Geliat Waria Bertahan Hidup di Batam, Sulit Dapat Kerja Terpaksa Jadi PSK

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 01 Desember 2018 | 16:00 WIB
Geliat Waria Bertahan Hidup di Batam, Sulit Dapat Kerja Terpaksa Jadi PSK
Ilustrasi waria
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menjadi transpuan atau biasa disebut waria bukan hal yang mudah. Sering dianggap melanggar kodrat dan ditolak lingkungan. Namun, para transpuan di Batam, Kepulauan terus berjuang untuk bertahan hidup.

Jelang tengah malam di pinggir jalan Terminal Jodoh, Batam 19 Oktober 2018 lalu, Lila duduk sendiri di kursi papan. Mengenakan kaos hitam ketat dengan potongan dada rendah dan celana pendek, ia menunggu pelanggannya. Lila, transpuan ini terpaksa mangkal keluar indekos karena pelanggan setianya tak juga menghubunginya.

Lila sudah tiga tahun menjalani pekerjaan ini. Sebelumnya ia bekerja sebagai pegawai salon. Namun ia terpaksa berhenti karena tidak lagi sanggup bekerja setiap hari tanpa libur.

Ia berasal dari Pematangsiantar, Sumatera Utara. Lila memutuskan merantau karena merasa kampung halamannya itu tidak menerima kondisinya yang sudah berubah. Bahkan, ayahnya sendiri juga tidak terlalu menyukainya. 

Baca Juga: Duh, Alexa Bisa Prediksi Kapan Pasangan Putus Lho!

Lila memutuskan berhenti sekolah ketika duduk di bangku SMP, karena lingkungan yang tidak bersahabat. Tatapan benci dan cemoohan kerap kali diterima Lila. Waktu itu, ia memang sudah mengubah penampilannya walaupun belum memanjangkan rambut.

“Sudah centil kak, makanya diejek terus oleh teman-teman, guru juga,” kata Lila.

Putus sekolah, Lila kemudian belajar di salon sambil juga bekerja di salon tersebut. Setelah kemampuannya dirasa cukup, Lila memutuskan untuk merantau ke Batam.

Ia merantau, dengan tujuan untuk menghindari tatapan aneh dari lingkungan sekitarnya dan tidak ingin membuat malu keluarganya.

Rambut panjang berwarna pirang dibiarkannya tergerai. Tak lupa ia juga memoles wajahnya dengan riasan. Karena penampilannya itu, Lila mengaku sulit mendapatkan pekerjaan.

Baca Juga: Bantah Stop Produksi Xenia, Daihatsu: Jumlahnya Terus Turun

Pernah ia melamar bekerja di rumah makan sebagai pelayan. Namun ditolak, alasannya karena ia berpenampilan seperti perempuan.

“Karena penampilannya sudah begini,” kata transpuan yang sudah berumur 23 tahun tersebut.

Sementara ini, pilihan terakhirnya adalah dunia prostitusi ini. Di sini, ia menemukan ‘kebebasan’. Ia merasa bebas dandan sesuai keinginan hatinya, tidak ada yang mencemooh, tidak ada juga yang memarahinya dan tidak ada yang melarang.

Dari pekerjaannya itu, Lila mendapatkan penghidupan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sekali kencan, Lila mematok harga Rp 50 ribu.

Tak setiap hari ia mendapatkan pelanggan. Ia mengatakan kondisi ekonomi saat ini membuat penghasilannya jauh berkurang, terkadang satu malam ia tidak mendapat pelanggan.

“Kalau beruntung, satu malam itu bisa tiga kali kencan tapi itu jarang sekali,” ucapnya.

Lila masih menyimpan mimpi. Ia ingin sekali berhenti dari pekerjaan tersebut. Ia bercita-cita untuk membuka salon sendiri.

Tetapi ia merasa mimpinya itu ketinggian, karena pendapatannya dari melayani tamu  tak menentu dan hanya cukup untuk bertahan hidup.

Sama seperti Lila, transpuan lain yang mengaku bernama Putri, juga terlihat nongkrong . Ia mengatakan  terpaksa bekerja seperti ini. Setiap malam keluar kos untuk “mangkal” di tempat-tempat gelap.

Malam itu, Putri mengenakan gaun merah ketat dipadukan stoking cokelat, tak lupa ia melengkapi penampilannya dengan wig berwana hitam.

Beberapa waktu lalu, ia terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja dan rambutnya dibabat habis. Karena itulah ia menutup kepalanya dengan wig.

Sebelum terjun di dunia prostitusi, ia pernah bekerja membantu menjaga minimarket.  Pihak minimarket tersebut memperbolehkan Putri bekerja di sana, tetapi mereka memberikan syarat kepada agar tidak berpenampilan layaknya perempuan.

Putri menyanggupinya dan bekerja hampir setahun, tetapi kemudian ia dipecat karena banyak yang merasa risih terhadap keberadaannya. Ia mengakui gerak tubuh dan cara bicaranya tidak bisa sepenuhnya seperti laki-laki.

“Akhirnya saya dipecat,” ujar Putri, 26 tahun.

Ia bercerita saat kali pertama terjun di dunia prostitusi, melayani kencan saat ia masih berumur 21 tahun. Saat itu ia  mematok harga Rp 100 ribu sekali kencan, tetapi sekarang  tarifnya turun, hanya Rp 50 ribu untuk sekali kencan.

Lima tahun lalu, pesaingnya belum banyak seperti sekarang, sehingga ia memutuskan untuk mengurangi tarif kencannya. Kondisi yang tak menentukan ini, membuat Putri pesimistis.

Ia berharap bisa lolos dari pekerjaan tersebut. Setahun terakhir ini, ia sedang menabung untuk modal membuka usaha kecil-kecilan. Ia bermimpi dapat membuka kedai sendiri.

Selain Lila dan Putri, masih ada banyak waria lain yang sebagian besar memilih pekerjaan tersebut. Putri yang juga sebagai anggota komunitas waria Batam.

Setahu dia, tak kurang ada 185 anggota dalam komunitas ini. Sebagian anggota memilih  bekerja di salon ataupun bekerja di klub malam. Tetapi saat ini, anggotanya jarang kumpul, sehingga sulit untuk mengetahui jumlah angota komunitas mereka.

“Ketua kami juga sudah hilang kontak,” ujarnya.

Sulitnya para waria mendapatkan pekerjaan diakui oleh Pemerintah Kota Batam. Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Batam, Rudi Sakyakirti mengatakan peluang kerja bagi transpuan di sektor formal, tertutup untuk mereka. Menurutnya negara hanya mengakui dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. 

“Hal ini yang membuat perusahaan-perusaahan juga tidak menerima mereka,” ujar Rudi beberapa waktu lalu.

Peluang itu hanya terbuka pada sektor informal, seperti salon. Tetapi pemerintah juga tak bisa menjangkau mereka yang berusaha hidup pada sektor informal.

“Kalau sektor informal tidak bisa saya pantau,” ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Hasyima mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu  para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sudah cukup optimal. Pemerintah akan memberikan pelatihan bagi mereka termasuk para transpuan seperti Lila dan Putri.

“Mereka (transpuan) mau apa? Mau memasak? Mau salon, kami bisa berikan pelatihan, beberapa kali sudah jalan,” ujar Hasyima.

Namun, banyak kendala yang ditemui di lapangan, pihaknya sulit menemukan keberadaan para transpuan tersebut. Kalaupun ada, pasti itu setelah dilakukan razia. Kendala lainnya yang ditemui Dinas Sosial yaitu para transpuan tersebut sering berpindah-pindah tempat, sehingga sulit untuk memantau keberadaan mereka.

Hal tersebut yang membuat pelatihan yang mereka buat sangat sepi peminatnya. Sejak tahun 2016 sampai dengan 2018, pelatihan yang dibuat hanya sekali saja. “Itupun hanya tahun 2017, tahun ini tidak ada,” kata  Hasyima.

Pelatihan tersebut berupa keterampilan khusus salon bagi transpuan. Waktu itu hanya tiga orang transpuan yang mengikuti pelatihan tersebut.

Mereka digabung dengan pekerja seks komersial (PSK). Dinas memberikan pengumuman pelatihan sudah diberitahukan melalui kecamatan dan kelurahan. “Memang dasar peminatnya saja yang sedikit,” ujarnya.

Sebelum mendapat pelatihan ketrampilan, pemerintah berusaha mengubah penampilan para transpuan. Mereka yang terjaring razia, rambutnya akan dipotong bahkan dipotong habis hingga botak.

Sebuah upaya yang menurut pemerintah bisa mengembalikan mereka menjadi laki-laki sepenuhnya. “Kita mau mereka berubah, itu alasannya,” tegasnya.

Pelatihan yang mereka berikan juga tidak hanya salon tapi juga pelatihan lain yang didasarkan pada permintaan  dari para peserta itu sendiri. Sejauh ini, kebanyakan dari merkea menginginkan adanya pelatihan salon.

Alasannya, ketrampilan bersalon ini karena para peserta tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Mereka umumnya hanya drop out dari sekolah.

“Kalau mereka mau masak, kami latih kok, asal orangnya memenuhi syarat, setidaknya ada 20 orang, karena anggaran juga minim,” imbuh Hasyima.

Dia menceritakan hasil dari pelatihan tersebut, salah satu peserta telah membuka salon sendiri. Salon tersebut terletak di kawasan Batuaji. 

Hasyima mengakui, perkembangan salon hasil pelatihan tidak terlalu dipantau. Menurutnya sejauh ini tidak ada laporan terkait transpuan tersebut terkena razia lagi.

Selama ini, dari hasil pantauannya belum ada transpuan yang kembali ke dunia prostitusi jika telah membuka usaha. Kemungkinan besar itu terjadi karena usaha mereka berhasil, jika mereka juga tidak menimbulkan masalah.

“Masyarakat Batam juga sudah membuka diri kepada mereka,” jelasnya.

Sekretaris Komisi IV DPRD Batam Udin P Sihaloho menambahkan bahwa pelatihan-pelatihan kepada transpuan sudah ada. Ia menampik jika pemerintah bersikap diskriminatif terhadap para pekerja seksual transpuan. Menurutnya dari pihak mereka sendiri yang beranggapan demikian.

“Nyatanya pemerintah masih berikan perhatian kepada mereka, sedangkan untuk kaum difabel saja juga kami adakan pelatihan” ujar Udin.

Apalagi menurutnya secara fisik para transpuan tersebut masih sempurna. Sehingga peluang bekerja masih besar, walaupun diakuinya pekerjaan untuk sekfor formal tidak ada. Tetapi pekerjaan sektor informal masih terbuka lebar, tinggal mereka berupaya serius untuk melatih diri.

“Misalnya mereka mau menjahit, kita berikan pelatihan nantinya,” katanya.

Namun, kalau nantinya para transpuan tersebut ingin mendapat pelatihan yang lain tidak hanya salon, menurutnya bisa diajukan.Termasuk juga bagi yang ingin membuka usaha sendiri.

Program kredit usaha rakyat bagi usaha kecil menengah (UKM) terbuka lebar bagi masyarakat, termasuk juga bagi para transpuan. Ada dana bergulir yang bisa dimanfaatkan jika ingin mengembangkan usaha.

“Tahun 2018 saja, kalau tidak salah ada Rp 6,5 miliar untuk dana bergulir,” katanya.

Memang dana ini disiapkan pemerintah bagi para pelaku UKM yang telah mempunya usaha setidaknya dua tahun berjalan. Sedangkan Putri dan Lila belum punya kesempatan membuka usaha baru karena terkendala modal.

Menurut Udin, kesempatan kerja bisa dibuat sendiri oleh para transpuan. Asalkan dapat memaksimalkan berbagai pelatihan yang diberikan, supaya terbebas dari pekerjaan lamanya.

Namun begitu, keberhasilan para waria memang diakuinya tergantung dari penerimaan masyarakat. Tidak semua dapat menerima penampilan transpuan yang sebagian besar berubah.

“Dilema juga, kita juga tidak bisa memaksa masyarakat untuk bisa menerima mereka 100 persen,” ujar Udin.

Namun begitu, menurutnya masyarakat bisa menerima jika para transpuan tersebut membuka dirinya sendiri. Anggapan bahwa mereka dikucilkan sebaiknya dibuang jauh-jauh.

Selama ini belum ada laporan dari masyarakat yang diterima oleh DPRD, terkait kejadian yang diakibatkan transpuan yang sudah membuka usaha sendiri. “Selama mereka tidak melakukan yang aneh-aneh, mereka akan diterima dengan sendirinya,” ucapnya.

Berita ini kali pertama diterbitkan Batamnews.co.id dengan judul ”Sulitnya Transpuan di Batam Memperoleh Pekerjaan”. Liputan ini bagian dari fellowship “Keberagaman Gender dalam Perspektif HAM” (2018) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ardhanary Institute.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI