Suara.com - Panggil aku F. Ya, karena hanya itulah namaku, F. Baik orangtuaku, kerabat, hingga teman-teman semua memanggilku dengan satu huruf konsonan itu.
Aku hingga kekinian tidak mengetahui kenapa bapak dan ibu hanya memberiku huruf F sebagai nama. Aku seringkali bertanya kepada mereka, “Kenapa namaku hanya F saja?”
Pertanyaan itu kusodorkan kepada bapak dan ibu berkali-kali, tapi mereka hanya terdiam, tak pernah menjawab.
Suatu waktu, aku tak lagi memaksa mereka menjelaskan alasan kenapa memberiku satu huruf saja.
Baca Juga: Barbie Nouva Undang Miyabi ke Bali, Begini Awal Perkenalan Mereka
Tapi, aku cuma ingin mengetahui, bagaimana cerita mereka sampai hanya memberiku nama F. Tapi, lagi-lagi mereka tak mau menjawab.
F adalah nama yang simpel, tapi pengaruhnya dalam hidupku tak sesederhana itu. Aku kerap merasa kebingungan menjawab pertanyaan teman-teman, guru, dosen, atau orang-orang yang berkenalan.
Saat berkenalanan denganku, mereka rata-rata merasa heran serta meluncurlah pertanyaan yang sebenarnya itu-itu melulu, “Kok bisa namanya F saja?”
Aku pernah mendapat pengalaman unik saat mengurus pembuatan SIM C tahun lalu, 2017. Saat itu, petugas kesulitan memasukkan namaku ke dalam sistem digital mereka karena hanya terdiri dari satu kata.
Dia bilang, sistem digital mensyaratkan nama minimal berjumlah tiga karakter. Akhirnya, sebagai solusi, petugas itu menuliskan namaku menjadi”.F.”
Baca Juga: Temuan Limbah Kondom di Gubuk Diduga Sarang Prostitusi
Jadi, di SIM, namaku menjadi ”Titik F Titik”.
Aku juga sering dirisak alias di-bully karena persoalan namaku yang tak lazim. Sebab, nama anak-anak Indonesia biasanya panjang.
Belum lama ini, aku kembali mendapat masalah. Perangkat desa ke rumah karena mereka kebingungan atas namaku.
Mereka mau memeriksa, apa benar aku hanya bernama F. Kecurigaan mereka cukup beralasan, karena tahun depan akan ada Pilpres 2019.
Walau banyak kendala, seiring aku terus bertumbuh dewasa, persoalan nama ini membuatku legawa. Kupikir, namaku yang F saja adalah hadiah terbaik dari bapak dan ibu.
Sempat terpikir untuk mengubah namaku sendiri. Tapi, itu artinya aku harus mengubah akta kelahiran, ijazah SD, SMP, hingga SMA. Belum surat-surat lain.
Akhirnya, aku memilih menikmati memiliki nama F. Ya, akulah si F.
***
F sedang sibuk di hadapan komputer jinjingnya saat Solopos.com—jaringan Suara.com, menyambangi rumahnya di Dukuh Sutran RT3/RW5, Desa Bolali, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (6/11/2018).
Perempuan berhijab itu mengakui, hingga kekinian tidak mengetaui alasan maupun sejarah orang tuanya memberi nama F.
”Pernah kawan-kawan meminta melihat akta kelahiran atau foto untuk memastikan bahwa namaku F. Saat berkenalan dengan dosen, teman, guru, semuanya kaget dan bingung,” tutur perempuan kelahiran Klaten, 2 November 1999.
Namun, putri pasangan Prawoto (53), dan Sri Lestari (50), itu mengakui dari namanya kerap mendapatkan hoki.
Ia mudah akrab dengan teman-temannya. Sebab, mereka mudah mengingat namanya.
Kakak kandung F, Tissa Karunia (24), menceritakan nama F merupakan pemberian ayah. Ia tidak tahu kenapa adik semata wayangnya itu diberi nama demikian. Kelahiran F terbilang normal layaknya kelahiran bayi pada umumnya.
“Tak ada kejadian khusus pas lahir. Lahirnya di rumah, dibantu bidan,” tutur Tissa.
Ia menceritakan belum lama ini, perangkat desa datang ke rumahnya untuk memastikan nama adiknya betul F, tak kurang tak lebih.
“Ini kan mau pilpres. Senin (5/11) sore dari kabupaten, tak percaya kalau namanya cuma satu huruf. Padahal, sebelumnya sudah mengumpulkan Kartu Keluarga. Ternyata masih kurang, harus KTP juga. Kemarin, Pak Mudin datang ke sini minta lihat KTP,” urai Tissa.
Sementara kedua orangtua F tidak berada di rumah. Kala itu, keduanya sedang menunggui kerabat yang opname di rumah sakit.