A: Tentu. Pertama proses lahirnya Perda tidak melalui proses keterlibatan publik secara mendalam. Banyak Perda lahir minus legitimasi sosial, biasanya lahir karena kepentingan elit yang malas berpikir mengenai isu-isu dan persoalan rakyat yang sebenarnya. Karena malas mencari akar persoalan dan solusi persoalan masyarakat yang sebenarnya, akhirnya menggunakan isu Perda berbasis agama untuk menutupi ketidakmampuan mereka melaksanakan tanggungjawab mereka yang sebenarnya. Ketidakmampuan mereka mengatasi persoalan kemiskinan, kesehatan, sosial, pendidikan, berupaya mereka sembunyikan dengan mengangkat persoalan moral publik sebagai akar persoalan masyarakat. Misalnya mereka menganggap kasus kemiskinan karena maraknya kasus perzinaan, persoalan pengangguran dianggap sebagai akibat cara berpakaian masyarakat yang tidak sesuai kaidah agama, dan seterusnya. Pendek kata semua persoalan sosial lahir dianggap karena moral masyarakat sudah rusak. Padahal persoalan-persoalan sosial itu muncul karena ketidakmampuan mereka mengemban amanah kekuasaan.
Q: Apakah PSI justru menjadi intoleran dengan menolak perda syariah dan perda injil?
A: Tentu tidak. Justru langkah ini dilakukan untuk menjaga toleransi di Indonesia. Agar toleransi tetap hidup, kita tidak boleh bersikap toleran pada kaum intoleran (paradox of tolerance). Dalam hal ini, perda-perda berbasis agama yang diskriminatif tidak boleh ditoleransi. Agama terlalu mulia jika diturunkan menjadi perda.
Q: Beberapa perda berbasis agama memiliki tujuan baik, misalnya melarang miras dan melarang prostitusi. Apakah PSI juga anti terhadap perda-perda seperti ini?
Baca Juga: Berponi, Grace Natalie Diskusi Perda Agama ke Komnas Perempuan
A: Dua persoalan masyarakat ini sebenarnya sudah diatur dalam KUHP dan berlaku umum untuk seluruh anggota masyarakat. PSI percaya bahwa minuman keras membahayakan kesehatan. Karena itu penjualannya harus dikendalikan dan diawasi agar anak-anak tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Jadi tempat penjualan (distribusi) dengan kadar alkohol tertentu mesti diregulasi untuk menghindari mudharat terutama bagi anak-anak. Sementara untuk prostitusi, PSI berpendapat praktik trafficking atau jual beli manusia adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Perempuan adalah korban utama kejahatan ini. PSI terdepan memberantas kebiadaban ini. KUHP telah mengatur larangan bagi orang untuk mengambil keuntungan dari praktik prostitusi. Sejatinya, kedua hal tadi bisa diatur berdasarkan prinsip umum seperti keselamatan, kesehatan, dan martabat manusia. Aturan hukum haruslah berdasarkan alasan objektif dan penamaannya juga harus netral agar tidak dilihat sebagai peraturan yang datang dari kelompok tertentu saja.