ICJR Dorong Agustinus Korban Penembakan Polisi Ajukan Gugatan

Selasa, 23 Oktober 2018 | 14:45 WIB
ICJR Dorong Agustinus Korban Penembakan Polisi Ajukan Gugatan
Ilustrasi garis polisi. (Shutterstocks)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang pemuda bernama Agustinus Anamesa alias Engki (25) menjadi korban penganiayaan polisi hingga menyebabkan cacat fisik seumur hidup. Agustinus diduga ditembak anggota Polres Sumba Barat di bagian kaki kanan bawah lutut, serta dipukuli hingga pingsan saat ditangkap.

Agustinus ditangkap anggota Polres Sumba Barat atas kasus dugaan pencurian motor. Berdasarkan rekam medis di rumah sakit Karitas Weetebula ia harus diamputasi.

Kasus ini menjadi perhatian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Menurut ICJR, dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Agustinus juga tidak jelas. Kepada keluarga, polisi mengatakan, Agustinus diduga terlibat pencurian motor dan hewan ternak. Sedangkan Kapolres Sumba Barat menyatakan bahwa Agustinus terseret kasus dugaan perkelahian.

"Selain itu sudah ada sidang etik kepolisian yang menunjukkan bahwa Agustinus tidak bersalah atau setidaknya terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan luka parah pada kaki Agustinus," kata Anggara, Direktur Eksekutif ICJR, Selasa (23/10/2018).

Baca Juga: 4 Tahun Jokowi - JK, Sri Mulyani Sebut Utang Indonesia Turun

Kasus ini menambah deretan panjang kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Atas kasus itu, ICJR mengecam tindakan penyiksaan masih digunakan oleh kepolisian sebagai metode untuk mengungkap tindak kejahatan.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta Konvensi Anti penyiksaan (UNCAT) melalui UU No 5 Tahun 1998. Selain itu, dalam UUD 1945 pasal 28G ayat 2 telah tercantum bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

"Selain itu, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM melarang tindakan penyiksaan," ujar dia.

Dia menjelaskan, Pasal 4 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pasal 33 ayat 1 UU HAM juga menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Serta pasal 34 UU HAM, setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Baca Juga: Tanpa Dokumen, P4TKI Batam Pulangkan 176 PMI dari Malaysia

Telah terdapat Preseden dari Putusan Mahkamah Agung terkait dengan penyiksaan bahwa keterangan yang diperoleh dari penyiksaan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana pernah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan No. 600 K/Pid/2009, No. 1531 K/Pid.Sus/2010, No. 2570 K/Pid.Sus/2010, No. 2588 K/Pid.Sus/2010, dan No. 545 K/Pid.Sus/2011. Mahakamah Agung juga pernah mengeluarkan putusan untuk menghukum pelaku penyiksaan, sebagaimana contoh dalam Putusan No. 2415 K/Pid.Sus/2010 dan No. 70 K/Pid.Sus/2011.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI