Mengapa Partai PSI Menolak Perda Agama?

Senin, 19 November 2018 | 12:22 WIB
Mengapa Partai PSI Menolak Perda Agama?
Ketua Umum PSI Grace Natalie memperkenalkan dua caleg mantan dubes senior. (Suara.com/Lili Handayani)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Umum PSI Grace Natalie menegaskan, partainya tidak akan pernah mendukung perda berbasiskan Injil maupun hukum Islam. Hal itu diungkap Grace Natalie dalam sambutannya di acara peringatan hari ulang tahun keempat PSI, ICE BSD, Tangerang, Minggu (11/11/2018) malam lalu.

Pernyataan Grace Natalie itu langsung menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menuding PSI sebagai partai anti agama. Sementara pihak tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi - Maruf Amin menyatakan pernyataan Grace Natalie itu tidak mewakili sikap tim pemenangan.

Dalam situsnya, psi.id, PSI menjelaskan lengkap alasan mereka menolak perda agama. Berikut ulasan yang ditulis PSI dalam situsnya:

Q: Bagaimana posisi dasar PSI terkait perda agama?

Baca Juga: Berponi, Grace Natalie Diskusi Perda Agama ke Komnas Perempuan

A: PSI adalah partai yang menghormati keyakinan agama dan akan berjuang agar setiap warga bisa menjalankan keyakinannya di manapun di negeri ini, sebagaimana dijamin Konstitusi. Sila pertama Pancasila adalah bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai Ketuhanan, bukan monopoli dukungan terhadap agama tertentu. Hukum yang mengatur kehidupan bersama harus didasarkan pada prinsip universal, bukan parsial, mengingat keragaman agama dan keyakinan di Indonesia. Pada koridor negara hukum, semua orang sama dan setara. Dalam praktek otonomi daerah, pelaksanaan perda agama menimbulkan sejumlah persoalan yang berpotensi mengikis sendi-sendi bangunan kebangsaan, membangun sekat, menciptakan ketidaksamaan posisi di hadapan hukum, dan berpotensi mengancam integrasi nasional.

Q: Dalam konteks apa pernyataan Ketua Umum PSI mengenai penolakan PSI terhadap Perda Syariah dan Perda Injil?

A: Ini adalah bentuk konsistensi terhadap DNA PSI yang menolak praktek Intoleransi di Indonesia. Dalam pengamatan PSI, Perda-perda tersebut berpotensi menciptakan praktek perlakuan tidak sama di hadapan hukum. Dalam konteks negara hukum harus ada sinkronisasi antara Konstitusi UUD 1945, Perundang-undangan dan Peraturan Daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga Perda-perda agama memicu meningkatnya politik identitas dan intoleransi karena memaksakan peraturan yang berdasarkan satu agama pada semua warga yang jelas-jelas berbeda agama.

Q: Jadi bagaimana PSI memandang peran agama dan negara?

A: Agama di Indonesia memegang peran penting dalam hampir semua babakan sejarah Indonesia dalam semangat mencerahkan dan membebaskan. Muhammadiyah dan NU serta organisasi keagamaan lainnya telah lahir sebelum Indonesia lahir. Jadi PSI tetap mendorong pembelajaran agama yang baik untuk menjadi nilai dan sikap hidup etis (akhlak) anak muda Indonesia. PSI juga mendorong peran-peran organisasi keagamaan di sektor publik untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga: PSI Anti Perda Agama, Kubu Prabowo: yang Begitu Cuma PKI

Q: Bagaimana pernyataan tersebut jika diletakkan pada konteks Qanun Syariah di Aceh?

A: Dalam kasus Aceh, Qanun Syariat Islam tidak menabrak Perundang-undangan di atasnya, karena ada UU Pemerintahan Aceh yang menjadi rujukan terbitnya Qanun. Dalam hal ini unsur Lex Specialis (aturan hukum khusus) berlaku untuk Qanun Syariah di Aceh. Jadi pernyataan Ketum PSI tidak mencakup Perda yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, Qanun Syariat Islam di Aceh contohnya. Tentu PSI mendorong pembuatan Qanun yang inklusif, yang tekait langsung dengan kepentingan publik seperti qonun pemberantasan korupsi, qanun layanan publik yang akuntabel dan transparan.

Q: Apakah pernyataan tersebut menunjukkan bahwa PSI adalah Partai Anti Agama, bahkan PKI?

A: Pengurus PSI banyak yang berlatar belakang santri, aktivis NU, Muhammadiyah dan gereja. Tidak mungkin PSI membenci agama. Justru PSI adalah partai yang tidak mau agama dijadikan komoditas politik. Agama terlalu mulia untuk digunakan sebagai alat politisasi. Lagipula isu agama dan SARA sangat berpotensi menyulut konflik di masyarakat karena menyangkut identitas asasi yang tidak boleh dieksploitasi untuk keperluan politik. PSI sangat melarang Caleg dan struktur Partainya untuk berkampanya dengann menggunakan isu Agama dan SARA, apalagi berkampanye di rumah ibadah. Ini penghormatan PSI terhadap hak asasi setiap manusia untuk memeluk keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. PKI dibubarkan jauh hari sebelum PSI didirikan. Ideologi komunis adalah ideologi politik yang bangkrut yang kini tidak memiliki daya pikat politik sama sekali.

Q: Ada tuntutan untuk membubarkan dan memboikot PSI dalam Pemilu 2019 yang akan datang. Bagaimana?

A: PSI tidak akan mundur setapak pun dari perjuangan untuk melawan setiap bentuk intoleransi di Indonesia. Masa depan Indonesia yang merdeka dan melindungi setiap warga negaranya untuk berkeyakinan, dan menjaga Indonesia sebagai rumah bersama yang damai dalam harmoni jauh lebih penting untuk diperjuangkan.

Q: Apakah PSI tidak khawatir pernyataan tersebut akan memengaruhi elektabilitas PSI dalam Pemilu 2019 yang akan datang?

A: PSI adalah partai yang dibangun dengan membawa DNA kebajikan dan keragaman. Sehingga pemilih PSI adalah mereka yang juga merupakan individu yang sepakat dengan perjuangan PSI tersebut. Dengan demikian PSI tidak pernah khawatir tudingan atas pernyataan Ketum PSI tersebut akan menggerus elektabilitas PSI, justru sebaliknya pendukung PSI semakin yakin dan percaya bahwa PSI benar adalah partai yang konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilainya.

Q: Sebagai Parpol peserta pemilu harusnya PSI tidak perlu membuat pernyataan seperti itu. Apalagi di depan Presiden Jokowi dan diliput media massa?

A: Justru PSI harus menyatakan hal tersebut sebagai bentuk konsistensi PSI di dalam barisan koalisi pendukung Pak Jokowi. Di negara ini hak untuk berkumpul dan berserikat dijamin oleh Konstitusi dan UU. Banyak perda yang lahir justru mereduksi hak warga negara khususnya perempuan dan minoritas. Aturan berpakaian, aturan jam keluar malam, aturan berkumpul laki-laki dan perempuan, semua hal itu malah mempersempit ruang hak warga negara yang secara konstitusional sudah dijamin UU. PSI memberanikan diri menjadi pelopor untuk melawan praktek intoleransi seperti itu.

Q: Apakah menurut PSI keberadaan Perda tersebut begitu mengganggu kehidupan berbangsa?

A: Tentu. Pertama proses lahirnya Perda tidak melalui proses keterlibatan publik secara mendalam. Banyak Perda lahir minus legitimasi sosial, biasanya lahir karena kepentingan elit yang malas berpikir mengenai isu-isu dan persoalan rakyat yang sebenarnya. Karena malas mencari akar persoalan dan solusi persoalan masyarakat yang sebenarnya, akhirnya menggunakan isu Perda berbasis agama untuk menutupi ketidakmampuan mereka melaksanakan tanggungjawab mereka yang sebenarnya. Ketidakmampuan mereka mengatasi persoalan kemiskinan, kesehatan, sosial, pendidikan, berupaya mereka sembunyikan dengan mengangkat persoalan moral publik sebagai akar persoalan masyarakat. Misalnya mereka menganggap kasus kemiskinan karena maraknya kasus perzinaan, persoalan pengangguran dianggap sebagai akibat cara berpakaian masyarakat yang tidak sesuai kaidah agama, dan seterusnya. Pendek kata semua persoalan sosial lahir dianggap karena moral masyarakat sudah rusak. Padahal persoalan-persoalan sosial itu muncul karena ketidakmampuan mereka mengemban amanah kekuasaan.

Q: Apakah PSI justru menjadi intoleran dengan menolak perda syariah dan perda injil?

A: Tentu tidak. Justru langkah ini dilakukan untuk menjaga toleransi di Indonesia. Agar toleransi tetap hidup, kita tidak boleh bersikap toleran pada kaum intoleran (paradox of tolerance). Dalam hal ini, perda-perda berbasis agama yang diskriminatif tidak boleh ditoleransi. Agama terlalu mulia jika diturunkan menjadi perda.

Q: Beberapa perda berbasis agama memiliki tujuan baik, misalnya melarang miras dan melarang prostitusi. Apakah PSI juga anti terhadap perda-perda seperti ini?

A: Dua persoalan masyarakat ini sebenarnya sudah diatur dalam KUHP dan berlaku umum untuk seluruh anggota masyarakat. PSI percaya bahwa minuman keras membahayakan kesehatan. Karena itu penjualannya harus dikendalikan dan diawasi agar anak-anak tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Jadi tempat penjualan (distribusi) dengan kadar alkohol tertentu mesti diregulasi untuk menghindari mudharat terutama bagi anak-anak. Sementara untuk prostitusi, PSI berpendapat praktik trafficking atau jual beli manusia adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Perempuan adalah korban utama kejahatan ini. PSI terdepan memberantas kebiadaban ini. KUHP telah mengatur larangan bagi orang untuk mengambil keuntungan dari praktik prostitusi. Sejatinya, kedua hal tadi bisa diatur berdasarkan prinsip umum seperti keselamatan, kesehatan, dan martabat manusia. Aturan hukum haruslah berdasarkan alasan objektif dan penamaannya juga harus netral agar tidak dilihat sebagai peraturan yang datang dari kelompok tertentu saja.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI