pun langsung meradang saat ditanya apakah dirinya sebagai caleg petahana mendapat bantuan dana kampanye dari salah satu industri rokok. Ia pun menuding, bahwa elemen-elemen masyarakat yang pro pengendalian tembakau sebagai antek asing.
“Siapa yang bilang?” ucapnya dengan nada meninggi.
“Kekalahan kelompok anti tembakau itu adalah mereka tidak bisa membuktikan bahwa kami menerima uang dari industri rokok. Sementara kami bisa membuktikan bahwa mereka berdiri di atas kepentingan asing. Jadi saya akan terus lawan mereka (kelompok anti tembakau),” tuturnya.
Sementara itu, Misbakhun mendukung keputusan pemerintah yang batal menaikkan cukai rokok tahun 2019. Keputusan itu diambil oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet di Istana Presiden Bogor pada Jumat 2 November lalu.
Menurutnya keputusan itu telah memperhatikan aspirasi para petani tembakau, buruh industri hasil tembakau (IHT), dan para pedagang pengecer yang selama ini mendapatkan manfaat dari IHT. Sekaligus ini adalah keberpihakan pada induatri IHT kelas kecil dan menengah yang banyak memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT).
“Saya mengapresiasi sebesar-besarnya Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Bea Cukai yang memperhatikan aspirasi stakeholders pertembakauan selama ini. Apresiasi secara khusus juga kepada Kementrian Perindustrian yang konsisten membangun road map industri hasil tembakau untuk kepentingan nasional secara komprehensif." kata Misbakhun.
Takut Warga Miskin Tak Bisa Beli Rokok
Sedangkan anggota Badan Anggaran (Banggar) Bambang Haryo Soekartono menentang keras kenaikkan cukai rokok. Menurutnya, jika cukai rokok dinaikkan, warga kelas bawah kesulitan membeli rokok karena harganya pasti akan naik. Sebab, kata dia, 70 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi rokok.
“Merokok itu tidak dapat ditinggalkan oleh rakyat Indonesia. Kalau orang berhenti merokok itu akan menyebabkan generasi muda itu akan terkena stunting. Rokok itu adalah kebutuhan pokok rakyat Indonesia, lebih baik mati, dari pada tidak merokok,” kata Bambang.
Politikus Partai Gerindra ini berpendapat, jika cukai rokok di naikkan bisa menggerus industri rokok yang dapat menyebabkan gulung tikar. Sehingga dampaknya terhadap buruh industri itu dan petani tembakau. Pada hal, kata dia, tembakau merupakan identitas bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Sebab tembakau Indonesia kualitasnya terbaik di dunia.
“Indonesia mempunyai tembakau terbaik di dunia, jadi jangan lantas digerus oleh pak Jokowi, tidak boleh itu,” ujar dia.
Bambang pun menyanggah kabar kelompok industri rokok mengintervensi DPR dalam pembahasan RUU-P. Ia mempersilahkan untuk membuka fakta-fakta dugaan intervensi industri rokok ke DPR agar RUU tersebut mengakomodir kepentingan mereka.
“Itu tidak benar. Kalau memang ada pesanan-pesanan seperti itu, ya buka saja ke publik. Begitu dibuka nanti akan ketahuan apakah ada kepentingan tertentu,” kata dia.
Menurutnya, Ketua Umum partai Gerindra sekaligus calon Presiden Prabowo Subianto pro tembakau. Jika terpilih jadi Presiden, Prabowo akan membuka akses seluas-luasnya bagi perokok di Indonesia.
“Kalau pak Prabowo jadi presiden, itu petani tembakau akan diberdayakan. Tembakau akan dibudidayakan yang tidak dimiliki negara lain. Indonesia dapat menaikan devisa rokok yang sekarang ini hanya Rp 150 triliun, menjadi berlipat-lipat. Suatu saat penggemar rokok di seluruh dunia itu akan datang ke Indonesia untuk menikmati rokok,” terang dia.