Obituari, Sastrawan Eksil Kuslan Budiman Sendiri Menolak Sunyi

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 07 Desember 2018 | 17:17 WIB
Obituari, Sastrawan Eksil Kuslan Budiman Sendiri Menolak Sunyi
Kuslan Budiman (1935--2018). [Antara News/Marchia Kalyanitta]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kuslan Budiman, sastrawan eksil Indonesia yang pernah bermukim di Cina, Rusia dan Belanda, wafat dalam usia 83 tahun pada Kamis (6/12/2018) malam, di rumah sakit hospice Kota Naarden, Belanda, setelah sakit kanker pankreas dan usus 12 jari stadium empat.

Sang sastrawan lahir di lereng Gunung Sengunglung, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada 1935. Dalam karir kebudayaannya, ia menulis buku Si Didi Anak Petani (Djakarta: Jajasan Kebudajaan Sadar, 1964); kumpulan puisi Tanah Kelahiran (Kreasi Nomor 20) pada 1994; buku Bendera Itu Masih Berkibar (Jakarta: Suara Bebas, 2005), dan beberapa buku terjemahan sastra China Dinasti Song untuk kalangan terbatas.

Ia termasuk pemuda Indonesia yang mendapat beasiswa tugas belajar ke luar negeri zaman pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) pertama Soekarno.

Namun, Kuslan dan banyak lainnya tidak dapat pulang saat Soeharto berkuasa pada era Orde Baru. Mereka menyebut diri kalangan dalam pengasingan (exile) atau eksil.

Sementara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebut mereka sebagai kaum kelayapan.

Dalam dunia seni, Kuslan Budiman sejak 1955 sudah aktif menulis karya sastra, dan dikenal sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (IMASRI) Jogjakarta pada 1962. Kala itu, Ketua Senat ASRI dijabat Dalna Budiman. Ia sempat menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) di Madiun pada 1954.

Selama menjadi mahasiswa ASRI Jogjakarta, Kuslan dalam dokumen KTP-nya tercatat tinggal Gampingan Nomor 9, RT38/RK Gampingan, Kemantren Wirobradjan.

Kuslan saat itu juga menjadi wartawan Majalah Gelora di Surabaya, Jawa Timur, dengan Pemimpin Redaksi Farid Dimjati.

Dunia satra Indonesia mencatat nama Kuslan Budiman pernah menjabat pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Yogyakarta.

"Saya diajak pelukis Affandi untuk bergabung masuk LEKRA. Saat itu arah kebudayaan yang digelorakan Bung Karno untuk kerakyatan. Belakangan hari saya mendapat tugas belajar ke luar negeri, dan LEKRA disebut organ Partai Komunis Indonesia. LEKRA itu sebenarnya aliran Soekarnois," ujar Kuslan Budiman dalam percakapan dengan Antara di kediamannya, Rembrant Laant 77, 3443 EC Woerden, Belanda, pada Minggu, 7 Juni 2015.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI