Suara.com - Gaya dan karakter individu Calon Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Capres Prabowo Subianto memengaruhi penggunaan pesan komunikasi atau diksi dalam mengelola isu untuk memantik perhatian publik. Ini disampaikan pengamat komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Gun Gun Heryanto.
Menurut Gun Gun, Jokowi menggunakan gaya komunikasi equalitarian yang lebih memilih menggunakan diksi sederhana dan mudah dimengerti kalangan bawah. Sedangkan Prabowo menggunakan gaya komunikasi dinamik yang lebih lugas langsung pada poinnya.
"Jokowi gaya komunikasinya equalitarian atau setara. Sangat jarang menggunakan diksi yang tinggi dan susah,” kata Gun Gun dalam diskusi bertajuk "Perang Diksi Antar Kandidat” di Jakarta Barat, Kamis (15/11/2018).
Meski demikian, Gun Gun menyebut Jokowi bukanlah seorang orator yang baik, namun dengan menggunakan gaya komunikasi equalitarian Jokowi tampak sebagai komunikator yang baik yang mampu merangkul simpati kalangan bawah.
Baca Juga: Nunggak Pajak Rp 1,9 Miliar, TMII : Hal Sepele yang Dibesarkan
“Dia bukan orator yang baik, tapi komunikator politik yang baik. Equalitarian agak turun ke bawah merangkul, kerap kali membingkai pesan mencoba untuk harmoni," kata Gun.
Saat melakukan ‘serangan’ pada lawan politiknya di Pilpres 2019, Gun menyebut Jokowi biasanya lebih menggunakan diksi yang lebih tersirat seperti politik "Genderuwo". Hal itu justru menurut Gun Gun lebih memantik daya imajinasi publik yang mengira-ngira apa maksud daripada pernyataan tersebut.
"Kalau ada attacking campaign biasanya sangat implisit, misalnya Genderuwo di situ orang memainkan imaji, menduga sehingga diskursus publik bisa jalan," ungkapnya.
Sedangkan Prabowo, kata Gun, menggunakan gaya komuniaksi dinamik yang lebih menggunakan bahasa yang lugas justru memiliki resiko dimaknai berbeda seperti halnya menyoal pernyataan 'Tampang Boyolali'. Pernyataan Prabowo soal 'Tampang Boyolali' yang dimaksudkan sebagai serangan kepada calon petahan Jokowi terkait ketinpangan sosial justru dimaknai publik sebagai hinaan.
"Dynamic style bisa kemudian dibaca sebagian orang kalau ngomong apa adanya, bisa punya risiko dimaknai secara berbeda. Dalam beberapa konteks misalnya 'Tampang Boyolali', saya paham narasi Prabowo keseluruhan dia bicara ketimpangan sosial, diturunkan ke bawah itu menjadi 'Tampang Boyolali'," kata dia.
Baca Juga: Gorok Maya, Pembunuh Sering Menginap di Rumah Gaban Nainggolan
"Ini bahasa mungkin intensinya itu statement attacking ketimpangan sosial ke petahana. Tapi bisa rame ketika orang membicarakan bullyingnya, peyoratif. Itu yang kemudian rame menjadi diskursus publik, sehingga makna tidak lagi homogen, tapi polisemik," Gun menambahkan.