Banding Meiliana Soal Azan Ditolak, PT Medan Dinilai Tak Cermat

Jum'at, 26 Oktober 2018 | 12:18 WIB
Banding Meiliana Soal Azan Ditolak, PT Medan Dinilai Tak Cermat
Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, divonis penjara 1 tahun 6 bulan hanya karena bilang kepada tetangganya untuk mengecilkan volume pelantang suara di masjid saat kumandangkan azan. [VOA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bahwa dalam konteks penafsiran pasal 156A huruf a haruslah dibuktikan bahwa Meiliana memiliki niat menyebarkan kebencian terkait suatu agama tertentu.

ICJR juga menilai bahwa Pengadilan Tinggi tidak menerapkan asas-asas pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus Meiliana. Dalam kasus ini, salah satu alat bukti yang digunakan untuk membuktikan unsur penodaan agama adalah Fatwa MUI.

KUHAP sendiri mengenal adanya 5 (lima) alat bukti dalam sistem hukum pidana, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan juga keterangan terdakwa. Menurut pandangan ICJR, kedudukan Fatwa MUI dalam pembuktian kasus pidana tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori dari alat bukti tersebut.

Fatwa MUI hanya bersifat mengikat bagi kelompok orang tertentu, dan bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat sebagaimana yang dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang ada pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seharusnya yang dapat membuktikan apakah pernyataan Meiliana merupakan pernyataan yang “menodai agama” adalah ahli bahasa, yang mempelajari ilmu bahasa dan dapat mengetahui maksud dari suatu pernyataan verbal.

Baca Juga: Jubir Prabowo-Sandi Sebut Koalisi Pendukung Jokowi Tak Harmonis

Ahli lain yang dapat dihadirkan untuk membuktikan unsur ini adalah ahli psikologi yang dapat mengetahui niat batin dari Meiliana pada saat menyampaikan pernyataan tersebut kepada Saksi Kasini. Sehingga tidak tepat sebenarnya perbuatan majelis hakim yang menyatakan unsur “penodaan agama” terbukti hanya atas dasar Fatwa dari MUI.

Tidak hanya itu, dalam pembuktian Penuntut Umum juga mengajukan keterangan saksi yang mendengar dari orang lain bahwa Meiliana telah mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya melarang adzan.

Saksi ini seharusnya tidak boleh dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, dikarenakan termasuk dalam kualifikasi saksi hearsay. Dalam prinsip hukum pidana, terdapat prinsip bahwa testimonium de auditu (kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain) tidak dapat diterima sebagai alat bukti keterangan saksi. Karena keterangan saksi menurut KUHAP didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

“Lebih dari pada itu, fakta ini menunjukkan tidak terbuktinya unsur di muka umum yang merupakan unsur penting dari Pasal 156A huruf a KUHP, tanpa ada saksi atau alat bukti yang menunjukkan perbuatan di lakukan di muka umum. Maka Meiliana tidak dapat dikatakan memenuhi unsur pidana,” kata dia.

Berdasarkan hal ini, ICJR merekomendasikan Mahkamah Agung (MA) yang selanjutnya akan memeriksa perkara apabila diajukan kasasi terhadap putusan ini. Dia meminta MA dalam kasasi nanti membatalkan putusan PN Medan dan PT Medan yang jelas menunjukkan bahwa majelis hakim tidak menerapkan hukum dengan tepat dalam kasus ini.

Baca Juga: James Riady Akan Diperiksa KPK soal Suap Meikarta Akhir Oktober

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI