Kesaksian Korban Konflik TNI - OPM di Nduga, Pura-pura Mati agar Selamat

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 07 Desember 2018 | 13:57 WIB
Kesaksian Korban Konflik TNI - OPM di Nduga, Pura-pura Mati agar Selamat
Satu korban selamat yang dari Distrik Mbua saat diwawancarai di Batalyon 756/WMS. [Jubi/Islami]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dua orang pekerja pembangunan SMP dan Puskesmas di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga yang selamat saat konflik bersenjata TNI – Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat OPM di Pos TNI Mbua, memberikan kesaksiannya.

Kedua saksi bernama Saleh dan Makbul. Saleh adalah pekerja pembangunan Puskesmas di Mbua. Sedangkan Makbul adalah buruh pembangunan gedung SMP Mbua.

Saleh mengakui, saat terjadi penyerangan pos TNI di Mbua, Senin (3/12) pagi—setelah terjadi penembakan sejumlah pekerja di Distrik Yall—ia bersama sejumlah anggota dan pekerja lainnya mengosongkan pos sekitar pukul 23.00 waktu Papua.

“Setelah kami kosongkan pos karena diserang itu, kami lari ke hutan sambil membawa jenazah anggota TNI yang tewas tertembak untuk menyembunyikan jenazah,” kata Saleh seperti diberitakan Tabloid Jubi di Batalyon 756/WMS, Rabu (5/12/2018).

Baca Juga: PSI: Prabowo - Sandiaga Itu Lebih Banyak Tampil dengan Jargon

Saleh menjelaskan, ada pula anggota TNI yang ikut melarikan diri bersama dirinya dan rombongan buruh. Mereka pula yang saling bergantian mengangkat mayat anggota TNI menuju tempat aman ke arah Wamena.

“Kami menyelamatkan diri dari jam lima pagi hingga jam 7 malam, sampai bisa ditemui tim aparat gabungan yang sudah tiba di Mbua. Yang menyerang kami ini ada mungkin puluhan orang,” ujar Saleh.

Sementara Makbul mengungkapkan, pos TNI Mbua diserang mulai pukul 05.00 WP dan terjadi kontak senjata hingga malam hari pukul 19.00 WP.

“Pada saat penyerangan pos TNI itu, kebetulan ada empat orang yang berhasil lolos saat penembakan di distrik Yall dan kabur ke pos TNI sehingga kami diserang,” kata Makbul.

Saat penyerangan pos, kata dia, ada sejumlah pekerja yang terkena tembakan, lemparan batu. Ada pula yang pura-pura meninggal dan semuanya berhasil lolos.

Baca Juga: Komentarnya Tuai Kontroversi, Redding Dibully Fans Rossi

“Kami bergantian pikul jenazah sambil melarikan diri, kalau kita tidak lari semua pasti jadi korban,” kata Makbul.

Cuma Buru TNI

Nathal, mantan karyawan PT Istaka Karya, memunyai keterangan berbeda. Meski kesaksiannya ini terjadi di 2017, namun pengalamannya selama bekerja sebagai seorang operator alat berat di proyek jalan dan jembatan Habema-Mugi ia sempat mengalami hal-hal yang dianggap rawan juga.

I menuturkan bekerja di proyek tersebut pada tahun 2017. Kala itu, dia sempat meminta agar pekerja proyek Trans Papua dibuatkan surat perjanjian kerja (SPK) dari perusahaan sebagai pegangan atau jaminan bagi keluarganya.

“Permintaan saya itu sempat ditunda sampai saya akhirnya naik ke lokasi proyek,” kata Nathal.

Ia menceritakan, awal pengerjaan proyek, seluruh pekerja sipil selalu dikawal pihak keamanan  minimal enam orang dan setiap minggu bergantian, bahkan mereka tinggal satu kamp dengan aparat.

“Satu kamp dengan aparat saja kami masih sering diganggu, seperti pelemparan atau pengejaran. Setelah itu, Pak Jhoni Arung (pemimpin proyek) berpandangan jika kita terus dikawal aparat, kita akan diganggu terus karena aparat yang akan dikejar terus, bukan kita pekerja,” ujar dia.

Setelah itu, saat ada pergantian aparat keamanan, Jhoni menyampaikan ke pemimpin perusahaan maupun keamanan untuk tidak lagi menggunakan aparat, tetapi memberdayakan masyarakat lokal untuk turut mengawal pekerjaan.

“Kami pakai masyarakat di sana, sedikit aman karena bisa beradaptasi tetapi itu tidak bisa menjamin juga karena mereka kadang baik dan kadang keras,” ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI