Suara.com - Fayakhun Andriadi, Anggota Komisi I DPR non-aktif dari fraksi Partai Golkar, mengaku dibantu oleh Direktur PT Rohde and and Schawrz Indonesia Erwin Arief sebanyak Rp12 miliar untuk mendapatkan jabatan tinggi di Partai Golkar.
Fayakhun dalam perkara ini didakwa menerima suap 911.480 dolar AS dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk pengadaan satelit monitoring dan drone dalam anggaran Bakamla APBN Perubahan 2016.
"Erwin mengatakan itu dari Fahmi (Darmawansyah), 1 persen dari besaran anggaran setara Rp12 miliar, saya terima dan kalau diizinkan saya juga sudah menyusun penggunaannya dan kalau perlu akan saya berikan," kata Fayakhun dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/10/2018).
"Awalnya saya mengatakan 'Win ini kebetulan akan ada munas (musyawarah nasional) bulan Mei dan saya jadi panitia munas, kalau rencana kamu supaya saya jadi salah satu ketua DPP (Dewan Pimpinan Pusat) untuk bantu-bantu munas saat ini timingnya, munas 18-20 Mei di Bali, saya mengingatkan Erwin," ungkap Fayakhun.
Baca Juga: Kasus Suap Meikarta, Bupati Bekasi Dapat Sanksi dari Golkar
Fayakhun menjelaskan bahwa Erwin berupaya menenangkannya bahwa biaya untuk munas sudah beres.
"Erwin mengatakan ke saya 'Tenang saja Fayakhun sebelum munas beres deh, supaya loe gagah tapi dalam perjalanannya tidak seperti yang diucapkan," tambah Fayakhun.
Ia pun mengakui menggunakan rekening luar negeri karena Erwin mengaku uang untuk dirinya ada di luar negeri. Fayakhun pun memutuskan untuk menggunakan rekening money changer yang diberikan oleh anak buahnya, Agus Gunawan.
"Itu bukan rekening saya, anak buah saya namanya Agus pernah mengatakan ke saya, pak kalau butuh rekening di luar negeri ada temannya yang bisa bantu, temannya itu ternyata 'money changer' sehingga gunakan rekening temannya itu," ungkap Fayakhun.
Fayakhun lalu memberikan nomor rekening itu ke Erwin, namun dalam perjalanannya Erwin tidak mengirimkan uang sesuai dengan waktu yang disepakati.
Baca Juga: Tanggapi Pernyataan Presiden PKS, Golkar Angkat Isu Kesejahteraan
"Erwin hanya mengatakan 'Kun gimana kalau Rp12 miliar?' Atas Rp 12 miliar itu terpenuhi dalam dolar AS itu 911 ribu dolar AS kurang lebih, mata uang yang diambil dalam rupiah ada Rp 3,5 miliar rupiah dan 750 ribu dolar Singapura," jelas Fayakhun.
Ternyata uang 1 persen itu berasal dari Fahmi Darmawansyah untuk uang muka pengurusan anggaran di Bakamla yang total anggarannya berjumlah Rp1,2 triliun.
"Erwin kemudian mengaitkan itu dengan kepentingan bisnisnya, awalnya tidak ada kaitan ke saya, awalnya Erwin bantu saya untuk politik, kebetulan dia kaitkan dengan bisnisnya," tambah Fayakhun.
Dari jumlah Rp 12 miliar itu sebanyak 500 ribu dolar Singapura diberikan kepada mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
"Saya hanya ketemu Pak Nov, saya katakan 'Ketua, saya mau bantu-bantu untuk rapimnas, beliau hanya tanya dua pertanyaan: berapa? saya jawab 500 ribu dolar Singapura, dan kasih ke mana? saya jawab lewat Irvanto. Kemudian saya minta Agus kasih ke Irvanto dan Agus mengatakan sudah diberikan. Irvanto tanya ke saya 'Mas ini uang apa?' Saya katakan itu untuk Pak Novanto," kata Fayakhun.
Fayakhun saat itu sudah terpilih menjadi Ketua DPP Partai Golkar Jakarta dari tadinya hanya menjabat sebagai wakil sekjen.
Dalam dakwaan, Fayakhun disebut menerima fee dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah sebesar 300 ribu dolar AS yang pengirimannya dipecah menjadi dua yaitu pertama 200 ribu dolar AS melalui Hangzhou Hangzhong Plastic Co.Ltd dan 100 ribu dolar AS melalui Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co.Ltd pada 9 Mei 2016.
Selanjutnya Fayakhun juga menerima fee dari Fahmi melalui rekening Omega Capital Aviation Limited di Bank UBS Singapura sebesar 110 dolar AS dan Abu Djaja Bunjamin di Bank OCBC Singapura sebesar 490 ribu dolar AS pada 23 Mei 2016 yang dikirim dari rekening Bank BNI atas nama Fahmi Darmawansyah.
Atas perbuatannya itu Fayakhun didakwa dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Antara)