Suara.com - Kisah panjang problem tenaga kerja Indonesia (TKI) selalu menampilkan nestapa. Persoalan demi persoalan senantiasa menjerat buruh migran di negeri ini, terutama kaum hawa, yang sering dikondisikan berada dalam posisi tak berdaya dan bersalah secara sistematis.
Paling anyar yang menyayat hati bangsa Indonesia adalah kabar eksekusi mati Tuti Tursilawati, tenaga kerja wanita (TKW) asal Majalengka, Jawa Barat, oleh Pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan atau notifikasi terlebih dahulu kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah.
Tuti Tursilawati sebelumnya telah menjalani proses hukuman yang cukup lama, yakni sekitar tujuh tahun. Ia didakwa atas kasus pembunuhan kepada majikannya di tahun 2010.
Sebelumnya, Tuti Tursilawati sudah divonis hukuman mati pada Juni 2011. Dalam beberapa sumber pemberitaan media, Tuti Tursilawati terpaksa melakukan pembunuhan itu karena kerap mendapat pelecehan seksual dari majikannya.
Memang, pemerintah Indonesia sudah melayangkan protes terhadap sikap pemerintah Arab Saudi yang dianggap tidak memiliki adab atau etika politik diplomasi dengan mengeksekusi mati buruh migran asal Indonesia tanpa notifikasi terlebih dahulu.
Sejumlah kalangan di dalam negeri juga mengecam keras hingga aksi massa memasang garis segel di Kedubes Arab Saudi di Jakarta. Pasalnya, hal ini bukan pertama kali terjadi.
Data Migrant CARE, pada tahun 2008-2018, ada lima WNI lainnya yang mengalami hal serupa selain Tuti Tursilawati. Menurut catatan Migrant CARE, 72% pekerja migran yang menghadapi hukuman mati adalah perempuan.
Adapun data Kementerian Luar Negeri tahun 2011-2017 menghimpun 188 kasus WNI terancam hukuman mati yang dalam proses penanganan, serta 392 kasus selesai dengan vonis bebas.
Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia melayangkan protes keras terhadap otoritas di Arab Saudi, karena sikapnya yang tidak melihat Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang devisa negara dari haji dan umrah.
“Tapi protes saja tidak cukup, petugas KBRI atau KJRI Jeddah harus lebih berani dalam menghadapi pihak Arab Saudi terkait perlindungan TKI di sana, karena eksekusi mati tanpa notifikasi bukan kali ini saja,” katanya di Jakarta, Senin (5/11/2018).
Menurut Farouk yang sempat bermukim di Arab Saudi, ada kesan pihak Arab Saudi meremehkan petugas KBRI atau KJRI Indonesia di sana terkait persoalan WNI.
Berbeda jauh perlakuannya terhadap warga dari negara-negara Eropa atau Amerika yang teribat kasus hukum, pihak otoritas Arab Saudi bertindak hati-hati.
“Saya mengimbau petugas KBRI atau KJRI lebih fight lagi, all out dalam membela dan melindungi WNI di Arab Saudi. Kalau perlu tarik semua staf agar Indonesia tidak diremehkan,” ujar Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini.
Farouk menilai, kasus eksekusi mati Tuti Tursilawati tanpa notifikasi ini menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi diplomasi luar negeri yang ada sekarang ini agar bisa lebih aktif dan berani mengenai proses hukum terhadap WNI.
Ikhwalnya, dalam kasus hukuman mati sering terjadi cara-cara unfair trial, sehingga harus ada pendampingan maksimal dari negara agar eksekusi mati dapat dicegah dari awal penanganan perkara.
Juga berkaca dari dugaan pembunuhan berencana wartawan asal Saudi, Jamal Khashoggi di Turki yang memberikan sinyalemen betapa brutalnya perlakuan pihak tertentu di Arab Saudi terhadap hak azasi seseorang.
Dalam kasus Tuti Tursilawati, otoritas Arab Saudi dianggap melanggar Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum yang dapat melindungi pekerja migran.
Atas dasar itu, alumnus New York University (MA) dan University of Birmingham (MBA) ini menyarankan agar pemerintahan Presiden Jokowi Widodo mempertimbangkan aksi-aksi yang jauh lebih tegas jika Arab Saudi terus mengabaikan permintaan Indonesia untuk memberikan notifikasi jika akan dilakukan hukuman mati terhadap WNI. Artinya, memberikan pressure yang lebih kuat lagi sebagai bentuk protes bangsa Indonesia.
“Misalnya moratorium selama tiga tahun saja untuk pengiriman jemaah umrah. Meski soal ibadah dan menyangkut bisnis umrah juga di dalam negeri, tapi ini menyangkut sikap Arab Saudi tidak mempertimbangkan adab politik diplomasi dengan Indonesia, yang juga punya sumbangan besar untuk devisa mereka dari jemaah haji dan umrah mengingat jumlahnya paling banyak se-dunia,” terangnya.
Di sisi lain, Farouk menyebutkan, masih banyaknya TKI terutama buruh migran perempuan yang unskilled di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya, setidaknya mengkonfirmasi masih ada persoalan mendasar dalam lapangan kerja di dalam negeri.
Kaum perempuan terpaksa mengadu nasib di negara orang, karena terbatasnya lapangan pekerjaan yang layak di daerah-daerah. Alhasil, mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dengan berbagai ancaman dan risiko dari mulai tindakan kekerasan psikis, fisik, hingga pelecehan seksual.
Karenanya pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan pertumbuhan ekonomi karena pada hakekatnya tidak semua lapisan masyarakat menikmati hasil pembangunan dan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang selalu digadang-gadang.
“Pemerintah jangan happy dengan data statistik pertumbuhan ekonomi, siapa sebenarnya yang menikmati. Lapangan pekerjaan masih sulit kok. Kalau pekerjaan banyak tersedia dan pendapatannya memadai untuk kebutuhan hidup, TKW yang “unskilled” tidak perlu kerja di luar negeri yang penuh risiko,” tukas Farouk yang juga dosen Perbanas Institut dan Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.