Suara.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyusun rencana tata ruang (RTR) dalam kerangka pengurangan risiko bencana. Penyusunan yang akan dilakukan ATR tersebut, uatamanya di daerah-daerah yang rawan bencana, dengan mempertimbangkan kondisi geologi, geografis wilayah, dan kemampuan lahan.
Hal ini dikemukakan Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil, dalam sarasehan HANTARU di ruang kerjanya, Jakarta, Kamis (8/11/2018).
"RTR ini nantinya akan mengatur lokasi yang aman untuk kawasan budi daya, dan lokasi-lokasi lainnya," katanya.
Dia menyampaikan, dari bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, pemerintah dapat belajar untuk lebih fokus dalam menangani hal-hal seputar ruang dan tanah. Pascabencana alam di Palu, Donggala dan Sigi, sertifikat tanah sudah tak berlaku lagi, sehingga akhirnya menimbulkan implikasi pertanahan dan kerugian besar bagi negara.
Baca Juga: ATR/BPN: Pada 2025, Seluruh Tanah di Indonesia Bersertifikat
Ke depan, perlu dirumuskan disinsentif yang tepat, terutama untuk lahan-lahan yang berlokasi di kawasan rawan bencana.
"Penentuan lokasi relokasi bencana didasarkan pada rekomendasi aspek kebencanaan tata ruang dan ketersediaan data bidang tanah terdaftar," ujar Sofyan.
Ia menambahkan, momentum HANTARU 2018 ini merupakan awal mula untuk mensinergikan development right yang selama ini diatur dalam RTR, dan property right, yang selama ini diatur dalam penerbitan hak atas tanah.
Pada 2019, Kementerian ATR/BPN akan memberikan dana dekonsentrasi kepada 14 provinsi dalam rangka percepatan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
"Memerlukan ruang dan tanah sebagai aset, berarti memanfaatkan setiap milimeter persegi ruang dan tanah di wilayah Indonesia secara optimal untuk kebutuhan masyarakat, serta memberdayakan seluruh ruang dan tanah untuk menghadirkan nilai tambah demi meningkatkan kualitas hidup warga negara di masa mendatang," tutupnya.