Suara.com - Pejabat pembuat komitmen di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian 2012-2013 Eko Mardiyanto divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi pengadaan fasilitasi sarana budi daya mendukung pengendalian organisme penggangu tanaman tahun anggaran 2013.
Putusan itu masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut agar Eko divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan. Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Eko Mardiyanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Emilia Subagdja di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (3/12/2018).
Majelis yang terdiri dari Emilia Djajasubagja, Franky Tambuwun, Sukartono, Anwar dan Ansyori Saifuddin tersebut juga menetapkan Eko harus membayar uang pengganti sebesar Rp 1,05 miliar.
Baca Juga: Ikut Korupsi Proyek Kementan, Dirut HNW Sutrisno Divonis 7 Tahun Penjara
"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sejumlah Rp1,05 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 4 bulan," tambah hakim Emilia.
Perbuatan Eko bersama-sama dengan selaku pejabat pembuat komitmen di Direktorat Jenderal Hortiultura Kementan TA 2012-2013 bersama-sama dengan Direktur Utama PT Hidayah Nur Wahana (HNW) Sutrisno, dirut PT Karya Muda Jaya Ahmad Yani, Nasser Ibrahim dan Dirjen Holtikultura Hasanuddin Ibrahim itu merugikan keuangan negara senilai Rp12,947 miliar.
Mereka merekayasa kegiatan pengadaan fasilitasi sarana budidaya mendukung pengendalian organisme penggangu tanaman (OPT) dalam rangka belanja barang fisik lainnya untuk diserahkan kepada masyarakat/pemda di Ditjen Holtikultura Kementasn Tahun Anggaran 2013.
Rekayasa dilakukan dengan cara mengarahkan ke spesfikasi pupuk merek Rhizagold, melakukan penggelembungan harga barang pengadaan dan melakukan pengaturan peserta lelang untuk memenangkan perusahaan tertentu yaitu PT Karya Muda Jaya.
Perbuatan itu memperkaya Eko Mardiyanto senilai Rp 1,005 miliar, Dirut PT HNW Sutrisno senilai Rp 7,303 miliar, dirut PT Karya Muda Jaya Ahmad Yani melalui CV Ridho Putra sejumlah Rp 1,7 miliar, Nasser Ibrahim sejumlah Rp 200 juta, Dirut PT Karya Muda Jaya (KMJ) Subhan senilai Rp 195 juta, PT HNW sejumlah Rp 2 miliar dan CV Danaman Surya Lestari sejumlah Rp 500 juta. Sutrisno adalah suplier pupuk michorhiza merek Rhizagold di Indonesia.
Baca Juga: PSI: Soeharto Simbol Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Dirjen Holtikultura saat itu Hasanudin Ibrahim mengarahkan Siswanto Mulyaman sebagai koordinator tim perencanaan agar pengadaan fasilitasi budi daya mendukung pengendaliaan organisme pengganggu tanaman dimasukkan dalam anggaran TA 2013. Hasanuddin juga menaikkan nilai pengadaan pupuk michorhiza/cendawan penyubur menjadi senilai Rp 18,615 miliar.
Sutrisno lalu menawarkan pupuk Michorhiza merek Rhizagold kepada Direktur Perlindungan Holtikultura Soesilo. Lelang barang kemudian dimenangkan PT KMJ yang berada di bawah kendali Sutrisno dengan anggaran senilai Rp 18,309 miliar.
Sutrisno memberikan uang Rp 300 juta kemada Eko Mardiyanto untuk membayar denda keterlambatan atas temuan Irjen Kementan sebesar Rp 98 juta sedangkan sisanya diserahkan ke Irjen Kementan Rp 100 juta dan Rp 102 juta digunakan untuk keperluan pribadi Eko Mardiyanto.
Uang juga mengalir ke Nasser Ibhrahim pada 25 Juni 2013 yang merupakan adik dari Dirjen Holtikultura Hasanuddin Ibrahim sebesar Rp 200 juta sehingga biaya yang digunakan Sutrisno untuk menyelesaikan pekerjaan pembelian pupuk ke Biotrack dan distribusi ke petani penerima bantuan hanyalah sebesar Rp 3,477 miliar dari total anggaran Rp 18,309 miliar. Terhadap putusan tersebut, Eko menyatakan pikir-pikir. (Antara)