Suara.com - Anggota DPR RI non-aktif dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi menerima vonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima suap 911.480 dolar AS karena pengurusan anggaran di Badan Keamanan (Bakamla).
"Pak Fayakhun terima putusan, tidak banding," kata pengacara Fayakhun, Ahmad Hardi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Fayakhun pada 21 November 2018 oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung Fayakhun selesai menjalani pidana pokok.
Vonis itu masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Fayakhun divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan.
Baca Juga: Sebelum Jatuh, Lion Air 6 Kali Alami Masalah
"Di persidangan dia sudah menyampaikan mengakui dan menyesali perbuatannya dan kooperatif dalam menjalani proses hukum dari awal smpai sekarang," tambah Hardi seperti dilansir Antara.
Sedangkan sikap KPK belum diketahui karena surat resmi belum ditandatangani oleh pimpinan KPK apakah menerima atau mengajukan banding atas putusan tersebut.
Majelis hakim yang terdiri dari Franky Tumbuwun, Emilia Djajasubagja, Iim Nurohim, Ansyori Saifuddin dan M. Idris M. Amin menjatuhkan vonis berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam perkara ini Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR periode 2014-2019 menerima seluruhnya sebesar 911.480 dolar AS yang telah dijanjikan sebelumnya dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah agar mengupayakan alokasi (plotting) penambahan anggaran Bakamla untuk proyek pengadan satelit moniotring dan "drone" APBN Perubahan 2016.
Pemberian uang itu diawali dengan pertemuan antara Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, staf operasional PT Merial Esa M Adami Okta dan staf khusus Bakamla Ali Fahmi Al Habsy di kantor PT Merial Esa. Ali Fahmi menawarkan proyek di Bakamla kepada PT Merial Esa dan ditanggapi bahwa perusahaan itu adalah agen pabrikan Rohde and Schwarz Indonesia untuk alat komuniasi khusus.
Baca Juga: Mulut Penyu Mati Penuh Sampah, DLH Uji Sampel Air Pulau Pari
Ali Fahmi pun meminta "commitment fee" sebesar 15 persen dari nilai pagu proyek.
Sekitar April 2016, Fayakhun bertemu dengan Ali Fahmi di Bakamla dan meminta agar Fayakhun mengupayakan usulan penambahan alokasi anggaran dalam APBNP 2016 dengan imbalan "fee" sebesar 6 persen dari nilai anggaran.
Selain Ali Fahmi, Direktur PT Rohde and and Schawrz Indonesia Erwin Arief juga meminta pengupayaan yang sama pada April 2016 yang nantinya akan dikerjakan oleh Fahmi Darmawansyah serta dijanjikan tambahan "fee" dari Fahmi untuk Fayakhun.
Pada 29 April 2016 Fayakhun memberitahu Fahmi ada respon positif terhadap tambahan anggaran yang diajukan Bakamla senilai total Rp 3 triliun, termasuk proyek satelit monitoring (satmon) dan "drone" senilai Rp 850 miliar yang dapat dikerjakan Fahmi.
Nilai tambahan "fee" yang diminta ada 1 persen sehingga total "fee" yang harus diberikan adalah 7 persen dan khusus "fee" dan harus diberikan lebih dulu sebesar 1 persen dari total Rp 1,22 triliun yaitu sebesar 927.756 dolar AS dengan kurs saat itu Rp 13.150 per dolar AS.
Pengiriman dilakukan secara bertahap yaitu sebesar 300 ribu dolar AS yang pengirimannya dipecah menjadi dua yaitu pertama 200 ribu dolar AS melalui Hangzhou Hangzhong Plastic Co.Ltd dan 100 ribu dolar AS melalui Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co.Ltd pada 9 Mei 2016.
Selanjutnya Fayakhun juga menerima "fee" dari Fahmi melalui rekening Omega Capital Aviation Limited di Bank UBS Singapura sebesar 110 dolar AS dan Abu Djaja Bunjamin di Bank OCBC Singapura sebesar 490 ribu dolar AS pada 23 Mei 2016 yang dikirim dari rekening Bank BNI atas nama Fahmi Darmawansyah.