SD Mangunan Ini Tanpa Pagar, Seragam, dan Tidak Ada Pelajaran Agama

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 10 Desember 2018 | 16:15 WIB
SD Mangunan Ini Tanpa Pagar, Seragam, dan Tidak Ada Pelajaran Agama
Siswa kelas I belajar di kelas SD Kanisius Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman, belum lama ini. [Harian Jogja/Yogi Anugrah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebuah sekolah di Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengajarkan kesetaraan dan keberagaman. Tidak ada seragam sekolah, tidak ada pagar, dan tidak ada pelajaran agama.

Berikut laporan wartawan Harianjogja.com—jaringan Suara.com, Yogi Anugrah di sekolah yang inspiratif tersebut.

“Ayo oper. Tendang! Golll!”

Teriakan itu berasal dari Marcel, siswa kelas 3B yang bermain bola bersama teman-temannya di lapangan tanah yang tak terlalu besar, saat Matahari pagi mulai meninggi.

Baca Juga: Majelis Hakim Tolak Eksepsi Mantan Staf Khusus Gubernur Aceh

“Kalau olahraga pakaiannya bebas, sepatunya juga,” kata Marcel.

Saat itu dia mengenakan sepatu bola berwarna merah dan jersey Manchester United, tim dari Liga Premier Inggris yang disukai ratusan juta orang di seluruh dunia.

Sebenarnya, kata Marcel, tidak hanya saat pelajaran olahraga siswa dan siswi diperbolehkan memakai pakaian bebas. Setiap hari mereka memakai baju dan celana manasuka, asal harus tetap sopan.

“Kecuali hari Senin, harus pakai baju batik,” kata Marcel.

Marcel adalah murid Sekolah Dasar (SD) Kanisius Mangunan, sebuah sekolah di Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman.

Baca Juga: 8 Fakta yang Ditorehkan Persija di Akhir Musim Liga 1 2018

Sekolah yang berada dalam perkampungan ini tak hanya mengizinkan siswanya berpakaian bebas. Di sekolah ini juga tidak terdapat pagar seperti sekolah pada umumnya.

Ruangan kelasnya merupakan bangunan khas Jawa yang berdiri di tanah kas desa yang disewa oleh yayasan.

“Pagar hanya ada di belakang sekolah, sebab belakang sekolah adalah area rel kereta api,” kata Kepala SD Kanisius Mangunan Eko Adi Sunarso, beberapa waktu lalu.

Sekolah ini, kata Eko, awalnya berdiri di bawah naungan Yayasan Kanisius sejak 1964. Namun, sekolah ini terancam tutup sebab jumlah murid terus menurun dari tahun ke tahun.

Melihat situasi seperti itu, Romo Mangun—Yusuf Bilyarta Mangunwijaya—dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik berkeinginan untuk mengambil alih sekolah ini.

Pada 1994, akhirnya sekolah ini diambil alih oleh Yayasan Dinamika Edukasi Dasar milik Romo Mangun dan bermitra bersama Yayasan Kanisius dan Grasindo milik Gramedia.

“Saat itu, sekolah dikhususkan untuk anak-anak sekitar Mangunan yang tidak mampu untuk bersekolah,” ucap Eko.

Menurut dia, Romo Mangun memiliki pandangan bahwa masyarakat adalah sekolah. Ilmu tidak hanya didapat dari sekolah.

Siswa juga bisa menimba pengetahuan yang tidak diajarkan di sekolah dari lingkungan masyarakat. Tanpa pagar-pagar pembatas, akan timbul sikap saling memiliki antara masyarakat dan sekolah.

“Pakaian sekolah yang dibebaskan adalah suatu bentuk penghargaan kami terhadap anak yang memiliki karakter berbeda-beda, jadi murid tidak harus memakai seragam, yang penting rapi dan sopan,” kata Eko.

Sepeninggal Romo Mangun yang wafat pada 1999, sekolah terguncang karena jumlah murid terus berkurang daerah tersebut terus berkembang.

Saat itu, pengelola sekolah harus mendatangi tiap-tiap rumah warga untuk mencari murid. Akhirnya pada 2003, yayasan memutuskan membuka sekolah untuk umum.

“Jadi sekolah dibuka untuk publik, tetapi prioritas yang diterima tetap warga Mangunan dan yang tidak mampu.”

Sekolah akhirnya berkembang dan animo masyarakat luas semakin besar. Saat ini SD kanisius memiliki 253 siswa dengan jumlah 11 guru kelas dan lima guru bidang studi.

“Sampai sekarang, sekolah masih menerapkan konsep pendidikan yang digagas oleh Romo Mangun,” ucap Eko.

Sekolah ini menggunakan sistem subsidi silang. Keluarga yang mampu akan ditawari untuk membantu siswa dari keluarga yang tidak mampu.

“Kami masih memegang teguh tujuan awal sekolah ini didirikan, sekecil apa pun yang uang dibayarkan murid, dia akan kami terima.”

Dengan sistem pendidikan, ruang kelas, dan lingkunamgan sekolah yang bebas dan nyaman, tak jarang siswa yang awalnya malas bersekolah, malah menjadi malas pulang.

“Ada orang tua yang mengeluh karena anaknya susah untuk diajak pulang dari sekolah,” tutur Eko.

Konsep Pendidikan

Secara umum, konsep pendidikan di sekolah ini sama dengan sekolah lainnya. Yang membedakan hanya ada lima tambahan pelajaran: Kotak Pertanyaan, Musik Pendidikan, Matematika Pluspunt, Membaca Buku Bagus, dan Komunikasi Iman.

Komunikasi Iman adalah satu konsep pendidikan yang digagas Romo Mangun. Jadi, SD Kanisius Mangunan tidak mengajarkan pelajaran agama secara spesifik. Sebab, Romo Mangun memiliki pandangan bahwa sekolah itu adalah tempat publik, sedangkan agama adalah ranah privat, relasi pribadi antara seorang manusia dan Tuhan.

Komunikasi Iman fokus kepada penggalian nilai-nilai kepercayaan yang ada di setiap agama: seperti cinta kasih, saling menyayangi, menghargai, cinta lingkungan, menghormati, dan sebagainya.

Pada pelajaran Komunikasi Iman, siswa akan diajak berdialog, bercerita tentang sebuah peristiwa yang mereka.

Dari dialog itu, siswa diajak berefleksi dan membangun niat. Apa yang akan mereka lakukan manakala mengalami peristiwa itu.

“Sebagai contoh, siswa kelas VI diajak keliling di masyarakat, dan menemukan ada orang kurang mampu yang sedang sakit,” ujar Eko.

Kemudian para siswa akan mendiskusikan apa yang harus diperbuat. Mereka pun menyusun rencana untuk mengumpulkan dana, misalnya dengan berjualan.

Siswa-siswa kemudian membantu orang sakit itu dengan uang hasil berjualan. Guru terus mendampingi selama proses pembelajaran.

“Nilai-nilai seperti itu tentu diajarkan di setiap agama, dan lebih konkret untuk siswa.”

Dalam Komunikasi Iman, dikenal istilah 5A: Aku, Anda, Alam, Alat, Allah/Tuhan. Siswa diajarkan untuk mengenal diri sendiri, kemudian mengenal orang lain, mencintai dan merawat alam, menggunakan perkakas modern, dan mencintai Tuhan.

Dengan konsep seperti ini, sekolah sangat mudah mengajarkan nilai-nilai  toleransi dalam keseharian dengan cara saling mengenal satu sama lain.

Ketika umat Islam akan merayakan Idul Fitri, siswa diajak untuk melakukan bakti sosial. Mereka mengumpulkan barang-barang kebutuhan pokok untuk dibagikan ke masyarakat sekitar. Secara tidak langsung, murid SD ini akan paham makna Idul Fitri dan saling memberi selamat kepada teman kelas yang beragama Islam.

“Begitu juga dalam perayaan Natal,” ucap Eko.

Di sekolah yang mayoritas siswanya beragama Katolik, tidak ada larangan untuk siswi yang ingin memakai jilbab saat sekolah.

“Kami punya siswi yang memakai jilbab di kelas, dari situ akan muncul pertanyaan teman-teman sekelasnya yang berbeda agama, sehingga akan muncul sikap toleransi dengan sendirinya,” ucap Eko.

Berita ini kali pertama diterbitkan Harianjogja.com dengan judul “FEATURE: Sekolah Tanpa Pagar, Seragam, & Pelajaran Agama

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI