Suara.com - Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bernama Yovita Winujeng ternyata banyak tidak tahu terkait sengketa transaksi pembelian tanah antara Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dengan Teja Wijaja.
Hal itu terlihat saat majelis hakim menanyakan pertanyaan seputar pembelian tanah tersebut yang digelar di PN Jakarta Utara, Rabu (28/11/2018).
Kepada saksi, majelis hakim menanyakan seputar sejarah tanah tersebut. Hanya saja, saksi Yovita mengaku tidak tahu.
"Alur ceritanya tidak tahu ya, yang tahu ada permasalahan tanah milik yayasan yang semntara ini jadi sengketa antara bapak Teja dan yayasan," ujar Yopita menjawab pertanyaan hakim.
Baca Juga: Sidang Sengketa Tanah Untag, Jaksa Hadirkan 2 Bendahara Yayasan
"Tanah itu awalnya milik yayasan. Apa yang terjadi?," ujar hakim melanjutkan pertanyaannya.
Lagi-lagi, saksi pun mengaku tidak tahu. "Saya kurang tahu," jawab Yovita.
Selanjutnya, majelis hakim kemudian menanyakan lokasi tanah yang disengketakan. Apakah tanah berupa kampus atau di luar kampus. Yovita pun menjawab tanah yang ada di samping kampus.
"Bukan di kampus?," cecar hakim.
"Mungkin bagian dari itu. Itu di dalam lingkaran kampus. Saya tidak tahu luasnya juga, saya tidak tahu," jawab saksi.
Baca Juga: Ketakutan Jokowi Soal Fenomena Trump, Sandiaga: Kita Beda Sama AS
Lalu kembali hakim bertanya soal transaksi dan apa kejadiannya dalam sengketa tanah itu. Saksi Yovita juga lagi-lagi menjawab kurang tahu.
"Loh jadi yang kamu terangkan di sini apa?," tanya hakim.
"Yang saya terangkan bahwa ada bank garansi untuk jaminan penjualan tanah. Yang menjual tanah yayasan kepada pak Teja," ujar Yovita.
"Berapa harga yang dijual?," tanya hakim lagi.
"Tidak tahu," jawab Yovita.
Awal Mula Kasus
Sebelumnya, Direktur PT Graha Mahardika yang juga pemilik sekolah Lentera Kasih, Teja Wijaja menjadi terdakwa kasus dugaan penipuan pembelian tanah di Jalan Sunter Permai Raya, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priuk, Jakarta Utara.
Ia merasa di jebak oleh sang penjual tanah yakni Rudyono Dharsono selaku ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 atau Untag.
Kasus ini berawal ketika Teja ingin membeli tanah milik Rudyono pada tahun 2009. Tanah seluas 3,2 hektare rencana dibeli dengan harga Rp 65.600.000.000. Kedua belah pihak pun menandatangani perjanjian kerjasama jual beli untuk memuluskan transaksi tersebut.
Dalam perjanjiannya, Teja diharuskan membayar biaya pembelian tanah dalam beberapa tahap. Salah satunya pembayaran Rp 15 miliar kepada pihak Rudyono. Namun dari seluruh tahapan pembayaran yang dilakukan Teja, Rudyono merasa pihaknya belum menerima pembayaran Rp 15 miliar tersebut. Ia menilai tidak mungkin akta jual beli disahkan notaris jika pembayaran belum dilunasi.
"Keterangan saksi Rudyono yang menyatakan seolah-olah pihak PT GM belum melunasi pembayaran Rp 15.000.000.000 adalah tidak benar dan fitnah,"kata Teja dalam Nota keberatan yang tertulis pada Minggu (25/11/2018).
Tidak hanya itu, Teja merasa difitnah karena dituduh menjanjikan Jaminan dari bank dengan membayar Rp 16 juta kepada pihak Rudyono. Ia menilai menjanjikan keterangan jaminan dari bank tidak ada dalam perjanjian jual beli antara kedua pihak.
Menurut Teja, jika ingin mengajukan keterangan jaminan ke bank pihaknya harus membayar 2 persen dari nilai transaksi kepada pihak bank, bukan pihak penjual. Nilainya pun bukan Rp 16 juta, melainkan Rp 1.300.000.000 yang merupakan dua persen dari nilai transkasi Rp 65.600.000.000.
"Kami menolak dengan tegas bukti tamda terima sebesar Rp 16.000.000 yang disampaikan oleh saksi Rudyono karena tanda terima tersebut dibuat sendiri dengan mereka dan tidak ada kaitannya dengan kami yang tidak membuktikan apa-apa," katanya dalam nota keberatan.
Atas tuduhan tersebut, terdakwa dijerat dengan dua pasal. Pertama yakni Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Penipuan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.