Suara.com - Pemerintah Kota Bekasi kembali bersitegang dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait masalah pengelolaan sampah di Bantargebang.
Hubungan kedua pemda kini semakin panas setelah belasan truk sampah milik Pemprov DKI ditahan oleh Dinas Perhubungan Kota Bekasi di pintu masuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Rabu (17/10/2018) lalu.
Pemkot Bekasi beralasan, mereka menahan truk-truk sampah dari Jakarta karena Pemprov DKI dianggap tidak mematuhi perjanjian kerjasama. Seperti muatan sampah yang setiap hari dari Jakarta tahun meningkat, dampak pencemaran lingkungan dan lainnya.
Namun apakah hanya karena masalah perjanjian kerjasama saja, atau ada sesuatu keuntungan dibalik itu?
Baca Juga: Jaga Asa, Qatar Bertekad Tumbangkan Indonesia di SUGBK
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai bahwa penanganan sampah dari DKI di penampungan Bantargebang hanya sebatas proyek yang nilainya cukup besar.
"Sebenarnya penanganan sampah saat ini hanya berorientasi proyek saja, kumpulkan, angkut dan buang ke Bantargebang, dimana disitu ada anggaran kebutuhan yang menggiurkan," kata Nirwono kepada Suara.com.
Apalagi, lanjut dia, kontrak lahan tempat pembuangan sampah di kawasan Bantagebang masih panjang, yakni sampai 2029. Sehingga anggaran untuk pengolahannya sangat besar.
"Maka dari itu Pemda DKI harus mereformasi penanganan dan pengelolaan sampahnya," ujar dia.
Maka dari itu, ia menyarankan beberapa langkah yang harus dilakukan Pemprov DKI dalam pengelolaan sampah. Pertama, dimulai dari sumbernya atau zaro waste, yakni dari tingkat rumah tangga, RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota agar memilih dan memilah sampah organik dan anorganik.
Baca Juga: Labuan Bajo Diguncang Gempa
"Kalau hal itu dilakukan, maka sampah organik diatas (50 persen) harusnya sudah selesai diolah menjadi kompos untuk kebutuhan pupuk di lingkungan. Sisanya yang anorganik dengan adanya bank sampah dapat dipilah sampah yang masih bisa didaurulang atau digunakan kembali, sehingga akan tersisa sampah yang benar-benar tidak bisa diolah (10-25 persen) saja untuk diangkut secara berjenjang keluar,” terang dia.